Saya tidak percaya ada orang yang menginginkan sakit dan ingin dirawat di rumah sakit. Tapi, ketika penyakit datang menyergap dan memaksa kita dirawat di rumah sakit (apalagi untuk waktu relatif lama), apa pilihan kita?
Saya sudah tiga kali dirawat di rumah sakit. Pertama, sekitar 19 tahun lalu ketika tifus akut mengirim saya ke Rumah Sakit Pertamina Pusat pada suatu malam. Itu rumah sakit mahal dan saya, pada akhirnya, bisa dirawat di sana karena kebaikan seorang teman sekantor yang menjamin pembayaran perawatan saya selama sepuluh hari ke depan dengan kartu kreditnya.
Saya agak tak berdaya saat itu, tapi sepekan dirawat di sana, berat badan saya bertambah. Pipi yang biasanya tirus mulai berisi. Tembem.
Belakangan saya baru tahu dari beberapa kawan-kawan, makanan untuk pasien di RSPP memang enak-enak. Tidak hambar seperti kebanyakan menu untuk pasien di rumah sakit lain—apalagi di rumah sakit milik pemerintah.
Seingat saya, di RSPP sarapan untuk pasien mulai dihidangkan pukul 6. Menunya kadang dua telur rebus dengan dua tangkup roti yang dilapisi mentega, kadang nasi goreng, dan lain-lain. Minumannya, jeruk atau teh hangat. Tiga jam berikutnya pasien akan mendapat kudapan: bubur kacang hijau atau roti isi atau kue, dan buah. Untuk makan siang, menunya lengkap empat sehat. Selesai azan Asar, pasien sekali lagi mendapat kudapan. Makan malamnya juga menu lengkap, dan terakhir, pukul 9 malam, pasien mendapat segelas susu hangat.
Dengan menu dan pola makan semacam itu, asupan gizi saya bertambah. Saya yang wartawan dan (saat itu) bujangan dengan pola makan yang tak teratur dan mungkin malah kurang gizi menjadi sedikit terawat. Sewaktu perawatan saya selesai dan dokter mempersilakan saya pulang, saya mencoba merajuk agar dirawat beberapa hari lagi dan tentu saja permintaan saya itu ditolak. Dan, memang, tak ada enaknya dirawat rumah sakit kendati makanannya enak-enak.
Saya tak ingat berapa total ongkos perawatan yang dibayarkan kantor saat itu. Pastilah mahal karena waktunya bersamaan dengan krisis moneter yang menyebabkan semua harga terkerek sampai garis paling maksimal, termasuk harga obat.
Berjarak dua tahun dari perawatan di RSPP, saya harus dirawat di RS Kartika Pulomas. Wasir, ambeien, atau hemoroid, atau sering dipelesetkan sebagai penyakit “kutub selatan”, yang sudah belasan tahun menempel di anus merongrong saya hingga pada titik sakit tak terperikan yang tidak bisa lagi saya tahan.
Saya baru sebulan menikah. Di acara pernikahan, saya yang jadi pengantin duduk dengan gelisah: miring ke kiri ke kanan sambil berusaha tersenyum kepada seluruh tamu. Sebulan kemudian benjolan di anus saya rasakan semakin bengkak. Dari lubang pelepasan keluar darah setiap kali saya buang air besar, dan buang air besar tidak pernah tuntas. Duduk pun semakin susah. Beberapa tablet atau jamu pereda rasa sakit yang biasa saya gunakan sudah tak mujarab.
Puncaknya: saya merangkak keluar dari kamar mandi ke kamar tidur. Istri saya menangis melihat lelaki yang baru beberapa hari menikahinya tak berdaya. Dia menelepon sopir kantor tempat saya bekerja untuk mengangkut saya ke rumah sakit, yang diketahuinya dari sebuah artikel punya seorang dokter yang ahli “mengatasi” wasir lewat metode suntik.
Tiba di rumah sakit dokter meminta saya telentang dengan posisi seperti perempuan yang akan melahirkan: kaki diangkat dan direntang selebar mungkin, lalu diletakkan di penyanggah. Dokter yang duduk tepat menghadap ke dubur saya memaksukkan alat yang menurut istri saya semacam lop yang panjangnya kira-kira tujuh sentimeter dan berdiameter lima sentimeter; “tongkat” yang lebarnya tentu saja cukup besar untuk dimasukkan ke lubang anus yang berdiameter tak lebih dari sesenti. Saya tersentak, mengaduh kesakitan, selain juga risih karena organ kemaluan saya diobok-obok.
Entah berapa banyak anus yang sudah dia “tusuk” dengan alat itu. Selesai lop dicabut, dokter yang pensiunan kolonel itu menjelaskan: ada enam abses di lubang anus saya, tapi dia tak langsung mengoperasi. Dia memberi saya obat pereda sakit dan meminta saya kembali tiga hari kemudian, hari yang selalu saya ingat karena itulah kali pertama saya masuk kamar bedah, dibius, dan dibedah.
Tiga hari saya dirawat. Relatif tak ada yang merepotkan atau menyebabkan saya merasakan nyeri, kecuali beberapa jam sebelum saya diizinkan pulang. Saya mengaduh kencang saat dokter melepas, atau tepatnya mencabut, perban sebab beberapa bulu di sekitarnya ikut tercerabut. Saya seperti sedang di-WAG. Dokter meminta maaf. Dia menjamin ambeien saya sembuh total, tak akan kembali nongol di tubir anus.
Dan dia benar. “Kutub selatan” saya kembali normal setidaknya sampai sekarang.
Lalu 12 minggu yang telah lewat, saya kembali dirawat di rumah sakit. Kali ini di sebuah rumah sakit militer terbesar dan tertua di negara ini, serta untuk waktu yang cukup lama: 10 minggu atau 2,5 bulan dengan biaya perawatan ratusan juta rupiah.
Semua berawal dari nyeri di punggung bagian tengah yang menghantam di awal 2016. Saya salah membungkuk, tapi nyeri itu saya abaikan. Dua bulan sesudahnya muncul benjolan di bagian tengah punggung itu, yang bila malam, selepas saya pulang kerja, terasa nyeri menusuk. Istri saya selalu mengompresnya dengan air panas dan sesudahnya, nyerinya saya rasakan agak berkurang.
Semula saya menduga syaraf saya terjepit, tapi benjolan di punggung semakin hari kian membesar. Dua bulan sebelum akhir tahun, muncul benjolan di leher sebelah kiri yang semakin hari juga terus membesar. Saya mulai kuatir.
Di rumah, saya mulai kewalahan untuk tidur dan bangun. Di kantor, saya selalu meminta bantuan kawan untuk mengangkat punggung saat saya hendak bangkit dari kursi. Berjalan pun sudah mulai agak terganggu.
Saya mencoba mencari tahu lewat internet dan konsultasi, apa yang terjadi, hingga saya sampai pada kesimpulan: tubuh saya mulai terserang kanker. Segera saya mencari pengobatan alternatif dan kesimpulan para pengobat alternatif itu sama dengan saya.
Sehabis Lebaran, sewaktu saya mulai agak susah berjalan, istri saya membawa saya ke rumah sakit. Dia melihat ada yang tidak normal pada struktur tulang belakang saya: bahu miring kanan. Kami mendatangi dokter onkologi di sebuah rumah sakit swasta besar di Jakarta, yang sekali konsultasi tarifnya 500 ribu rupiah. Tidak lama. Mungkin hanya lima menit sebelum dia meminta saya memeriksakan darah dan menjalani pemeriksaan radiologi untuk foto toraks. Dia juga menyarankan saya berkonsultasi dengan dokter ortopedi untuk memeriksa punggung saya, yang tarifnya juga sama besar dengan tarif konsultasi dokter onkologi.
Dari ruangannya yang sejuk dan nyaman, dokter ortopedi meminta saya melakukan MRI (pemindaian intensif lewat medan magnetik). Dia juga memberi resep untuk obat penahan sakit yang sekali tebus mencapai ratusan ribu hingga sejutaan. Hasil akhir dari semua pemeriksaan itu, saya dinyatakan positif terserang kanker.
Dari hasil MRI diketahui tiga ruas tulang di punggung (kelak saat dioperasi, diketahui lima ruas) hancur karena disergap kanker. Dua dokter itu menyarankan saya dibiopsi (mengambil sejumput jaringan) di leher dan di punggung. Saya dan istri setuju. Berapa biayanya? Hanya untuk biopsi di punggung, Rp110 juta.
Saya menelan ludah. Tabungan kami sudah hampir habis untuk ongkos bolak-balik, membayar ongkos pengobatan alternatif, dan pemeriksaan di rumah sakit swasta itu yang totalnya mencapai 30 jutaan. Kami balik badan dan mulai mempertimbangkan menggunakan kartu BPJS yang sudah lama kami miliki.
Problemnya, setiap pasien harus banyak menabung kesabaran ketika menggunakan kartu tersebut. Dimulai dari mendatangi klinik atau puskesmas terdekat dengan antrean panjang pasien (dan tentu saja dokternya tak akan sanggup menangani kanker dan penyakit berat lainnya). Mereka hanya meneken blangko rujukan ke rumah sakit tingkat kota/kabupaten.
Di rumah sakit itu suasananya mirip pasar. Antrean pasien bahkan sudah mengular sejak subuh. Saya beruntung karena meski telat datang 30 menit sesudah subuh masih mendapat nomor urut 15 dari puluhan pasien untuk ortopedi. Di depan pintu klinik penyakit dalam, saya melihat antrean pasien penuh sesak. Empat atau lima deretan bangku besi yang masing-masing memuat delapan orang tak cukup menampung pasien dan keluarga yang mengantar. Sebagian dari mereka berdiri, sebagian duduk di lantai.
Saat perawat pada akhirnya memanggil nama saya, saya bangun dari bangku besi dengan kesakitan. Di balik meja, seorang dokter muda perempuan bahkan tidak memeriksa saya sedikit pun, kecuali hanya membaca hasil periksa dari rumah sakit swasta sebelumnya. Dia memberi surat rujukan ke rumah sakit provinsi. Kami tak punya pilihan karena begitulah prosedur dan birokrasi menggunakan BPJS.
Di rumah sakit tingkat provinsi, antrean pasien dan keluarganya semakin penuh. Seorang satpam bercerita, di bulan puasa, antrean bahkan sudah terlihat sejak sebelum sahur. Beberapa kawan membantu saya mengambilkan nomor urut. Tapi, sepagi apa pun nomor urut diambil, saya selalu mendapat nomor 50-an ke atas. Itu berarti saya baru akan bertemu dengan dokter (untuk konsultasi saja) selepas waktu makan siang.
Di hari pertama, seorang perawat mempersilakan saya masuk ke sebuah kabin dari sekian deretan kabin. Di sana saya dihadapkan pada seorang mahasiswa kedokteran spesialis (seorang dokter yang karena orang tuanya mampu secara finansial atau beruntung mendapat beasiswa, melanjutkan studi untuk mengambil gelar dokter spesialis). Ia masih muda dan banyak bertanya. Ketika saya menunjukkan hasil pemeriksan MRI, dia melihat sejenak di blok lampu neon di dinding, lalu memanggil teman-temannya yang juga masih mahasiswa yang praktik di kabin sebelah kiri dan kanan. Mereka bergantian memotret hasil MRI itu sembari geleng-geleng. Mereka menjelaskan kondisi saya sudah parah dan meminta saya kembali lagi keesokan hari karena dokter ortopedi yang berdinas hari itu tidak masuk. Besoknya saya kembali, tapi si dokter ortopedi masih tidak ada. Mahasiswa kedokteran yang “menemui” saya siang itu meminta saya kembali minggu depan. Saya semakin susah berjalan.
Saya kembali sepekan kemudian seperti yang disarankan mahasiswa kedokteran itu. Seorang dokter ortopedi berhadapan dengan saya di mejanya. Dia setuju biopsi dilakukan, dengan beberapa syarat. Antara lain mengajukan surat pengajuan pengadaan jarum suntik untuk biopsi seharga 2,5 juta. Istri saya mengurus semua yang diminta ke kantor BPJS di rumah sakit itu. Tapi, setelah surat tersedia dan diserahkan ke loket yang bertuliskan SMF Bedah Ortopedi, saya diminta menunggu seminggu untuk menunggu persetujuan direktur rumah sakit membeli jarum suntik. Artinya, biopsi di punggung belum pasti kapan dilakukan.
Lepas dari bilik onkologi, istri saya mendapat penjelasan dari balik loket perawat, bila pasien mendaftar hari itu, maka baru akan bertemu dengan dokter dua bulan kemudian. Saya dan istri datang awal Juli dan itu berarti saya baru akan bertemu dokter di bulan September. Alasannya: dokter onkologi yang bertugas setiap hari ada dua orang dan masing-masing hanya sanggup memeriksa 20 pasien. Sekali lagi saya dan istri tak punya pilihan. Saya mulai tertatih untuk berjalan. Nyeri di tulang belakang semakin menyakitkan. Saya hanya bisa telentang.
Keesokan pagi, seorang sahabat menelepon dan menanyakan perkembangan hasil pemeriksaan saya. Saya menceritakan kondisi saya dan apa yang saya alami di rumah sakit menggunakan BPJS. Dia terdengar seperti geram sebelum memastikan, siang atau sore hari itu akan ada dokter yang menjemput saya di rumah dan membawa ke rumah sakit militer itu. Sahabat saya juga menjelaskan bahwa ia sudah memberi tahu istri saya.
Saya terkejut. Ini mendadak, tapi saya tak punya alasan untuk menolak. Dokter itu datang sebelum Magrib dan tak lama kemudian, dia membawa saya ke rumah sakit tentara yang langit-langit kamar pasiennya putih bersih. Sejak malam itu hingga 10 minggu selanjutnya, saya hanya telentang di ranjang bangsal, selalu memandangi langit-langit itu. Siang dan malam.