Berteman dengan Sosialita: Bikin Bahagia tapi Juga Sungkan

MOJOK.COSeorang perempuan menceritakan tentang kegalauannya mengikuti gaya hidup sosialita teman dekatnya, yang bisa bikin bahagia dan sungkan dalam sekali waktu.

TANYA

Perkenalkan, nama saya Jijah. Saya terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Definisi biasa saja yang menggambarkan keadaan saya adalah: ibu masak telur goreng sebiji dicampur terigu biar bisa dimakan berempat. Jadi, setiap waktu makan selalu berasaskan 4 sehat 5 sambat.

Permasalahan dimulai ketika saya masuk kuliah—dengan beasiswa. Orang tua saya selalu mengajarkan saya untuk tidak pilih-pilih teman. Alhasil, bertemanlah saya dengan seorang kawan, sebut saja Mince. Mince ini memang terlahir kaya raya. Apa yang dikenakannya branded semua. Kaos oblong yang Mince pakai bahkan setara dengan uang kos saya… satu tahun!

Meski begitu, Mince bukan anak sombong. Pertemanan kami pun cukup dekat. Tak ayal, saya sering kecipratan makanan mahal atau barang-barang mahal—yang dia rasa nggak eman jika diberikan kepada saya. Semisal, dia pernah memberikan jaket seharga 2 juta secara cuma-cuma.

Bukannya saya merasa iri dengan keadaan dia. Namun, bayangkan jika setiap hari saya makan di Mekdi atau mengerjakan tugas di Starbak. Baru jalan satu minggu, uang saku saya sebulan bisa ludes tak bersisa. Sebetulnya, Mince selalu siap sedia untuk mentraktir. Namun, saya nggak enak jika terus-terusan ditraktir. Saya cukup tahu diri.

Terkadang, Mince juga mengikuti flow kehidupan mahasiswa menengah ke bawah seperti saya. Seperti makan di burjo atau nongkrong di angkringan. Dia sungguh bisa menyesuaikan diri dengan habitat saya. Tapi giliran saya yang mengikuti gaya hidupnya, demi Tuhan… saya bisa mati muda dengan bergelimang hutang.

Ini masih soal makan. Belum tentang belanja, liburan, dan kehidupan sosialita lainnya.

Bagi saya, berteman dengan Mince adalah anugerah, terlepas dari gunjingan teman-teman yang lain—bahwa saya berteman dengan Mince biar panjat sosial saja. Meski terhalang kesenjangan sosial—yang sangat senjang, pertemanan saya dengan Mince masih baik. Tapi kalau jujur, sebetulnya saya agak tertekan.

Kira-kira bagaimana solusinya, supaya pertemanan kami tidak renggang karena terhalang keadaan. Keadaan saya lebih tepatnya.

JAWAB

Hai Jijah yang sedang merasa tertekan karena punya teman dekat yang terlahir kaya raya dengan gaya hidup sosialita.…

Ngomong-ngomong, kamu adalah orang yang sudah cukup kuat dalam menghadapi kesejangan pertemanan yang sangat senjang semacam itu. Ya, bagaimana lagi, tantangan dalam hubungan ini tidak hanya ada di antara kalian. Namun laiaknya yang kamu katakan, banyak teman-teman yang sok ikut campur dengan hubungan pertemanan kalian. Dilihat dari ceritamu itu, sepertinya kamu termasuk pribadi tangguh dan bodo amat yang tidak mengindahkan omongan orang lain…

…dan ini keren! Pasalnya, tidak peduli dengan omongan orang lain adalah sesuatu yang sulit dilakukan di zaman yang memberikan kesempatan berlambe turah semakin besar seperti ini.

Memiliki teman seperti Mince memang sebuah keberuntungan. Pasalnya, tidak banyak teman yang betul-betul ingin berteman dengan kita tanpa memepedulikan bagaimana latar belakang kita. Seperti katamu, Mince adalah teman yang bisa menerimamu apa adanya. Apalagi dia bukan sosok yang sok mengatur dan mengontrolmu harus menjadi seperti dia, misalnya. Justru Mince mau berusaha untuk mengikuti gaya hidup sederhanamu. Anugerah Tuhan macam apa yang ingin kamu abaikan dengan punya teman seperti Mince ini, Jijah?

Sementara mengenai kondisi tertekanmu itu, saya pikir kejujuran adalah jalan paling baik untuk mengatasinya. Tuntutan hidupmu yang lain sudah sangat berat dan menguras energi, apalagi jika kamu justru memaksa dirimu sendiri untuk hidup dalam kepura-puraan.

Akan lebih baik jika kamu tidak membiarkan pikiranmu terlalu dipenuhi prasangka tanpa melakukan apa-apa. Kasihan kamu, yang tersiksa sendiri, mengeluh sendiri. Sangat sayang energi yang terbuang percuma hanya karena kamu memikirkan sesuatu, yang diam-diam namun pasti, menganggu kebahagiaanmu.

Masak karena merasa tidak enak dan sungkan dengan kebaikan Mince, kamu tiba-tiba menjauh dari kehidupan Mince? Lalu, apa yang ada di pikiran Mince, jika tiba-tiba dijauhi oleh teman dekatnya sendiri, tanpa ia tahu apa yang sebetulnya terjadi? Menjauh tanpa memberi kejelasan, itu sungguh kekanak-kanakan dan tidak menyelesaikan masalah, Jijah.

Jadi, tidak ada alasan untukmu merasa malu atau ragu untuk mengkomunikasikan dan menceritakan apa yang kamu rasakan kepada Mince. Tentang keadaanmu yang merasa sulit mengikuti gaya hidupnya. Serta perasaan sungkan dan nggak enak jika terlalu sering ditraktir—meski Mince memang tidak pernah bermasalah dengan itu.

Kalau kamu memang betul-betul merasa nyaman berteman dengan Mince sebagai pribadi—terlepas tentang bagaimana latar belakang keluarganya, tentu keinginan untuk menjadikan pertemanan ini awet, menjadi salah satu prioritas dalam hidupmu. Buka ruang untuk berdialog, daripada kamu terus menahan perasaan-perasaan tidak enak dan berharap Mince ujug-ujug punya wangsit bisa membaca alam pikirmu—yang sedang rumit itu.

Kamu tidak perlu merasa menjadi benalu dalam hubungan itu, Jijah. Sumbangsih dalam pertemanan itu bukan sekadar uang. Namun juga waktu dan tenaga. Jika kamu memang ingin membalas segala kebaikannya padamu, kamu bisa menyediakan diri jika dia membutuhkan sesuatu. Sesungguhnya, waktu, tenaga, dan kesetiaan justru sulit tergantikan oleh apapun.

Exit mobile version