Pada mulanya, Rambat hanyalah seorang pemuda desa biasa yang aktif di karang taruna. Ia tipikal pemuda santun yang bahkan untuk ngobrol dengan orang yang hanya dua tahun lebih tua pun ia merasa sudah wajib untuk menggunakan bahasa jawa halus. Oleh masyarakat, ia dikenal sebagai sosok yang ramah.
Namun, sebuah peristiwa membuat Rambat berubah 180 derajat. Rambat mendadak ikut terseret dalam kasus narkoba.
Rambat sejatinya tak tahu-menahu dengan kasus tersebut, yang ia tahu hanyalah, ia disuruh oleh kawannya untuk mengantarkan paket yang olehnya dianggap sebagai pakan burung. Belakangan baru diketahui bahwa paket yang ia antarkan ternyata adalah sabu-sabu. Pembelaan atas dirinya bahwa ia benar-benar tak tahu apa-apa rupanya tidak digubris. Rambat pun ikut terseret dalam kasus narkoba tersebut dan kemudian ikut ditangkap dan kemudian dijebloskan penjara.
Rambat mendekam tiga tahun di penjara. Dan begitu keluar, ia sudah berubah. Dari rambat yang santun menjadi Rambat yang sangar, yang gali, yang preman.
Selama di penjara, Rambat ternyata sangat disegani.Sikap Rambat yang anteng membuat banyak narapidana mengira bahwa Rambat adalah pemain yang punya pengaruh besar. Bahkan sempat beredar kabar bahwa Rambat adalah keponakan salah satu kepala mafia terkenal di Jakarta. Rambat sendiri tak tahu dari mana kabar tersebut beredar, yang jelas, ia tak ambil pusing dengan kabar tersebut, lagipula, kabar tersebut toh menguntungkan baginya, karena ia bisa menjadi bumbu dalam membangun reputasinya sebagai jagoan penjara. Hal itu semakin lengkap karena Rambat sedikit banyak masih punya kemampuan bela diri hasil belajar silat sewaktu remaja.
Begitu keluar dari penjara, nama Rambat langsung moncer. Namanya semakin berkibar saat ia berani menantang duel Kardun, bos preman yang begitu disegani oleh banyak preman di kota. Kala itu, Kardun tak menjawab tantangan Rambat dan lebih memilih pergi. Bukan karena ia takut berkelahi, melainkan lebih karena sikap hati-hati Kardun yang ternyata juga mendengar kabar burung soal Rambat yang keponakan mafia terkenal itu.
Nama besar Rambat membuat ia mudah punya anak buah, sebut saja Tejo dan Rifai. Tejo adalah kawan satu sel Rambat yang keluar penjara beberapa bulan setelah Rambat keluar, sedangkan Rifai adalah anak buah Kardun yang kemudian membelot menjadi anak buah Rambat.
Dengan nama besarnya, Rambat dibantu oleh dua anak buah setianya menjalankan bisnis jasa penagihan hutang. Reputasinya yang mencorong semenjak keluar dari penjara membuat Rambat mudah mendapatkan klien, serta mudah pula menjalankan pekerjaannya.
Hasil yang mereka dapatkan sangat-sangat cukup untuk hidup foya-foya. Setiap akhir pekan, saat mereka libur dari pekerjaan, mereka selalu menghabiskan waktu di bar tak jauh dari tempat biasa mereka nongkrong. Di bar tersebut, mereka mabuk sepuasnya. Mereka bisa menghabiskan sampai jutaan rupiah hanya untuk mabuk.
Di bar tersebut, hampir tak ada yang berani menganggu Rambat, Tejo, dan Rifai. Bahkan pemilik bar sekalipun.
Pernah suatu ketika, ada dua polisi berbadan besar yang kebetulan mampir di bar. Di sana, dua polisi tersebut tertawa melihat Rambat karena potongan rambutnya yang dinilai norak. Hasilnya, dua polisi nahas itu langsung kena sleding dan terkapar keser-keser di pojokan bar. Bagaimanapun, nama besar, citra preman, ditambah sisa-sisa ilmu silat dan kanuragan yang dulu pernah dipelajari oleh Rambat adalah tiga hal yang tidak disarankan untuk ditantang.
Peristiwa terkaparnya dua polisi bertubuh besar semakin menambah tinggi bangunan wibawa Rambat sebagai preman yang disegani. Ia semakin ditakuti. Jangankan Rambat, mencari masalah dengan dua anak buahnya pun orang pasti akan mikir berkali-kali.
Sama sekali tak ada yang berani main-main dengan Rambat dan dua anak buahnya. Hal tersebut seperti menjadi sebuah tradisi yang dijaga terus-menerus oleh banyak orang dan para pengunjung bar.
Tradisi tersebut akhirnya tumbang oleh seorang lelaki tua berusia lima puluh tahunan. Seorang lelaki berkumis, dengan rambut cepak, dan mengenakan baju safari kumal.
Ia datang ke bar dan langsung memesan sebotol bir. Tak butuh waktu lama baginya untuk menambah sebotol lagi.
Dengan kondisi kepala yang berat, ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru bar. Tepat di ujung tolehan, matanya berhenti pada meja yang diduduki oleh Rambat dan dua anak buahnya.
Si lelaki tua lantas bangkit, mendatangi meja Rambat, lalu nyerocos tidak jelas.
Awalnya si lelaki tua hanya nyerocos asal-asalan, tapi semakin lama, ia semakin berani karena mulai mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan.
Rambat tidak bereaksi, ia hanya diam, sedangkan dua anak buahnya, Tejo dan Rifai mulai emosi dan ingin segera menggebuk si lelaki tua.
Tejo dan Rifai mungkin sudah melayangkan bogem mentah pada si tua jika saja Rambat tidak bersikap diam. Mungkin Rambat sedang mencoba menahan kesabaran.
“Hei, anak muda, dasar kau anak tak berguna, bajingan!” kata si lelaki tua kepada Rambat.
Tejo dan Rifai mulai naik pitam mendengar si lelaki tua mengata-ngatai bos mereka dengan kata kasar. Sepanjang mereka ikut Rambat, belum pernah ada yang seberani ini.
Rambat tidak bereaksi, ia tetap diam, dan diamnya Rambat pun membuat Tejo dan Rifai tak berani bertindak lebih jauh pada si lelaki tua.
“Aku tahu, kau anaknya si Lastri yang rumahnya di ujung gang Flamboyan itu, kan?” kata si lelaki tua kembali. “Asal kau tahu, aku baru saja dari sana, dan aku bercakap banyak dengan ibumu.”
Rambat tetap diam. Ia teguk sedikit bir dari gelasnya, lalu kembali diam. Tejo dan Rifai semakin bingung dengan kejadian di depan mata mereka.
“Aku lihat ibumu sangat menggoda, sangat semok, aku tak tahan, aku peluk dia dari belakang, dia ternyata tidak melawan, rupanya dia suka, hahaha,” kata lelaki tua sembari tertawa keras.
Tejo dan Rifai hilang kesabaran, keduanya langsung maju ingin segera mendaratkan tinjunya. Namun hal tersebut urung dilakukan karena Rambat segera memajukan tangannya sebagai tanda untuk mencegah Tejo dan Rifai. Keduanya manut.
“Aku kemudian menyetubuhi ibumu, sungguh, dadanya begitu kenyal walau sudah kendor, dan aku suka…”
Rambat masih tetap diam. Rifai dan Tejo semakin tak habis pikir. Bagaimana tidak, ketika rambutnya dihina saja, Rambat langsung naik pitam, tapi kali ini, seseorang berkata hal yang tak senonoh tentang ibunya, dan Rambat diam saja.
“Ibumu menjerit, tapi menjerit puas. Hahaha,” si lelaki tua kembali menebarkan omongan. “Boleh jadi, akulah satu-satunya pria yang bisa memuaskan ibumu.”
Rambat masih saja diam.
“Cuma butuh lima menit bagiku untuk membuat ibumu merem melek kelojotan, oh… oh… oh….” kata si lelaki menirukan bunyi desahan perempuan.
Kali ini, Rambat berdiri.
Tejo dan Rifai tak bisa membayangkan akan jadi apa si lelaki tua ini. Maklum, sedari tadi Rambat hanya diam saat dicerocosi, maka ketika Rambat bangkit, ia pastilah dalam kondisi emosi yang paling paripurna.
Rambat mendekati lelaki tua itu. Ia ambil gelas dari tangan si lelaki tua itu. Tejo dan Rifai mengira Rambat akan mengepruk kepala si pria tua dengan gelas bir yang ada di tangannya. Tapi ternyata dugaan keduanya salah, sebab Rambat justru meletakkan gelas bir itu di atas meja.
Rambat mengajak pria itu ke luar bar meninggalkan Tejo dan Rifai yang penasaran dengan nasib si lelaki tua.
Di luar bar, Rambat merangkul lelaki tua itu, kepadanya, ia berbisik pelan, “Pak, Sudah. Bapak mabuk berat. Pulang ya, aku pesankan ojek. Nanti aku susul ke rumah.”