Surat buat Arthur Schopenhauer

Baca cerita sebelumnya di sini.

Hai Arthur,

Di tengah perjalanan tadi motorku kehabisan bensin dan kami sempat tersesat. GPS sialan. Kau mesti tahu rasanya dibodohi teknologi, Arthur. Jam sebelas malam aku masih berputar-putar di kompleks tak dikenal, sehingga untuk pertama kali dalam seumur hidup aku punya alasan memaki Borges.

Sepanjang perjalanan aku ajak ngobrol GPS.

Pengisi suara aplikasi GPS itu mungkin seorang perempuan berusia hampir empat puluh. Dari nada bicaranya yang datar dan tanpa emosi, aku menduga dia tipikal cewek yang ‘dingin’, mungkin berasal dari Bandung (karena Bandung dingin) dan pada usia 25 menyukai lagu-lagu Witchfinder General atau Xasthur atau band-band lain yang liriknya berisi anjuran menyakiti diri sendiri. Dari kebiasaannya menyuruh-nyuruh pengemudi dan pengetahuannya soal jarak, mungkin ayahnya seorang polisi lalu lintas. Dari kemungkinan-kemungkinan itu, kita bisa menduga-duga riwayat hidupnya.

Ia sudah SMP kelas tiga saat gelombang emo pertama menghantam Indonesia pada awal 2000-an. Karena tinggal di Bandung, ia mungkin mendengarkan Alone at Last sebelum kompilasi Anthem of Tomorrow. Ia terpapar lagu-lagu emo luar negeri melalui MySpace, dari situ ia mulai mengenal jenis-jenis musik lain, dan mulai mempertanyakan keberadaan dirinya sendiri sambil bingung mana yang membuatnya terlihat lebih sedih: sepatu Macbeth atau Converse Chuck Taylor All Stars. Ia mungkin membentuk satu atau dua band dengan nama Psychic Angels, Angina Ilness, atau Teenage Naughty Sadness dan di dalam band itu ia berperan sebagai vokalis dan penulis lirik.

Setelah lulus SMA, ayahnya memaksa ia masuk Akademi Kepolisian sebagai bentuk balas budi telah mewariskan DNA polisi. Namun ia menolak, ia punya kehendak bebas, dan ia ingin menjadi sesuatu yang lain, misalnya, menjadi vokalis band metal papan atas. Sang ayah marah dan memukulinya. Ia kabur dari rumah dan hidup bersama teman-teman.

Pada gelombang hijrah pertama yang menghantam Indonesia, teman-temannya mendadak menikah dan gemar berdakwah. Teman-teman yang dulu memandang hidup sebagai, meminjam istilahmu, kematian yang konstan, seketika berubah bahwa hidup, bagi mereka kini, adalah dakwah yang konstan. Ia berusaha konsisten hidup dalam penderitaan dengan mengubah selera musik dan bacaan, meninggalkan teman-temannya, dan hidup menyendiri sebagai pemandu jalan bagi orang tersesat, dan membuatnya semakin tersesat, seperti yang kualami tadi.

Sepanjang jalan aku menceritakan kisah hidupnya sambil berharap dia marah, kemudian mengeluarkan kalimat lain, mengumpat, misalnya, atau sekadar menjawab sengit. Aku juga memutuskan untuk tak mematuhinya, aku belok kanan saat ia menyuruhku ke kiri, dan sebaliknya. Aku menentang sikap otoritatifnya hanya melalui tindakan sebab aku benci percakapan satu arah. Seperti anjuranmu, aku menempatkan diriku sebagai jiwa dari GPS, dan motorku adalah tubuh kami, dan sebagai jiwa aku memiliki superioritas terhadap tubuh seperti dalam Phaidon. Dan kami semakin tersesat. Luar biasa. Karena itu, aku mengubah strategi. Kubayangkan baik GPS maupun aku tidak memiliki jiwa, sebagaimana tidak ada yang maha kuasa di balik keluasan semesta. Dengan cara materialistik model begitu kami akhirnya, untuk pertama kali, bertemu warung yang masih buka. Kumatikan mesin motor, membuka helm, membeli rokok, dan menanyakan jalan keluar dari kompleks itu.

Orang lain adalah api unggun.

Kunyalakan motor dan mengikuti instruksi penjaga warung. Aku memutuskan untuk berhenti berbincang dengan GPS dan mulai membayangkan dirimu yang berusia 45 tinggal di sini. Di kota ini, kau mungkin lebih senang berjalan kaki karena kau senang dengan keadaan sekarat. Kita lihat seberapa jauh kau bisa menerapkan hidup disiplinmu dan tetap memainkan flute-mu. Kau mungkin akan punya KTP, negara sayang rakyatnya, tak kepengin mereka melamun dua hari dua malam di tepi sungai sekadar memikirkan identitas. Tetapi kemurungan usianya panjang, kita sama-sama tahu, dan menjadi warga negara yang baik tidak bisa memperpendek usianya.

Aku masuk Jalan Merpati, keluar di Jalan Cendrawasih, keluar lagi di Jalan Elang Bondol, tiba di Jalan Camar dan masuk ke Jalan Kasuari dan masuk ke Jalan Merak dan Rajawali dan Merak atau Burung Hantu dan jenis aves lain. Setelah merasa seperti berputar-putar di kandang burung, aku tiba di Jalan Pemuda, yang kemudian menuntun aku ke arah pulang. Kau tahu, rasanya seperti dituntun pulang oleh seorang pemuda dan itu membuat aku seperti seorang jompo. Kalau kau ada di sini, barangkali kita akan sepakat suara manusia dan knalpot Kopaja tak ada bedanya.

Jangan lupa makan siang.

 

Pengagummu

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version