Baca cerita sebelumnya di sini.
Aku mendengar pernyataan itu dari seorang pembalap. Lengkapnya: Piala membutuhkan juara seperti rahasia membutuhkan kata. Suaranya, nyaring seperti bunyi knalpot bobokan, membelah sorak-sorai kerumunan di depan podium, lalu bergema di seluruh alun-alun kabupaten. Umurku sepuluh tahun waktu itu. Trofi juara road race kelas Underbone 125cc yang diusungnya memantulkan cahaya matahari ke mataku. Pembalap itu bernama Rudi Rodom.
Setahuku, hanya sekali itu Rudi berdiri di podium, untuk hari itu dan hari-hari lainnya. Pada kelas RX King, misalnya, ia menempati posisi kedua dari belakang, tiga peringkat di bawah joki motor ayahku. Orang dusun itu (semua orang yang bahasanya tak kumengerti adalah orang dusun) didamprat Ayah habis-habisan. Aku menghabiskan empat potong es lilin dan ia masih saja kena bentak. Tetapi itu tak penting. Hari itu, hanya ada satu pembalap di kepalaku.
Aku suka cara Rudi menikung. Saban balap sepeda dengan teman-temanku, aku selalu menikung dengan caranya: meregangkan badan sejauh mungkin ke sisi dalam sementara sepeda tetap tegak. Teman-temanku menganggap itu konyol. “Perhatikan lututku, Dea,” kata Yogi, anak tentara dan orang paling sok tahu dalam pergaulan kami. “Hampir menggesek tanah. Begitulah cara menikung yang benar.”
Hari itu, di bawah bayang-bayang kemenangan Rudi, aku meledek pembalap jagoan Yogi, lalu pura-pura tersandung sambil menyenggol mangkuk baksonya. Aku merasa gagah dan siap menang berkelahi melawannya, untuk pertama kali, tanpa menangis. Bagaimanapun, kemenangan Rudi adalah kemenanganku dan pernyataannya, meski saat itu belum kupahami, memberi keberanian.
Lalu musim mainan berganti. Dibanding balap sepeda, teman-temanku dan aku jadi lebih senang mengadu Beyblade dan Crushgear dan, kemudian, bertanding Playstation. Yogi masih saja menang terus, termasuk dalam urusan berkelahi. Lalu kecelakaan sepeda motor, yang tak ada hubungannya dengan balapan, meretakkan batok kepalaku. Ayah berhenti mengajakku menonton road race. Dia menggelar gelanggang sabung ayam di halaman belakang rumah kami dan jari manisku kena hantam martil saat aku membantunya memasang pasak-pasak. Tahi ayam di mana-mana. Aku naksir anak perempuan yang duduk tepat di depanku di kelas dan dia menusuk lenganku dengan jangka karena otaknya dimakan malaria. Diam-diam aku mencicipi arak milik teman ayahku. Tahi ayam masih saja di mana-mana. Lambat laun, aku kehilangan minat terhadap segala jenis balapan dan mulai melupakan Rudi Rodom.
Rahasia membutuhkan kata.
Sembilan tahun kemudian, sebagai mahasiswa jurusan filsafat yang secara sadar melipatgandakan risiko terinfeksi masa depan suram dengan cara berkubang dalam lumpur kesusastraan, aku kembali menemukan pernyataan itu. Kali ini dalam puisi “Nada Awal” Subagio Sastrowardoyo. Lengkapnya: Rahasia membutuhkan kata yang terucap di puncak sepi.
Seberapa besar kemungkinan dua orang yang tak saling mengenal, satu pembalap kampung dan satu penyair terkemuka, secara kebetulan sama-sama memikirkan pernyataan itu? Asumsiku, Rudi pernah membaca “Nada Awal.” Boleh jadi dia terpelajar. Toh, dulu, aku tak pernah tahu cukup banyak tentang dia di luar urusan balap.
Sampai di sini, mengingat bahwa kalian, pembacaku, adalah orang-orang nahas yang itu-itu saja, tentu kalian sudah tahu bahwa buku pertamaku, kumpulan puisi Misa Arwah, yang terbit setahun sebelumnya, kudedikasikan untuk Subagio Sastrowardoyo. Bayangkan, dua panutanku dari dua masa berbeda ternyata dihubungkan kesusastraan!
Rahasia membutuhkan kata karena kata menyediakan makna. “Hanya menterjemah gerak daun,” kata Subagio yang rendah hati. Apakah menterjemah kalau bukan memberi makna? Atau, seperti kata Rudi, apalah arti piala tanpa juara yang mengusungnya di atas podium? Di sisi lain, manusia jelas punya kebutuhan yang lebih banyak atas kata. Salah satunya, tentu, untuk menyingkap rahasia. Tanpa fungsi penyingkapan tersebut, kita takkan mengetahui apa-apa.
Aku membicarakan risetku atas seorang penyair tak dikenal, yang karya-karyanya, sejak kubaca pertama kali, terasa mengaduk-aduk semua isi badanku. Selama bertahun-tahun, aku bepergian kesana-kemari, membacai arsip-arsip apak, dan bertemu dengan orang-orang yang sebagian besarnya kurang menyenangkan, hanya untuk mendapati bahwa penyair itu adalah Rudi Rodom.
Catatan-catatan selama pencarian itu akan kuterbitkan sebagai sebuah kisah yang enak dibaca, meski tentu tanpa menghilangkan bentuk aslinya—laporan fragmentaris penuh penghakiman dan percakapan kotor (olehku) dan berbagai aksi menegangkan (oleh orang-orang lain). Adapun tulisan ringkas ini kubuat hanya untuk memberi konteks sekaligus menjelaskan omongan temanku Sabda Armandio pekan lalu.
Saat kutemukan, Rudi Rodom sedang berduel. Tepatnya, ia sedang terjengkang dan baru saja kehilangan senjata, sementara lawannya mendekat sambil mengayunkan belati. Itu jelas situasi hidup-mati, pikirku, dan aku ingin ia tetap hidup setelah semua yang kulakukan buat mencarinya. Ada begitu banyak pertanyaan yang aku ingin ajukan kepadanya, ada begitu banyak hal yang dapat kami bicarakan.
Kenangan tentang hari kemenangan Rudi kembali berputar dalam kepalaku. Es lilin mencair terlalu cepat, pembalap dari dusun yang menangis, kuah panas tumpah ke paha Yogi. Rahasia membutuhkan kata. Rahasia membutuhkan kata. Aku berlari sekencang mungkin ke arah mereka, melompat, dan menghantamkan siku ke bagian belakang kepala lawan Rudi.
Aku mengulurkan tangan, tetapi Rudi mengabaikannya dan bangkit sendiri. “Kau kira aku akan kalah, hah?” katanya. Dia meludah ke tanah, lalu meninju rahangku. “Kau pikir kau siapa?” katanya.
Dia pergi dan sejak itu aku belum melihatnya lagi.
Baca cerita berikutnya di sini.