Baca cerita sebelumnya di sini.
Salam kenal, Kala. From: Jannah Az-Zahra <jannah.zahra@gmail.com> Date: 4 Mar, 2029, 15:07 WIB To: Andangsaki Kalasan <as.kalasan@gmail.com>
Selamat siang, Kala. Atau lebih tepatnya, Andangsaki Kalasan.
Saya Jannah. Jannah Az-Zahra.
Saya tidak tahu siapa kamu, tapi saya merasa harus mengirim email ini kepadamu. Saya tidak yakin alasannya, tapi mungkin karena beberapa hari yang lalu saya mengecek kotak masuk email dan saya melihat beberapa email dari nama yang tidak saya kenal. Saya membacanya satu per satu. Saya mengernyit saat membaca semua email itu karena merasa kamu begitu mengenal saya, tapi saya tidak mengenalmu.
Tapi, yang lebih menggerakkan saya untuk menulis email ini adalah perasaan yang muncul di hati saya ketika membaca email darimu. Saya merasa mengenal sosok gadis yang kamu bicarakan di dalam email itu. Siapa namanya? Witfana Aulia? Fana? Nama yang menarik. Pertama kali membaca namanya, saya mengulangnya berkali-kali di kepala.
Fana, Fana, Fana….
Anehnya, kamu mengirim email ke saya, tetapi saya merasa bukan saya yang kamu tuju. Sepertinya itu cukup jelas.
Saya Jannah. Jannah Az-Zahra. Bukan Witfana Aulia. Meskipun demikian, saya merasa cukup familier dengan hal-hal yang kamu sampaikan di email-mu mengenai gadis bernama Fana ini. Sangat familier, malah, sampai-sampai saya merasa ngeri. Apakah di masa lalu saya adalah seorang gadis seperti Fana?
Ini dia masalahnya, Kala. Atau lebih tepatnya, Andangsaki Kalasan. Entahlah, saya lebih senang memanggil orang dengan nama lengkapnya. Itu membuat saya mengingat ulang nama saya sendiri. Mungkin itu cara saya mengingat masa lalu saya: sejarah hidup yang sudah terhapus dari ingatan saya. Atau lebih tepatnya, dihapus.
Saya tidak tahu mengapa saya merasa ingin menceritakan ini kepadamu, Kala. Saya tidak tahu banyak hal saat ini, tetapi saya merasa ingin menceritakannya kepadamu. Itu saja yang saya miliki saat ini, Kala. Rasa. Intuisi, jika kamu ingin menyebutnya demikian.
Intuisi saya mengatakan saya harus mengirim email kepadamu.
Intuisi saya mengatakan saya ingin—atau mungkin harus?—mengungkapkan hal ini. Hal yang tidak pernah saya ungkapkan kepada siapapun karena saya tidak merasa perlu untuk mengungkapkannya. Tetapi ketika saya tidak sengaja membaca email darimu, perasaan itu muncul. Intuisi itu bekerja. Saya merasa saya ingin mengirim email kepadamu.
Ini hal pertama yang ingin saya sampaikan kepadamu, Kala:
Intuisi adalah satu-satunya yang saya miliki saat ini.
Saya tidak punya memori.
Saya tidak lagi punya memori akan kehidupan saya di masa lalu.
Berapa usia saya sekarang? Dua puluh tujuh tahun? Saya bahkan tidak bisa ingat bagaimana diri saya di usia 26 tahun, apalagi dua, tiga, hingga sepuluh tahun sebelumnya. Saya tidak punya ingatan jangka panjang, Kala. Ingatan saya hanya sejauh makan apa saya tadi pagi dan apa yang saya lakukan sebelum tidur malam kemarin. Setiap kali saya mencoba untuk mengingat lebih jauh dari itu, kepala saya terasa sakit. Jika saya memaksakan diri, rasa sakit itu semakin kuat, dan saya tidak sanggup menahannya.
Suatu hari saya memaksakan diri untuk mengingat-ingat apa yang saya lakukan minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu. Intuisi saya mengatakan saya harus mengingat diri saya di sepuluh tahun yang lalu, itu artinya ketika saya berusia 17 tahun.
Tetapi, ketika saya melakukannya, rasa sakit di kepala itu muncul, menguat, dan membuat darah mengalir dari kedua lubang hidung saya. Bahkan telinga.
Suami saya memanggil dokter dan saya diperiksa. Saya hanya diberi obat pereda nyeri dan sedikit dosis vitamin penambah darah. Tidak ada yang sangat serius, menurut dokter itu. Tapi, semenjak peristiwa tersebut, saya tidak pernah mencoba untuk mengingat lagi.
Saya pikir, mungkin hidup saya akan lebih mudah jika tidak mengingat masa lalu.
Mungkin, saya akan lebih bahagia jika saya tidak dapat mengingat apa-apa. Mungkin, saya dan suami saya, serta anak yang sedang saya kandung, akan hidup bahagia bersama-sama jika masa lalu tidak hadir di kepala saya. Di kepala kami.
Jadi itu saja yang ingin saya sampaikan di dalam email ini untukmu, Kala. Lagi-lagi, jangan tanya mengapa atau bagaimana. Saya hanya mengikuti apa yang saya rasakan. Saya hanya mengikuti intuisi karena hanya itu yang saya miliki. Saya tidak memiliki penjelasan.
Mungkin, hidup kita semua akan lebih berbahagia jika kita tidak menuntut penjelasan.
Semoga hidupmu berbahagia selamanya.
Salam,
Jannah Az-Zahra
Baca cerita berikutnya di sini.