Ideologi, Revolver, dan Negara Khilafah Tahun 2029

Baca cerita sebelumnya di sini.

Terima kasih sudah memercayaiku

From: Andangsaki Kalasan <as.kalasan@gmail.com>

Date: data system errors (configuration doesn’t 
show absolute time)

To: Witfana Aulia <fanawit.aulia@gmail.com>

Fana yang baik,

Maaf aku baru sempat mengirim surel balasan untukmu sekarang. Kondisi di zamanku, 2029, tidak benar-benar baik. Maksudku, kondisi yang terjadi di luar sekaligus di dalam diriku tidaklah baik. Mungkin ini terdengar semakin membingungkan. Dan aku tak tahu harus memulai menjelaskan ini semua dari mana. Langit masih berwarna kelabu di luar jendela kamarku. Maksudku, benar-benar kelabu. Tidak mengandung hujan. Hanya mengandung unsur-unsur kimia beracun sehingga kami kebanyakan memilih membeli masker wajah khusus untuk beraktivitas di luar ruangan.

Aku membaca luapan tulisanmu di surel dengan tubuh gemetar. Aku harus mengakui ini. Tidak pernah sekali pun dalam bayanganku bahwa kita terhubung teramat jauh. Malam itu, titik balik sebelum algoritma mempertemukan kita (aku tidak bisa menggunakan kata “takdir”, maaf), kekasihku meninggalkanku karena alasan yang sangat tidak masuk akal. Ia bilang ideologi kami semakin berseberangan.

Ya, yang kumaksud i-de-o-lo-gi: semacam makanan berat yang tidak bisa dikunyah begitu saja, namun kamu tahu kamu harus memakannya untuk hidup dengan masyarakat yang semakin rumit. Aduh, maaf jika aku tidak bisa menjelaskan hal ini dengan sederhana. Maksudku, meski usia kita hanya berbeda empat tahun “saat ini”, dunia kita terlampau jauh berbeda. Apa aku perlu menjelaskan secara rinci ideologi ini padamu?

Intinya, ia meninggalkanku setelah kami saling menemani sejak masa sekolah menengah pertama. Tentu saja, aku limbung. Sebagai seorang lelaki yang tak pernah jatuh cinta lagi pada perempuan lain, kehilangan yang menimpaku teramat besar. Bahkan melampaui yang kukira. Aku tak lagi punya semangat untuk meneruskan riset-matinya-negara-bangsa bersama kekasihku dan memilih membenci kebanyakan orang yang kutemui di luar sana. Aku mengurung diri berminggu-minggu lamanya di kamar.

Sampai suatu malam, aku mabuk berat bersama segelintir teman yang masih kupercaya, dan mereka menghiburku dengan bombardir ledekan tanpa ampun. Salah satu dari mereka bilang kalau aku perlu meng-install app yang tengah diuji coba sekawanan mahasiswa geek di kampus untuk mencari teman tidur. Dari sekian banyak app sampah yang ada, entah mengapa justru app kita tersinkronisasi dan aku menemukanmu. Kamu menemukanku.

Sebelum kamu meradang dan spontan mengomeliku seperti biasa dengan sederet kata, aku benar-benar tidak sedang mencari teman tidur saat itu. Aku tidak mencari siapa pun. Tapi, alkohol membuatku meladeni provokasi teman-temanku. Dan kamu masih bocah—17 tahun, astaga! Kamu merayakan ulang tahunmu dengan pesta dan balon merah jambu dan mengunggah Story setiap dua jam sekali di Instagram.

Kalau boleh kutebak, ketakutan terbesarmu saat ini adalah gagal masuk kampus unggulan yang kamu idam-idamkan sejak SMP karena semua guru lesmu merujuk ke nama satu kampus besar. Mereka membangun alam mimpimu. Orang tuamu menekan dengan segala cita-cita yang ingin mereka jejalkan ke kepalamu sejak lahir: semoga menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Dan teman-temanmu tak ubahnya para pesaing yang akan terus menyalipmu, tak peduli betapa keras kamu belajar dari pagi hingga malam.

Kamu bertanya padaku soal apakah masih ada sesuatu yang konyol, lantas viral di 2029? Tentu saja ada. Di zamanmu, video atau foto viral lebih mirip keajaiban alam, bukan? Sesuatu yang spektakuler. Konten yang bisa jadi mencerahkan atau membuat banyak orang marah besar. Yang paling sering viral di zamanku adalah konten-konten yang mengandung unsur depresif yang kuat. Seseorang menyetrum dirinya sendiri di kamar. Seseorang memakan daging sapi yang sudah busuk. Seseorang mencukur kedua alisnya tanpa tersisa. Seseorang menangis selama 24 jam dan ia memaksa matanya untuk terus mengeluarkan air mata selama itu.

Foto yang kukirimkan ke kamu tidak pernah viral, tapi tetap menjadi salah satu bahan jurnalis untuk membuat berita yang menegangkan. Ya, aku sendiri yang mengambil foto itu. Kejadian bermula saat aku sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra (aku benci mengakui ini), mendapat tugas praktik mengajar di sekolah dasar tidak jauh dari rumahku.

Kondisi kelas sangat kacau. Maksudku, anak-anak itu susah diatur. Mereka terus bergerak dan tak mau diam. Satu-satunya cara membuat suasana belajar mengajar kondusif kembali adalah kepala sekolah memutar lagu kebangsaan kita (ya, lagu ini tidak berubah sejak kemerdekaan diikrarkan para lelaki priyayi untuk menegaskan ego mereka yang selama ini direpresi). Mereka langsung duduk manis.

Tapi mendadak seorang anak, sekitar berusia sebelas tahun, naik ke atas bangku dan mengacungkan senjata api. Sejenis revolver. Wajahnya tampak tenang dan seketika satu ruangan kembali heboh, kali ini menjerit histeris. Kepala sekolah tertembak mati. Aku tidak menyebut dengan kata “ditembak” karena mungkin, bocah itu tidak benar-benar berniat menembak seseorang. Ia hanya menarik pelatuk dan kebetulan, pistol itu menyimpan peluru. Namun kasus ini menjadi perhatian khusus Kementerian Pendidikan.

Oke, cukup sekian dulu. Kurasa tulisan ini sudah melebar ke mana-mana dan tampak mengerikan. Aku tidak sedang mencoba menakut-nakutimu. Jika sebagian besar orang di zamanmu tahu apa yang sedang terjadi di zamanku, mereka mungkin gembira. Negara kita telah menjadi negara khilafah. Banyak sistem pemerintahan yang dirombak total. Ditata ulang. Demokrasi tak lagi punya potensi menyejahterakan semua pihak. Satu raja—satu pemimpin absolut dibutuhkan untuk mengendalikan kekacauan demi kekacauan di era massa mayoritas merasa bisa melakukan apa saja.

Begitu saja ya, balasanku kali ini. Aku senang bisa memiliki teman sepertimu. Polos, bawel dan punya unsur “tradisional” di mataku. Hahaha. Aku bercanda!

Kalau kau ada di depanku sekarang, aku akan mentraktirmu kopi dan aku cukup menyimak ocehanmu secara langsung hingga tertidur nyenyak. Sudah lama aku tidak pernah bermimpi indah dalam tidurku. Semua tampak tidak menyenangkan kecuali kesibukan membalas segala rasa ingin tahumu.

 

Salam,

Kala

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version