Dua Kali Hantaman di Lambung Ternyata Tidak Buruk-Buruk Amat

Tak butuh lama bagiku untuk mengenali laki-laki itu adalah Sal. Ia berada si sisi jalan lain dan hendak menyeberang persis ke tempatku berada. Saat itu aku tengah berdiri di depan sebuah toko alat-alat tulis, menunggu ojek yang kupesan lewat aplikasi di ponsel datang, sembari memikirkan apakah sudah pantas bayi sembilan belas bulan dibelikan buku mewarnai. Namun, aku terlanjur membelinya. Hal ini cukup buat memastikan istriku tidak lagi terus-terusan bilang bayi perempuan kami punya bakat menggambar, setidaknya sebelum ia menemukan bakat terpendam yang lain. Kau tahu, bakat terpendam memang selalu begitu, tidak langsung muncrat begitu saja meski anak kami nantinya sudah bisa menghafal pin kartu ATM-nya sendiri di luar kepala.

Sejenak, aku memikirkan apa yang harus kulakukan: menunggu laki-laki itu sampai atau malah menyosongnya. Aku memang tipe orang yang sering memikirkan hal tak perlu dan gampang berubah pikiran. Tiba-tiba saja jarak kami tak lebih dari tiga meter sehingga aku bisa melihat dengan jelas potongan rapi rambutnya, kerah kemeja biru lengan pendeknya yang memudar, celana bahan warna hitam, dan sepatu pantofelnya yang berdekak-dekak.

Ia menyandang ransel kecil sambil berjalan dengan langkah yang sama persis seperti tiga belas tahun silam, saat pertama kali aku bertemu dengannya: langkah yang lebar dan lambat—yang hilang hanya kesan angkuhnya saja.

Saat kami saling bertumbuk pandang, aku merasakan ada sikap enggan terpancar dari sorot matanya. Sal seolah berusaha menghindariku. Aku tahu alasannya meski aku sendiri menyangkal: itu bukan sepenuhnya kesalahanku. Lagi pula, kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu.

Aku tersenyum. Sal mengulurkan tangan. “Sudah berapa tahun, ya?” tanyanya tertawa, masih menjabat tanganku.

“Lebih dari sepuluh, kukira.”

“Tunggu sebentar,” katanya menepuk-nepuk pundakku. Ia masuk ke toko, kemudian mengobrol dengan pemilik toko, seorang laki-laki tambun yang pelipisnya selalu berkedut tiap dua detik.

Aku kembali ruwet sendiri saat dihadapkan pada permasalahan yang sama. Memilih. Harus meninggalkan Sal atau malah membatalkan pesanan. Akhirnya, kuputuskan saja memilih yang belakangan.

Lima belas menit setelahnya, Sal keluar dari toko. Ia minta maaf karena membuatku menunggu agak lama. Toko terakhir yang kukunjungi hari ini, katanya. Sekarang Sal bekerja sebagai sales alat tulis.

“Kenapa kita tak pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku.

Sal tertawa. “Begitulah takdir bekerja, Kawan,” ucapnya sumringah, “Aku baru saja pindah area awal bulan ini.”

Lalu, seperti tiga belas tahun silam, saat pertama kali bertemu dengannya, Sal mengajakku minum kopi.

***

Pertemuanku dengan Sal cukup mudah buat diingat. Di samping kantin kampus, pada suatu sore berhujan, di penghujung bulan Desember tahun 2006. Ia menghajar perutku dengan lutut ketika aku tak sengaja tertawa mendengar ia menyanyikan, atau lebih tepatnya meneriakkan, lagu “Territorial Pissings”-nya Nirvana. Sebenarnya, suaranya tak buruk-buruk amat, tapi saat itu aku malah membayangkan seorang dukun sedang memantrai pohon ketapang.

Aku ambruk. Sal membantuku bangkit. Jujur saja, aku menyukai Nirvana—aku bahkan mengenakan kemeja flanel dan jins belel!—tapi saat itu, aku perlu alasan buat memuntahkan kekesalanku. Lantas kubilang, Kurt Cobain tak bisa bikin lagu. Sal memegang pundakku, lalu dengkulnya menghajar lambungku sekali lagi. Dua kali aku ambruk, dua kali pula Sal membantuku bangkit. Ia kemudian merapikan rambut gondrongnya dengan jari. Demi menebus rasa bersalah, ia lantas “mentraktirku” minum kopi.

Sembari menunggu kopi hitam pesanan kami dibikin, Sal kembali meminta maaf, tapi perasaanku sudah kepalang terluka. Ia memperkenalkan diri. Kubalas dengan menyebut namaku. Ia bilang tak pernah melihatku sebelumnya dan kujawab aku memang jarang-jarang ke sana. Ia bilang ia mengambil Jurusan Teknik Sipil 2003, lalu kujawab pula dengan jurusan dan tahun angkatan.

Percakapan, tepatnya tanya jawab kami sore itu, itu sungguh terdengar bodoh. Barangkali aku terlalu perasa, macam bocah perajuk yang tak jadi dibelikan mainan, lalu berusaha membuat ibunya kesal.

“Kosmu di mana?” tanya Sal merogoh saku celana. Ia mengelurkan dua lembar uang seribu dan sekeping uang lima ratus.

“Jalan Tiada Ujung, nomor 14,” ucapku meringis melihat uang Sal di atas meja. Aku sebenarnya hendak protes, tapi urung saat membayangkan dengkul kopong Sal. Selain kopi hitam, setidaknya Sal sudah menghabiskan lima gorengan dan satu roti isi kelapa—belum lagi, dua batang Garpit yang ia minta ke pemilik kantin seolah pemilik kantin itu mertuanya. Uang di meja jelas belum cukup buat membayar yang ia makan. Traktir, traktir kopi kepala bapakmu, ucapku dalam hati.

“Besok aku ke sana. Agak siang, tapi,” ucapnya datar sambil melangkah ke luar kantin. Sal berjalan menuju sepeda motor tuanya yang terparkir. Ia mengengkol Honda Astrea keluaran entah tahun berapa sambil mengumpat, berhasil menyala pada engkolan ketujuh atau delapan. Sebelum melaju, di antara suara bising mesin motornya, Sal berteriak, “Aku tak peduli kau, Amien Rais, atau siapa pun, tidak suka dengan Kurt Cobain. Aku hanya tak terima dia dilecehkan.”

Aku nyaris tergelak saat Sal menggabungkan Amien Rais dan Kurt Cobain dalam satu kalimat. Rasanya seperti menjajarkan gramofon dan mesin pemotong rumput.

Asap putih mengepul dari mulut knalpot. Sal menggeber motor tuanya lalu berbelok, menghilang menuju matahari terbenam seperti film koboi. Kurasa Sal adalah tipe pria bergajul yang sukar buat dibenci. Detik itu aku bersumpah, demi senar gitar Kurt Cobain, akan tiba masanya lambung Sal kuhajar balik.

Esoknya Sal benar-benar datang ke indekosku. Ia tak langsung mengetuk pintu kamar, melainkan membahas politik dengan bapak pemilik indekos di teras. Setelah bahasan mereka melompat tak menentu tiga-empat kali, kudengar bapak indekos mengajaknya meyambangi kolam lele peliharaannya. Sal menolak dengan halus. Ada tugas kuliah yang harus ia kerjakan bersamaku, katanya, lalu berteriak memanggilku.

Aku membuka pintu kamar. Sal masuk setelah membuka sepatu boot-nya, kemudian meletakkan kantung plastik berisi minuman di lantai.

Lalu entah bagaimana ceritanya, siang itu kami berhasil menuntaskan film The Commitments sambil merokok dan minum Pop Ice rasa vanila. Setelahnya, Sal mengajakku keluar.

“Tapi aku ada kuliah 40 menit lagi,” kataku berusaha menolak.

“Ah, kurasa inilah alasan kenapa kau tak punya teman,” ucap Sal meledek.

“Aku punya teman.”

“Mana temanmu?”

“Ada.”

“Mana?”

“Di kampus.”

“Kemarin kulihat kau sendirian macam anak itik kehilangan induk.”

Aku tak menjawab.

“Kuliah apa kau hari ini?”

“Mata kuliah umum.”

“Mata kuliah umum apa?”

Aku gelagapan. Sal terkekeh sambil memainkan kunci Astrea bututnya dengan jari.

“Berteman tak pandai. Berbohong bodohnya minta ampun. Kalau pun kau ada kuliah siang ini, kau kira dosen bakalan menolongmu kalau sedang kesulitan?”

“Memangnya kau mau menolongku?”

“Kau ikut tidak?”

Sialnya, aku malah tambah kagum pada Sal. Ia punya bakat membuat orang lain tak mampu menolak ajakannya, terlepas dari fakta bahwa ia adalah orang terakhir yang bakalan kau mintai bantuan andai sesuatu yang buruk terjadi, semisal kau dililit utang atau Korea Utara membidik atap rumahmu dengan rudal.

Sal memboncengku ke rumahnya. Kami sampai lewat jam tiga. Kukira, seperti kebanyakan teman di kampus, ia menyewa kamar indekos. Ia bilang orang tuanya bercerai dulu sekali. Mereka, ibu dan dua orang saudaranya, kembali menempati rumah kosong peninggalan kakeknya. Sementara itu, ayahnya pulang ke pangkuan gundiknya atau apalah.

Singkat cerita, Sal berhasrat untuk menguliti ayahnya dan tak ingin berpanjang kata membahas urusan keluarga.

Rumah Sal berbentuk huruf L. Masuk ke pekarangan, pandanganmu akan langsung tertumbuk pada satu petak ruangan yang menjorok ke samping. Di tengah pekarangan terdapat batang jambu air tua yang rindang, dikelilingi beberapa kursi kayu yang letaknya tak beraturan dan meja-meja bundar yang dibikin seadanya.

Abang sulung Sal dulunya aktivis kampus. Ruangan menjorok itu dulunya tempat ia dan teman-teman aktivisnya berkumpul. Sekarang, ruangan itu sudah jadi ruang baca dan tempat nongkrong anak-anak muda, kebanyakan mahasiswa tua dan orang-orang yang mengaku anak punk dan memakai kaos Sid Vicious, tapi tidak hafal lagu “God Save the Queen”.

Siapa pun boleh berkunjung ke sana. Tiap malam Minggu biasanya ada diskusi buku, pembacaan puisi, menonton film, atau jika tak ada agenda, waktu mereka dihabiskan dengan main gitar sambil minum tuak sampai pagi.

Lepas salat Magrib, aku dan Sal duduk di bawah naungan batang jambu air sambil menyeruput kopi. Beberapa orang yang tak kukenal keluar masuk ruang baca dengan santai. Beberapa orang lainnya duduk berkumpul tak jauh dari tempat kami.

Kemudian, dua orang teman Sal datang.

Ada Jojen, seorang lelaki tampan berkulit sawo matang, gondrong, dan berbadan kurus. Ada dua hal yang membuatku takjub pada Jojen: jari-jari tangannya yang panjang dan mungil, lalu bau badannya macam aroma rambut terbakar. Seorang lagi, Wen, berkulit terang, badannya lumayan gendut, dan ada bekas jahitan di atas bibirnya. Orangnya agak pendiam.

Sal bilang hari itu jadwal mereka latihan band. Dua kali seminggu: Kamis malam dan Minggu sore. “Jojen pegang gitar, Wen penggebuk drum, dan aku,” ucap Sal mengangkat alisnya,  “vokalis sekaligus tukang betot bass.”

Jojen kemudian menatapku. “Ehm, aku tak bisa main alat musik,” jawabku malu.

“Dulu kami berempat,” kata Wen.

“Dipecat, ya?” tanyaku mencoba bercanda.

“Anwar sudah mati,” ucap Jojen berat.

“Kelewat banyak menelan obat anjing,” Sal menambahkan.

“Semua orang bakalan mati. Tak peduli karena obat anjing atau tersedak biji durian atau diseruduk babi. Ya, begitu saja. Mereka mati.”

Aku tak ingat siapa yang mengatakan hal itu. Yang kuingat kami terdiam untuk beberapa saat, menyalakan rokok, lalu dari ruang baca terdengar lagu The Doors mengalun.

“This is the end/ Beautiful friend/ This is the end/ My only friend/ The end…”

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version