Baca cerita sebelumnya di sini.
Trisutrisno Wahyu Suharto alis Surti akhirnya ditemukan dan bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Aparat menemukanya dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Di kepalanya, maksudnya, tepatnya di daun telinganya, tertempel lekat-lekat dengan lakban coklat sebuah tape recorder kecil yang tersambung ke aki di sudut ruangan tempat penyekapan. Tape itu masih menyala, dengan kaset yang masih berputar, saat aparat melepas benda itu dari pelipis Surti. Suara ratapan Mirnawati dalam lagu “Jeritan Hati” masih mengalun.
Tuduhlah aku sepuas hatimu
Atau bila kau perlu… bunuhlah aku.
Tak jauh dari tubuh terikat Surti, tergeletak sebuah kotak kaset kosong bertajuk Dangdut Hits ’88. Sampulnya merupakan kolase wajah Mirnawati, Mega Mustika, Itje Trisnawati, dan Ayo Soraya, Mansyur S., Hamdan ATT, dan Latif Khan.
Surti ditemukan bersamaan dengan penggerebekan yang dilakukan pasukan antiteror terhadap sebuah bekas warung kopi yang orang sudah lupa kapan terakhir buka. Polisi antiteror menembak tiga terduga teroris, atau yang sejauh ini dianggap demikian. Di tempat terpisah, Rokeman, lelaki lewat paruh baya, seorang mantan penyanyi tidak jadi, yang juga dikenal sebagai tukang reparasi elektronik yang tidak laku, digelandang keluar rumahnya yang tak jauh dari kantor polsek setempat. Tak seberapa lama, Ulid, anak Rokeman, pemuda luntang-lantung yang dianggap sedang kurang waras, dicokok juga.
Operasi ini dilakukan tak lama setelah pemeriksaan forensik terhadap mayat Kaji Badrun menyimpulkan bahwa ia dibunuh.
“Sejauh ini, kita bisa simpulkan bahwa upaya teror ini berasal dari kelompok lama yang berkonsolidasi kembali. Dari data-data yang kita punya, para pelaku, yang terpaksa kita lumpuhkan karena melakukan perlawanan, terdeteksi sebagai sisa-sisa Organisasi Tanpa Bentuk atau OTB yang sekitar 30-35 tahun lalu tak benar-benar berhasil ditumpas oleh aparat. Namun, dua orang kolaborator jaringan ini, salah satunya berinisial R, yang tampaknya menduduki posisi komando yang lebih penting dalam gerakan ini dan mengambil peran yang lebih sentral, berhasil kami amankan,” kata juru bicara kepolisian, sembari membeber beberapa alat bukti seperti sekantong plastik pentol, tiga buah topeng wajah Meggy Z., dua buah tape recorder berukuran sedang dan kecil, beberapa kaset dangdut lawas, topi AC Milan, dan dua buah kuali pindang yang masih tersisa isinya. Baunya amis sekali.
“Tidak ada senjata dan bahan peledak, Ndan?” seorang wartawan bertanya.
“Sejauh ini tidak ada. Dan mereka memang tidak melakukan teror dengan cara yang biasa dilakukan kalangan teroris. Tapi ini,” Pak Polisi mencincing plastik berisi pentol bakso, menunjukkannya kepada seluruh wartawan yang hadir, “ini boleh jadi sejenis senjata baru. Mungkin kimia atau biologi, tim kami masih menelitinya.”
“Lalu, ada apa dengan dangdut, Pak?” tanya seorang wartawan lainnya.
“Anda bertanya kepada saya?” Pak Polisi bertanya balik. “Tentu saja saya tidak tahu. Saya tidak tahu dangdut, dan tidak suka. Saya senang dengan tembang uron-uron.”
Lalu jumpa pers ditutup.
“Beres semua, kan?” tanya sebuah suara di telepon genggam Pak Polisi, begitu ia keluar dari ruangan jumpa pers.
“Siap. Beres semua, Pak. Ya, ya. Siap laksanakan, Pak.”
***
“Ulid!”
Ulid menoleh ke belakang. Ia melihat seseorang berlari ke arahnya, mengejarnya.
“Ulid, ‘kan?”
Ulid mengangguk.
“Kok sudah bebas?”
“Aku edan.”
“Maksudnya?”
“’Wong edan kwi bebas’, to? Begitu kata Sodiq.”
“Wih, sejak kapan kau mengutip Sodiq?”
“Sejak aku bebas.”
“Tidak mengutip Rhoma Irama lagi?”
“Masih. Lagu ‘Bebas aku bebas,’ itu ‘kan? Tapi Rhoma tidak menyebut-nyebut soal edan. Jadi, dalam hal ini Sodiq lebih komplit.”
“Jadi kau sekarang suka koplo juga?”
“Tidak. Tapi aku menerimanya.”
“Maksudnya?”
“Ah, kau tahulah maksudku.”
“Oh ya, bagaimana kabar bapakmu?”
“Mati. Kata polisi bunuh diri di penjara. Mungkin dibunuh.”
“Makmu?”
“Mati juga. Pasti karena ngenes. Suaminya mati. Anaknya edan.”
“Wah, aku turut berduka.”
“Tak apa. Aku tidak sedih, kok. Oh ya, kamu sudah tahu kalau Pakde Tato, Pakde Parut, dan Om Meji mati?”
“Ya, aku tahu.”
“Tahu dari mana?”
“Aku tahu lebih banyak dibanding yang kau pikirkan.”
“Apa yang kau tahu?”
“Ada seseorang yang memanfaatkan bapakmu dan ketiga pamanmu, orang-orang lama yang mencintai dangdut dengan tulus itu, untuk memusuhi musik koplo. Lalu, setelah apa yang mereka lakukan, mereka disikat balik. Oleh orang yang sama.”
“Kau tahu siapa dia?”
“Tahu. Dia orang yang membela sesuatu yang lebih lawas dibanding dangdut lawas. Ia melihat koplo jauh lebih merusak dari apa pun yang pernah dihadapinya. Kita membicarakan orang yang sama, ‘kan?”
Ulid mengangguk-angguk. “Oh ya, kalau begitu, kau pasti sudah tahu kalau aku sakti?”
“Oh ya?”
“Katanya tadi tahu banyak?”
“Kalau itu aku tidak tahu.”
“Bapakku yang bilang. Aku awalnya tidak percaya, lalu kucoba. Ternyata benar. Mau coba kesaktianku?”
Ulid menoleh ke tempat yang kosong. Tak ada siapa pun di sampingnya.
***
Di halaman belakang sebuah rumah besar yang rindang, dengan gazebo, kerangka besi untuk rerambatan angrek, pot-pot bunga, tiang-tiang besi panjang dan pendek tempat menggantung sangkar-sangkar burung, Jend Polisi (Purn.) P. Eko Aryanto, tidur-tiduran ayam di kursi malasnya. Matanya pejam, kepalanya bergoyang-goyang kecil. Suara gamelan Jawa yang lembut mengalun dari dalam rumah. Sore sebentar lagi senja.
“Selamat sore, Pak Jenderal.”
Pak Jenderal membuka matanya. Mukanya terlihat sangat terganggu.
“Kan aku sudah bilang tadi, janga…. Siapa kamu?”
Ulid berdiri dengan canggung, tak jauh dari kaki Pak Jenderal yang menggantung. “Saya Ulid. Anak Rokeman.”
Muka Pak Jenderal mengernyit. “Aku tidak kenal Rokeman.”
“Mungkin Pak Jenderal tidak kenal Bapak saya. Tapi Bapak saya kenal Pak Jenderal.” Ulid mengulurkan foto tua. Dua orang berjas kuning berjoget bersama.
“Bagaimana kamu masuk?”
“Saya minta izin pada pengawal Pak Jenderal. Dan diizinkan.”
“Kok bisa?”
“Saya sakti, Pak.”
Pak Jenderal hendak berteriak, tapi Ulid mencegah dengan menggelengkan kepalanya. “Tidak ada gunanya, Pak. Untuk sementara waktu, para pengawal Pak Jenderal sedang lupa tugasnya. Jangan lupa, saya sakti, Pak.”
“Lalu apa maumu?”
“Ingin bertemu Pak Jenderal.”
“Terus?”
“Mau tanya apa cara mati paling tidak menyenangkan menurut Pak Jenderal.”
“Kau mau membunuhku?”
“Tidak, bukan saya. Musik dangdut yang akan membunuh Pak Jenderal.”
Pak Jenderal tampak tidak mengerti, tapi ia bisa sedikit tersenyum begitu mendengar kata-kata yang terdengar berlebih-lebihan dan tidak serius itu.
“Apakah kau akan memaksa orang lain yang tidak menyukai dangdut mendengarkan dangdut, seperti bapakmu?”
“Tidak. Bapak saya terlalu sabar. Saya tidak sesabar Bapak. Dan saya tidak membayangkan Pak Jenderal menyukai dangdut. Jadi, saya tidak ingin membuang waktu. Saya ingin Pak Jenderal mati karena musik dangdut.”
“Apa yang ingin kau lakukan? Lagi pula kenapa kau pakai payung?”
“Oh, dari tadi saya pakai payung ya.” Ulid seperti terkejut, dan memandang dengan takjub dan konyol ke arah gagang payung di tangannya. “Ingat pepatah sedia payung sebelum hujan, Pak.”
Pak Polisi bingung.
“Saya inginnya bikin Pak Polisi joget sampai mati dengan iringan lagu Santa Hoky, seperti yang dulu dilakukan Bapak saya kepada para pemuda pengganggu kampanye Golkar. Tapi sepertinya itu tidak menarik. Sudah pernah. Saya mau sesuatu yang baru. Saya akan menghujani Pak Polisi dengan kepingan-kepingan VCD dangdut.”
“Itu metafora ya?”
“Tidak. Ini betulan.”
Persis dengan saat Ulid berhenti bicara, sebuah benda bening ringan meluncur dari ketinggian, menghantam permukaan payung Ulid dengan kecepatan tinggi, sehingga mental dan menghantam muka Pak Jenderal. Pak Jenderal terkejut. Namun, begitu ia menengadah ke atas, menelisik udara kosong di antara kerindangan pohon-pohon dan bebungaanya di halaman belakang rumahnya, ia menjadi ketakutan.
“Karena Pak Jenderal sangat membenci koplo, maka saya pilihkan VCD-VCD koplo saja. Ini koplo semua, Pak.”
Dua kepingan menyusul jatuh meluncur. Kali ini langsung ke muka Pak Jenderal.
“Tanpa plastik pembungkus dan tak pakai sampul, jadi nanti siapa pun yang mau ambil langsung bisa memutarnya.”
Lalu sekitar sepuluh keping VDC seperti diguyurkan dari langit, menghantam Pak Jenderal dari berbagai arah. Pak Jenderal lintang pukang. “Aduh!” Ia menutupi mukanya dengan kedua lengannya. Tapi puncak ubun-ubun kepalanya yang agak botak tak terlindungi. “Aduh! Aduh!”
“Oh ya, semuanya murni bajakan, Pak. Lebih murah. Dijamin rumah Pak Jenderal akan diguyur lebih banyak keping VCD.”
Sekitar lima belas menit kemudian, Ulid dengan gontai keluar dari rumah besar yang sekarang sudah jadi gunungan tumpukan jutaan keping VCD bajakan dangdut koplo itu. Tanpa menoleh ke belakang, seperti seorang jagoan di film perang Amerika, ia menggumam:
Dalam renunganku sorang
Di ambang sore nan layu
Di simpang tiga titian
Tamasya indahku bisu