Yang paling membahagiakan dari Ramadan hari-hari pertama adalah saya bisa berangkat ke masjid bersama anak laki-laki sulung saya untuk menunaikan ibadah salat Isya, dilanjutkan Tarawih. Meski harus memberinya uang saku Rp 5 ribu untuk jajan di jeda antara salat wajib dan sunnah, itu tidak mengurangi kebahagiaan saya. Di usianya yang belum genap 11 tahun, anak saya itu belum bisa menikmati sajian kultum.
Tapi, saya mulai berpikir, jika setiap hari harus menyogoknya untuk ke masjid selama 30 hari Ramadan, jumlahnya menjadi Rp 150 ribu. Padahal anak saya empat. Jika kepada setiap satu anak harus memberi sejumlah nominal yang sama, atas nama keadilan, sepertinya saya harus membiarkan kotak amal lewat begitu saja sebulan ke depan. Apalagi, saya masih harus membayar zakat, beli baju lebaran, dan lain-lain.
Bulan Suci Ramadan yang seharusnya menjadi bulan penghematan justru tak ubahnya menjelma bulan pemborosan. Diam-diam saya bersyukur: untung malam itu saya pergi ke masjid hanya dengan satu dari empat anak saya. Tapi, tebersit juga perasaan bersalah: mengapa harus khawatir tak punya duit yang cukup untuk memberi uang jajan selama Musim Tarawih? Ya, memang musim karena memang musiman.
Dan, ramai-ramainya orang pergi ke masjid untuk berjamaah Tarawih cuma pada sepekan pertama. Semakin ke tengah bulan, semakin sepi. Akhir bulan, atau menjelang Lebaran, angka kehadiran jamaah di masjid kompleks bisa menurun drastis karena Musim Mudik telah tiba. Musim Tarawih telah berganti Musim Mudik. Jumlah jamaah di masjid-masjid di daerah tujuan mudik-lah yang akan relatif membludak.
Saya mulai menghitung ulang potensi pengeluaran jika keempat anak saya ikut ke masjid setiap malam sepanjang Bulan Puasa. Jangan-jangan, semakin tengah bulan semakin besar pula kemungkinan anak-anak tidak mau ikut saya ke masjid. Oleh karena itulah, tidak ada salahnya jika sepekan pertama ini saya berusaha maksimal mengajak mereka ke masjid. Saya tak khawatir lagi pembengkakan akan sebesar kalkulasi sebelumnya.
Senyum saya semakin lebar menyadari anak bungsu saya yang masih berumur dua tahun tak akan jajan apa-apa—meski menerima pula selembar uang Rp 5 ribu. Begitu pun kakaknya yang belum genap berusia lima tahun. Keduanya bahkan belum tahu apa bedanya selembar Rp 5 ribu dan Rp 1 ribu. Ah, saya menjadi semakin bersemangat mengajak anak-anak ke masjid selama Ramadan tanpa khawatir kehabisan “uang sogokan”.
Kotak amal yang melintas di depan saya pun saya ganjal. Tidak boleh lewat sebelum saya masukkan selembar uang Rp 10 ribu, ditambah senyuman lebar. Apalagi ini Bulan Suci Ramadan yang penuh berkah. Di bulan-bulan di luar Ramadan, Allah akan membalas satu kebaikan dengan sepuluh pahala. Di Bulan Suci Ramadan, pahalanya akan dilipatgandakan! Uang Rp 10 ribu yang saya infakkan akan dilipatgandakan!
Tapi, nanti dulu. Dilipatgandakan jadi berapa ya, kira-kira? Jika pada hari-hari ke depan mendapat rezeki Rp 100 ribu, apakah itu dari pelipatgandaan sepuluh kali infak saya? Bila yang memasukkan uang ke kotak amal ini anak bungsu saya, apakah juga akan mendapatkan pelipatgandaan yang sama—meski ia tidak tahu beda antara lembar uang yang satu dengan yang lain? Bagaimana sesungguhnya definisi pahala itu?
Seringkali dalam kehidupan, terutama dalam beribadah, saya melakukan atau tidak melakukan sesuatu bukan lagi karena Allah, melainkan karena pahala. Jika ada pahalanya, saya cenderung ringan tangan mengerjakannya. Tanpa iming-iming pahala, sungguh berat hati saya untuk berletih-letih. Bahkan saya sempat berpandangan bahwa pahala adalah mata uang surga, sebagaimana rupiah adalah mata uang negeri saya.
Tak punya pahala, tidak bisa mendapat apa-apa di surga. Menjadi sangat beralasan jika saya rajin menabung pahala: mumpung masih di dunia. Hanya saja, terus terang, saya belum pernah melihat buku tabungan pahala saya, tidak tahu nomor rekeningnya, apalagi neraca saldo saya. Saya percayakan saja kepada malaikat pencatat. Saya kepincut sejak tahu sistem pelipatgandaan pahala berlaku setara untuk semua umur.
Sejak awal, Allah memang berpihak pada manusia. Kebaikan yang material (dengan uang) maupun yang immaterial (non-uang) sama-sama dikonversikan menjadi mata uang surga, yakni pahala. Di satu sisi, Allah akan membalas satu kebaikan dengan sepuluh pahala. Di sisi lain, satu keburukan akan dibalas satu dosa saja. Niat baik sudah dihitung satu kebaikan. Niat buruk tidak dihitung satu keburukan jika masih sebatas niat.
Betapa Allah itu Maha Pemurah dan Pengasih, pun Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Tidak tiap perbuatan buruk berujung dosa. Siapa tahu hanya berhenti pada urusan terhadap sesama manusia, bukan urusan dengan Allah. Pun jika terhubung pada Allah dalam urusan dosa, satu keburukan dibalas dengan satu dosa. Duh, betapa rendah akhlak saya yang hobi menyalahkan dan mengadili keburukan orang lain?
Saya melirik orang di sebelah saya yang tidak mengisi kotak amal, menilainya buruk dan salah. Boros untuk dunia, namun pelit untuk akhirat. Tapi, setelah saya pikir-pikir, dia tidak berbuat buruk dan salah apa pun—hanya tak mengisi kotak amal. Jangan-jangan, dia justru membatin,”Kelak jika sekaya orang di sebelahku ini, aku sisihkan rezeki untuk mengisi kotak amal.” Gara-gara niat baik, dia bisa mendapat satu pahala.
Selesai mengerjakan rangkaian ibadah di masjid, saya dan anak sulung saya bergegas pulang. Ada janji dengan ustadz yang akan mengajar anak-anak saya mengaji Al Qur’an. “Ustadz, kita terbuka saja. Berapa apresiasi yang harus saya siapkan untuk Ustadz tiap bulannya?” Ustadz itu menjawab, “Saya tidak tahu, Pak. Silakan saja berapa. Saya tidak sedang berjualan ilmu dan ayat Allah. Saya ini guru ngaji.”
Saya terkejut mendengar Ustadz ini. Dia bilang, jika pun ilmu dan ayat Allah diperjualbelikan, tak ada yang sanggup membelinya. “Satu huruf Al Qur’an itu lebih baik daripada dunia seisinya. Saya harus jual berapa?” ujarnya.
Meski mengagumi sikapnya, saya toh realistis. “Ustadz tidak butuh uang?” Dia cepat menjawab,”Yang butuh uang itu transaksi.”
Duh, jangan-jangan selama ini saya mendekati Allah secara transaksional.