Sebentar, jamaah Maiyah harap jangan naik pitam dulu. Jangan protes dulu: “Cak Nun kok disejajarkan dengan Iqbal, situ ngajak gegeran?”
Untuk mendinginkan hati Anda, saya bagi informasi yang penting: Iqbal Aji Daryono adalah jamaah Maiyah. Valid. Kalau sedang berada di Yogya, Iqbal bisa ditemui di kerumunan jamaah Maiyah di Kasihan, Bantul, setiap tanggal 17 malam. Sampai pagi. Sambil sesekali berjalan ke sana kemari, berharap ada orang yang mengenali dirinya lalu mengajaknya foto bersama. Dalam hal diajak foto bersama para penggemarnya, Iqbal agak lebih kalem dibanding Agus Mulyadi. Kalau Agus menghitung dalam satu acara berapa kali diajak foto bersama. Keesokan harinya, Agus akan bilang, “Asu, semalam yang ngajak foto aku 20 orang tapi yang mengunggah di Facebook cuma 2 orang.” Agus lupa bahwa foto orang memang sudah tidak bisa dipakai menakut-nakuti maling, tapi setidaknya bisa untuk menakut-nakuti tikus.
Sudah tentu, Iqbal adalah adalah penggemar berat Cak Nun. “Kalau di India, mungkin Cak Nun sudah jadi nabi, dan punya sekte sendiri.” ujarnya suatu saat ketika bertemu saya di acara Maiyah.
Cak Nun adalah penulis esai produktif. Mungkin paling produktif di antara penulis esai yang ada di Indonesia. Tahun lalu, lewat akun Twitternya, Radio Buku menyatakan kalau setidaknya Cak Nun telah menulis 5.000an esai. Itu yang terdokumentasi. Pasti ada yang nyelip tak terdokumentasi dengan baik. Dan bisa jadi itu banyak sekali. Jumlah sebanyak itu belum termasuk esai-esai anyarnya yang disebar lewat Whatsapp maupun lewat situsweb caknun.com.
Konon, di era ketika namanya melambung, semua media massa mengantre tulisan Cak Nun. Dalam semalam, dia bisa menulis lebih dari 5 esai. Namanya saat itu adalah jaminan keterbacaan yang tinggi. Koran dan majalah memburunya untuk menaikkan oplah.
Iqbal saat ini termasuk penulis yang paling banyak diburu media massa baik cetak maupun online. Setidaknya, jika dia mau, belasan media siap menampung tulisannya setiap minggu. “Enak dong, Bal,” komentar saya waktu dia curhat sambil setengah pamer kepada saya.
Dengan cengengesan dia menjawab, “Kalau bisa menulis sebanyak itu, ya enak. Aku bisa bikin rumah lagi. Malah bisa menikah lagi.” Tentu saja kalimat terakhir itu tambahan dari saya.
Dan ini informasi yang sangat penting. Sekali lagi sangat penting. Semua media massa yang menawari Iqbal menulis, selalu dengan pesan khusus, “Tulislah esai yang seperti Mojok, Mas Iqbal…”
Seperti Mojok. Seperti Mojok. Ya. Seperti Mojok.
Secara kuantitas tentu saja Iqbal belum bisa dibandingkan dengan Cak Nun. Tapi keduanya hidup di era pembaca yang berbeda. Cak Nun muncul dari media cetak. Iqbal mengerek bendera di era ketika media digital tumbuh, dan ketika Facebook menjadi andalan untuk membangun brand.
Cak Nun mulai berkilau di tahun 70an, Iqbal di tahun 2010. Beda 40 tahun. Sama dengan usia saya.
Lagi-lagi, jangan marah dulu para jamaah Maiyah… Tentu sampai sekarang, di era serbadigital, Cak Nun juga masih dan makin mengilap. Satu tayangan Cak Nun di Youtube saja bisa diunggah belasan akun. Isinya sama. Itu meneguhkan bahwa pamor Cak Nun sebagai tokoh masih mencorong.
Apa poin dari semua itu? Begini… Sebagai Kepala Suku Mojok, saya sering ditanya: Bagaimana merancang Mojok dengan gaya penulisan yang baru?
Sepintas pertanyaan itu sepertinya membanggakan. Tapi sesungguhnya menyedihkan. Itu tanda bahwa ada banyak orang yang tidak melihat sejarah dengan baik. Esai-esai seperti di Mojok sesungguhnya sudah banyak bermunculan sejak dulu. Umar Kayam, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, Bondan Winarno, Mahbub Djunaidi, dan masih banyak penulis lain, yang menulis esai-esai yang lentur, penuh sanepo, satir, dan tangkas. Jadi, Mojok bukan merancang dari nol. Hanya saja, Mojok hadir dalam situasi ketika media sosial sudah bisa menjadi rujukan atas tulisan yang bagus dan tidak.
Media sosial, utamanya Facebook, jelas punya kelenturan dan keleluasaan tersendiri. Bahasanya bisa campuran, cengengesannya bisa berlebihan, pisuhan bisa dilontarkan. Mojok tetap tidak punya masalah dengan itu. Media massa lain mungkin mikir. Atau misalnya ketika Arman Dhani (yang masih bisa menulis bagus itu lho, sekalipun sudah terkenal, kaya, dan punya pacar) meliuk-liuk memaparkan argumennya secara logis, namun diakhiri dengan, “Ayo kita balen, Dik…” Mojok tidak mau menyunting yang seperti itu. Biar saja. Karena asyik.
Mojok tidak hadir di ruang hampa. Steril. Bahkan penulis-penulis Mojok punya rujukan penulis-penulis lain. Agus adalah penggila berat tulisan-tulisan Umar Kayam. Arlian Buana penggemar tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi. Iqbal jelas, pengagum Cak Nun. Dhani pencinta Catatan Pinggir Goenawan Mohamad. Dhani boleh sangar dalam tulisan-tulisannya, tapi bertemu begawan Salihara itu, dengkulnya gemetar. Mestinya dia melakukan wawancara, tapi malah menyodorkan lengan kanannya, “Pak, bolehkah tandatangan di lengan saya? Mau saya bikin tato…” Sudah tentu itu pelintiran dari saya. Sebab yang benar, dia membuka ranselnya, lalu mengeluarkan belasan jilid buku karya Goenawan Mohamad untuk minta tandatangan. Agenda wawancara buyar.
Sebagai penulis, sekalipun tidak sehebat nama-nama yang saya sebut di atas, saya sering agak sedih kalau seorang penulis dianggap tidak punya kesinambungan sejarah dengan penulis-penulis sebelumnya. Bahwa sebagai manusia kreatif mereka memberikan sentuhan yang berbeda, tentu begitulah harusnya.
Jadi begitu. Jangan tanya lagi soal Mojok yang merancang konten yang benar-benar baru ya…
Puja-puji tidak membahagiakan kami. Basa-basi tak bisa lagi menghibur saya. Hanya ranking Alexa yang bisa.