Jika sejarah kelam bangsa ini dirunut, kesalahan terbesar presiden Soekarno ialah Demokrasi Terpimpin. Kesalahan terbesar Soeharto, developmentalisme. Habibie, referendum Timor Timur. Gus Dur, mempercayai Amien Rais. Megawati, menjual aset-aset vital bangsa. SBY, terlalu gemar curhat. Dan kesalahan terbesar Jokowi adalah, menjadi presiden!
Andai Stephen Hawking benar-benar sukses menyempurnakan Teori Relativitas Einstein, lalu berhasil mencetak mesin waktu, saya hakulyakin Jokowi akan memilih kembali ke beberapa tahun tahun silam ketika ia enak-enak jadi walikota Solo, atau lebih jauh lagi ke periode sebelumnya ketika ia menjadi “sekadar” pedagang mebel yang hidup bahagia di desa.
Apa yang kurang dari hidup Jokowi pada masa itu?
Semua impian hidup rata-rata manusia sudah ia genggam: istri yang manis (bandingkan dengan nasib asmara Agus Mulyadi yang yaaah … begitulah), anak-anak yang lucu dan pintar, penghasilan mapan, dan status sosial yang megah.
Terjun ke jagat politik praktis yang penuh kepalsuan dan kekejaman, sungguhlah bukan khittah kultural Jokowi. Lihat saja bagaimana ia sangat kelimpungan saat harus menghadapi berahi Bu Mega untuk mengangkat BG jadi kapolri; di satu sisi ia tertuntut patuh pada bos partainya, di sisi lain ia tersandera nurani ndesonya untuk membela vox populi vox dei. Jadilah Jokowi tampil di meme dengan mata memejam dan tangan mengurut kening.
Secara kapasitas politik, Jokowi tidak bisa mengimbangi sama sekali, misal, mulut Haji Lulung, apalagi Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Apalah Jokowi ini di depan kejunilan “agama politik” mereka; hanya wong ndeso yang bisanya cengar-cengir, ngilang blusukan ke sana-sini, ikutan Natal di Papua, dan niliki sapi di Padang.
Terpilihnya Jokowi sebagai presiden, mengalahkan Prabowo yang jauh lebih junil, ahli, dan berpengalaman secara politik-militer (sehingga pasti lebih cucok sama Fadli Zon dan Fahri Hamzah, juga Adhyaksa Dault), memicu kerugian-kerugian luar biasa bagi bangsa ini. Dan semua itu akibat pancaran aura negatifnya ke segala penjuru dari kursi kepresidenannya.
Mari kita cermati.
Dolar menunggangi rupiah dengan kurang ajarnya
Persetanlah segala analisis ekonomi mikro dan makro yang difatwakan para pakar itu, toh tuntutan profesi mereka memang hanya untuk ndobos, wong nyatanya rupiah melemah ya akibat Jokowi. Ya iyalah, selain presiden, siapa lagi penanggung jawabnya? Masak Saipul Jamil? Nassar? JKT48 yang jebule pintar dangdutan? Atau, Rangga yang kian intim mbribik Cinta?
Coba Prabowo yang jadi presiden, niscaya rupiah akan terus kuat, disiplin, dan tegas. Yakin! Amerika mana berani sama Probowo. Dengan dalih menjaga marwah HAM, Amerika tak akan mau disowani Prabowo.
Soal belakangan ini rupiah menguat, itu pasti bukan sebab kekuatan positif program ekonomi Jokowi, tapi sekadar rasa iba Amerika. Iiih, emang enak dikasihani? Apalagi oleh Amerika yang tavir, antek Wahyudi, markas Remason, musuh Islam, sumpah na’udzubillah min dzalik.
Bangsa jadi terpecah-belah
Bahkan sebelum Jokowi jadi presiden, aura negatifnya telah memecah-belah bangsa ini. Saya dulu berpikir bahwa keriuhan itu semata efek kompetisi Pilpres. Eh, ternyata, ketidakharmonisan bangsa ini terus saja menyeruak sampai sekarang. Coba lacak, mana ada keriuhan terus-menerus begini di periode presiden-presiden sebelumnya? Simbol kehormatan kursi kepresidenan kita remuk redam di tangan Jokowi.
Jokowi menggelar pernikahan Gibran, rakyat terpecah-belah. Ada yang mengatakan Jokowi sungguh rendah hati berkenan menerima tamu-tamu tak diundang dari kaum jelata; tapi ada pula yang mengatakan itu pencitraan semata.
KPK dan Polri berantem, rakyat terpecah-belah lagi. Saat kejadian crane ambruk di Masjidil Haram, rakyat kembali berantakan. Ada yang mengatakan musibah itu akibat kelalaian pelaksana proyek; ada pula yang menganalisis dengan wow sekali, bahwa petaka yang terjadi bertepatan dengan tibanya Jokowi di Arab Saudi itu merupakan peringatan Tuhan akan bahayanya aura negatif Jokowi.
Untuk meyakinkan betapa kacau-balaunya sila ketiga persatuan Indonesia di tangan Jokowi, cobalah Anda masuk ke Facebook, lalu scroll beberapa menit saja, dijamin Anda akan segera sesak napas menyimak pertengkaran-pertengkaran para pandir dengan tema Jokowi.
Dasarnya sudah pandir, hidup mereka kian bubrah akibat dikontaminasi aura negatif Jokowi.
Pak JK pun berubah
Saat menjabat wapres di era SBY, kita bangga sekali pada ketanggapan Pak JK. Cekatan dan berani merupakan watak leadership Pak JK yang amat kita rindukan pada figur-figur wapres yang selama ini hanya jadi ban serep yang ndomblong.
Dan, akibat Jokowilah kini Pak JK kehilangan semua kehebatannya itu. Ketanggapan dan kevokalannya dipenuhi aura negatif. Orang ngaji dikata-katain berisik menganggu waktu tidur kaum manula, menterinya sendiri diajak berantem di media massa, hingga pembelaannya pada aksi-aksi vulgar Polri yang menyerang KPK sejak era Abraham Samad.
Jika wapres tetap kita andaikan ban serep, Pak JK kini bukan lagi ban serep yang siap sedia melengkapi Jokowi sebagai ban utama, tetapi ban serep yang justru gemar sundul-menyundul. Dan Anda pasti bisa menerka, berubahnya Pak JK jelas akibat terkontaminasi aura negatif Jokowi. Tidak mungkin dong Pak JK yang sepuh banget–pamong masjid se-nusantara lagi–kok tidak bijaksana lagi jika bukan karena Jokowi.
Sungguh pilu hati saya setiap mengingat aura negatif kepresidenan Jokowi ini. Saking sedihnya, saya sampai sering berangan: jika saja saya adalah Jokowi, maka saat ini juga saya akan mengundurkan diri, pulang ke Solo, lalu hidup tenang bersama keluarga, sahabat, dan tetangga. Lalu, saat selo, saya akan menulis sebuah cerpen dengan judul:
“HANYA SETANLAH YANG BISA MEMENUHI SEMUA MAUMU!”