MOJOK.CO – Ada masanya ketika Arsenal sudah menang sebelum bertanding. Ketika Thierry Henry mengenakan sepatu putih, kaos kaki setinggi paha, dan sarung tangan hitam.
Komentator sepak bola itu berhasil menyusun sebuah kalimat terbaik ketika Thierry Henry memecahkan rekor gol Ian Wright. “Thierry Henry, record breaker, history maker.” Dia yang dulu hampir menyerah, menjadi raja di ujung kariernya bersama Arsenal. Dia menyambut tantangan, memeluk Arsenal, menjaganya dari kesedihan.
Johan Cruyff pernah berkata demikian: “Playing football is very simple, but playing simple football is the hardest thing there is.” Sebenarnya, pengertian seperti apa yang paling pas untuk menggambarkan “simple football” itu? Apakah sepak bola yang penuh aktivitas saling mengoper? Sepak bola yang dijejali umpan-umpan lambung dari bek ke striker?
Semuanya tidak salah. Semuanya simple football. Termasuk juga sepak bola yang dipenuhi fantasi pemain, dijejali aksi menggiring bola yang seperti orang menari itu. Kita mudah sekali terpukau oleh kontrol bola kelas dewa dari Zinedine Zidane dan Dennis Bergkamp. Atau, kesederhanaan tapi ternyata begitu rumit dari seorang Sergio Busquets ketika melakukan no look pass.
Orang-orang hebat ini membuat sepak bola menjadi aksi yang terlihat sederhana saja. Membuat aksi yang kompleks menjadi mudah untuk ditiru. Namun, berapa dari kamu yang sukses menggunakan Zidane’s roulette yang termasyhur itu di pertandingan sesungguhnya? Berapa dari kamu yang bisa mengontrol bola selengket Bergkamp? Kamu pasti pernah mencobanya dan gagal pada akhirnya.
Thierry Henry dengan balutan seragam Arsenal memberi perspektif baru. Saya dibesarkan oleh sebuah keluarga yang mencintai AC Milan. Dunia Serie A menjadi tema-tema obrolan yang saya dengar dengan lahap ketika kecil. Pemain idola saya adalah Roberto Baggio. Sayang, Baggio hanya sebentar saja berseragam AC Milan.
Baggio seperti kutub yang berbeda dengan pemain idola saya selanjutnya, Thierry Henry. The Divine Ponytail bermain begitu anggun. Gerak tipu ketika melewati lawan terlihat rumit. Namun, Gerakan-gerakan itu memanjakan mata. Membuat dada bergedup kencang, menantikan keajaiban seperti apa yang akan disajikan oleh Baggio.
Orang Italia menyebutnya sebagai fantasista. Seorang pemain kreatif yang punya daya imajinasi luar biasa. Dia bisa menemukan cara-cara yang tidak terpikirkan sebelumnya untuk membuat peluang atau membukukan gol. Konteks bermainnya tidak bisa dibatasi oleh simple football ala Johan Cruyff atau kompleksitas Zinedine Zidane.
Baggio sangat berbeda dengan Thierry Henry, pemain favorit kedua saya. Pada titik tertentu, kedua pemain ini punya kesamaan. Rasa desir di dada terasa ketika keduanya mulai mengontrol bola. Rasa penasaran membuncah menunggu aksi ajaib yang akan mereka sajikan menggunakan bola. Penonton menahan nafas, kaki mereka berubah menjadi seperti tongkat ajaib.
Keduanya menyajikan hal-hal ajaib, tetapi dengan cara yang berbeda. Thierry Henry bisa mengontrol dan menggiring bola dengan lembut. Namun, satu ciri yang membuat penonton menahan nafas adalah daya dobrak yang dilahirkan dari kombinasi kekuatan fisik, keahlian menggiring bola di kecepatan tinggi, keseimbangan tubuh, dan kecerdasan melihat ruang.
Thierry Henry seperti sebutir peluru ketika mendapatkan bola dan ruang yang lega di tempat sempit. Fans Arsenal pasti tahu sekali betapa sempitnya lapangan Highbury. Kandang Arsenal itu, kalau saya tidak salah ingat, adalah stadion terkecil yang diizinkan menggelar laga Liga Champions. Kalau salah, tolong saya dikoreksi.
Musim 2003/2004, musim yang ajaib itu. Arsenal menjamu Liverpool. Menerima umpan dari Gilberto Silva di sekitar lapangan tengah, Thierry Henry tidak membuang waktu. Sang Raja memacu kaki-kaki kokohnya menerobos dari halfspace sebelah kiri. Di depannya, barisan gelandang dan bek Liverpool sudah siap menghadapi Raja Arsenal itu.
Arah lari Thierry Henry praktis hanya lurus. Sang Raja “cuma” melewati dua pemain saja. Pemain pertama yang dilewati adalah Dietmar Hamann. Henry hanya menggeser bola ke arah kiri menggunakan kaki kanan sebelah dalam. Hamann mati langkah dan jatuh terjengkang.
Pemain kedua yang dilewati adalah Jamie Carragher. Proses sama, Henry hanya menggeser bola ke sebelah kiri menggunakan kaki sebelah dalam. Tapi, kenapa dua pemain Liverpool ini bisa dilewati dengan mudah? Sesuatu yang terlihat sederhana, sebetulnya kompleks.
Proses Raja Arsenal itu melewati dua pemain veteran Liverpool melibatnya banyak atribut. Mulai dari akselerasi, drop of the shoulder, kekuatan tubuh bagian bawah untuk mengubah arah lari dalam sekejap, dan kecerdasannya melihat “situasi kosong” yang dibuat oleh gerakan pemain Arsenal lainnya.
Proses kompleks itu seperti dijejalkan ke dalam satu aksi yang berlangsung selama beberapa detik saja. Sebuah proses yang sulit dijelaskan untuk kemudian disimpulkan menjajadi satu kata saja: efisien.
Efisien dengan bola, efisien terkait dengan gerakan tubuh, efisien ketika menerima umpan. Singkatnya, tidak ada gerakan yang sia-sia dari Thierry Henry. Dia terlihat begitu tegas, mungkin juga kaku. Berbeda jika kamu bandingkan dengan Baggio yang anggun itu.
Seiring perkembangan statusnya di Arsenal, Thierry Henry menjadi sosok yang menggetarkan hati. Banyak pemain yang merasa sudah kalah bahkan sebelum pertandingan dimulai. Saya tidak sedang bercanda. Kamu bisa mencari pernyataan itu. Aura yang terpancar dari sosok Thierry Henry, Patrick Vieira, Robert Pires, dan Bergkamp seperti menghantam para lawan sejak di lorong menuju lapangan.
Salah satu ciri khas Thierry Henry dan Arsenal adaah sepatu putih. Thierry Henry di puncak performa, musim 2003/2004, mengenakan sepatu putih dan kaos kaki setinggi paha, dan sarung tangan hitam membungkus tangan. Ciri khas itu mempertebal aura yang terasa. Meyakinkan para suporter bahwa hari-hari esok adalah milik kita.
Thierry Henry dengan sepatu putihnya seperi raja dengan tombak besar ketika pergi berperang. Sebuah tombak yang tidak bisa dihentikan lawan. Sebuah tombak yang membuatnya menjadi seorang record breaker, history maker.
BACA JUGA Arsenal dan Oli Pembangunan: Dari Thierry Henry, Robert Pires, Sampai William Saliba atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.