MOJOK.CO – Santi Cazorla, legenda Arsenal, menjadi cermin bahwa keyakinan dan kesabaran adalah bahan bakar sebuh kebangkitan. Berat, sakit, tapi manis pada akhirnya.
Arsenal pernah berada dalam situasi di mana keberadaan seorang pemain bisa memengaruhi performa tim secara keseluruhan. Ketika si pemain ini ada dan bermain dengan baik, Arsenal menikmati masa-masa yang romantis. Cara bermain semakin enak dipandang, hasil positif pun seperti datang dengan mudah.
Ketika pemain ini cedera, secara tiba-tiba, performa tim terjun bebas. Arah permainan hilang lesap, kemenangan menjadi jarang dicecap. The Gunners menjadi dipaksa bekerja sangat keras hanya untuk mengalahkan tim semenjana. Bahkan, ketika performa buruk itu bertahan awet, tim dari London Utara ini menjadi seperti tim semenjana itu sendiri.
Pemain yang saya maksud adalah Santi Cazorla. Gelandang mungil asal Spanyol yang saat ini sudah tidak lagi membela Arsenal. Cedera panjang, pemulihan yang berat, dan di antara tangis keputusasaan itu, ia akhirnya pergi meninggalkan tim yang saat itu masih diasuh Arsene Wenger. Manajemen sempat memberinya perpanjangan kontrak satu tahun menjelang operasi yang menentukan. Namun, berlandaskan jalan takdir, Cazorla tidak berjodoh dengan Meriam London.
Saat ini, Cazorla sudah membela Villareal, klub asal Spanyol. Setelah masa rehabilitasi yang berat itu, Cazorla disodori kontrak berdurasi satu tahun oleh Kapal Selam Kuning. Ia yang dulu sempat akan diamputasi kakinya, justru menjadi pemain terbaik Villareal menurut Sid Lowe, jurnalis dari The Guardian. Bukan semata-mata performa saja. Namun atas nama perjuangan untuk bangkit dari lubang hitam bernama putus asa. Setiap kebangkitan, setiap kerja untuk takdir, patut mendapat tempat tersendiri di antara narasi dan ingar bingar sepak bola Eropa.
Amputasi? Betul, risiko terbesar dari peradangan di kaki Cazorla adalah amputasi. Kamu bisa bayangkan, seorang manusia yang menggantungkan hidupnya dari sepak bola, dipaksa hanya bisa duduk di sofa, menonton pertandingan lewat layar televisi, sambil berganti-gantian memandangi layar televisi dan sebelah kakinya yang dipotong supaya peradangan tidak menjalar. Apalagi kita berbicara sosok Cazorla, pesepakbola yang mendapatkan julukan penyihir lewat trik memukau dari kakinya.
“Saya pertama mengetahuinya ketika masih berada di ruang operasi bahwa luka di kaki saya terbuka. Saya mencoba bersepeda dan beberapa jahitan menjadi lepas. Karena ini luka terbuka, bakteria bisa masuk. Ketika malam hari, cairan berwarna kuning akan keluar. Setiap kali mereka menjahitnya lagi, jahitan itu akan kembali terbuka, lalu cairan kuning akan kembali keluar. Mereka melakukan cangkok kulit tetapi tidak memeriksa terlebih dahulu bagian dalam cedera saya. Bakteria sudah memakan kaki saya. Saat itu, tim dokter tidak pernah menemukan bakteri yang menyerang kaki saya,” ungkap Cazorla kepada The Guardian.
“Mereka tidak pernah benar-benar tahu seberapa parah tendon saya dimakan bakteri. Mikel berkata, ‘Saya akan kembali membedah cederamu dan sampai menemukan tendon yang terkena infeksi.’ Mereka berkata akan terus melakukannya sampai tendon itu ketemu. Dan ketika ketemu, saya sudah kehilangan 10 sentimeter dari tendon. Ketika kami berusaha memperbaiki tendon saya, tim dokter menyadari bahwa kondisi tulang saya sudah sangat parah. Ia bahkan bisa memasukkan jari tangannya ke dalam luka saya. Kaki saya rasanya seperti lilin. Situasi ini sungguh berbahaya,” lanjutnya lagi.
Dari dua pernyataan di atas, kamu bisa membayangkan betapa kondisi kaki Cazorla sudah sangat payah. Sampai akhirnya kata amputasi itu membayang. Dokter di Inggris, pada dasarnya tidak bisa berbuat banyak. Mereka bahkan berkata bahwa Cazorla harus siap jika pada saatnya nanti ia harus berhenti menendang bola.
Namun, ketika ia bertemu tim ahli di Spanyol, harapan itu kembali hadir. Ia tidak mau menyerah begitu saja. Dokter di Spanyol juga berkata hal yang sama, bahwa cedera Cazorla sudah begitu parah. Namun, mereka meyakinkan bahwa semua upaya akan dilakukan dan kata menyerah disepakati tidak akan disebut.
Cazorla meninggalkan istrinya, Ursula, dan dua anaknya di London. Ia pergi seorang diri ke Salamanca untuk proses rehabilitasi. Sebuah tempat yang “terpencil”, sunyi. Keberadaannya seperti tersamar. Proses rehabilitasi berjalan begitu lambat. Semakin banyak prosedur yang harus dilewati sang pemain. Pada titik tertentu, tendon Cazorla harus dilepaskan dari jaringan di sekitarnya dan disambungkan kembali. Sakit, proses bangkit itu sangat sakit.
“Suatu kali, saya sudah merasa siap untuk menyerah. Rasanya sangat berat ketika kamu gagal melihat sebuah perkembangan,” keluh Cazorla ketika proses rehabilitasinya berjalan sangat lambat dan kelihatannya akan gagal.
Namun, tim dokter terus memompa keyakinan mantan pemain Malaga itu. Cara untuk memacu semangat mantan pemain Arsenal itu juga sederhana. “Apakah kamu masih ingin bermain? Jika iya, hari ini kita akan terus bekerja. Hari esok? Biarlah terjadi.” Sangat sederhana, namun mujarab untuk menyuntikkan keyakinan kepada sang pemain.
Tim dokter juga punya cara tersendiri untuk meyakinkan Cazorla bahwa perkembangan positif itu ada meski terlihat samar. Jadi, tim dokter memberi Cazorla sebuah bola untuk dimain-mainkan. Begitu menyentuh bola, madre mia, perasaan sekali lagi menjadi seorang pesepakbola langsung menjalar di nadi-nadi Cazorla. Semangatnya terpompa untuk kesekian kali.
Setelah proses rehabilitasi yang berat itu, Cazorla akhirnya kembali bisa menendang bola. Ia sempat berlatih bersama tim akademi Alaves. Musim panas tahun ini, ia berlatih bersama Villareal ketika pra-musim dan akhirnya disodori kontrak jangka pendek.
Presentasi Cazorla sebagai pemain Villareal berjalan lucu. Ia terkekeh ketika menceritakannya kembali. Ketika seorang pesulap membuatnya muncul secara dramatis di tengah lapangan lewat sebuah tabung penuh gas.
“Saya disembunyikan selama 45 menit di dalam ruang yang sempit, bercucuran keringat, dan saya hanya bisa menyandarkan punggung saya,” ungkap Cazorla sambil tertawa.
Kini ia bisa tertawa. Dan tentu saja bermain secara rutin setiap minggu. Cazorla sudah bermain di tiga pertandingan Villareal dan penampilannya tidak mengecewakan. Setelah cedera yang begitu parah, proses rehab yang panjang dan lambat, bisa kembali bermain adalah sebuah “keajaiban”.
Seperti pesulap, ia menghadirkan diri di tengah lapangan. Seperti pesulap, bim salabim, Cazorla bisa kembali menendang bola. Jangan salah, proses bim salabim itu begitu menyiksa. Sebuah pengingat kepada kita bahwa proses untuk bangkit dari rasa sakit tidak mudah. Ketika daya tahan dan keyakinan itu dipompa sekuat mungkin, manusia bisa menciptakan keajabian.
Cazorla sudah mengajari kita. Madre Mia!