MOJOK.CO – Pesepak bola terbaik tidak hanya diukur dari kualitasnya di atas lapangan, tetapi juga dari kualitas hati dan dedikasi. Sadio Mane adalah salah satunya.
Beberapa hari yang lalu, Cesc Fabregas membuat sesi QnA di akun Twitter pribadinya. Salah satu followers bertanya, menurut Fabregas, siapa pemain terbaik Liga Inggris saat ini. Mantan pemain Arsenal yang kini membela AS Monaco itu menjawab: Sadio Mane.
Prestasi Liverpool dekat dengan nama Virgil van Dijk, Alisson Becker, Mo Salah, Trent-Alexander Arnold, dan Roberto Firmino. Kelima pemain itu wara-wiri masuk headline media dunia berkat kebaharuan dan performa yang mereka torehkan. Di mata fans, pemain-pemain seperti Trent, Salah, dan Firmino memang selalu mudah untuk dicintai.
Namun, jika kamu bertanya ke beberapa pelatih dan pengamat sepak bola, pemain terbaik Liverpool adalah Sadio Mane. Skut Liverpool memang diisi pemain dengan kemampuan yang merata. Hampir semua pemain, terutama gelandang dan penyerang punya keseimbangan yang baik dalam soal bertahan dan menyerang.
Ada satu aspek dari permainan Sadio Mane yang membuatnya istimewa di mata ahli, yaitu kemampuan menjadi pembeda. Bukan hanya terkait soal membuat gol. Sadio Mane menjadi gambaran kerja keras, dedikasi, kecerdasan, keberanian, dan rendah hati yang biasanya memang disukai para ahli.
Sebuah aspek yang sebetulnya sudah tertanam betul di dalam diri Sadio Mane sejak remaja. Dia berasal dari keluarga yang tidak mengenal sepak bola. Benar, ada kompetisi lokal di desanya dan Mane dianggap sebagai pemain terbaik. Namun, dia tidak benar-benar mendapat dukungan dari keluarga. Tidak mau menunggu nasib berubah dengan sendirinya, Mane mengambil inisiatif.
Ada dua versi cerita tentang awal Senegal mengenal nama Sadio Mane. France Football menulis kalau pemain yang kini berusia 27 tahun itu berjalan sangat jauh dari desanya untuk bertemu seorang teman. Dari teman ini, Sadio Mane meminjam sejumlah uang untuk naik bus menuju Dakar, ibu kota Senegal. Di sana, dia ingin ikut sebuah trial masuk ke akademi bernama Generational Foot. Akademi yang juga melahirkan Diafra Sakho dan Papiss Cisse.
Goal memuat versi yang berbeda. Sadio Mane naik bus ke Dakar ditemani pamannya. Tujuannya, sih, sama. Dia ingin ikut trial. Dua pembuka yang berbeda, tetapi memuat satu cerita yang sama.
Mane berasal dari keluarga sangat miskin di sebuah desa bernama Sedhiou. Usianya ketika menempuh perjalanan jauh ke Dakar adalah 15 tahun. Dia sudah punya kesadaran bahwa untuk mengubah hidup, sebuah aksi harus dilakukan. Dia berinisiatif untuk berjuang.
Remaja berusia 15 tahun itu datang dengan sepatu tua. Koyak bisa kamu temukan di beberapa tempat. Mane memperbaiki sepatu tua itu sendiri. Sebuah inisiatif yang justru membuat sepatu tua itu terlihat semakin menyedihkan. Dia juga tidak punya celana pendek yang biasa dipakai untuk sepak bola. Dia datang apa adanya berbekal keyakinan akan kualitas dirinya sendiri.
“Ada satu orang yang melihatku dengan tatapan aneh. Seakan-akan aku berada di tempat yang salah,” kata Mane kepada Goal. “Dia lalu bertanya, ‘Kamu ke sini mau ikut tes?’ Aku jawab iya. Dia bertanya lagi, ‘Pakai sepatu itu? Lihat sepatumu itu. Bagaimana caramu bermain dengan sepatu seperti itu?’ Sepatuku memang jelek sekali, sangat jelek. Tua dan koyak. Dia masih bertanya lagi, ‘Kamu main bola dengan celana pendek itu? Kamu bahkan tidak punya celana pendek yang layak untuk bermain sepak bola.’”
Mane hanya bisa menjelaskan kalau dia datang dengan sepatu dan celana terbaik yang dia punya. Dia hanya ingin bermain, untuk menunjukkan bahwa dia bisa. Ketika Sadio Mane mulai mendapatkan kesempatan bermain, orang dewasa yang skeptic itu dibuat terpukau. Rasa terkejut merona di wajahnya.
“Orang dewasa itu mendatangiku setelah pertandingan dan bilang, ‘Aku memilihmu. Kamu akan bermain di timku,” kata Mane. “Setelah trial itu, aku langsung masuk ke akademi.”
Satu kejadian yang tidak ditulis Goal, dijelaskan oleh France Football. Sebelum mendapatkan kesempatan bermain di trial itu, Sadio Mane menjadi bahan tertawaan peserta lain. Saat itu, ada 200 hingga 300 anak yang ikut trial. Rata-rata berasal dari keluarga yang bisa menyediakan sepatu dan celana pendek yang layak untuk bermain sepak bola.
“Aku tidak terlihat seperti pesepak bola.” Banyak orang yang tertawa melihat penampilan dirinya, sembari meragukan impian Mane menjadi pesepak bola.
Perjuangan Sadio Mane tidak berhenti di trial itu. Ketika masuk ke akademi, dia harus pindah dan hidup di Dakar. Dia lalu tinggal bersama keluarga yang tidak dia kenal. “Keluargaku kenal dengan sebuah keluarga di Dakar dan mereka menerimaku di rumahnya. Mereka merawatku. Membuatnya bisa berkonsentrasi ke sepak bola sampai aku pindah ke Metz.”
Jauh dari keluarga. Tinggal bersama keluarga yang tidak dia kenal. Di usia 15 tahun. Sadio Mane meninggalkan desanya yang miskin untuk berjuang sendirian di Dakar. Banyak pesepak bola bagus di luar sana. Namun, pesepak bola kelas elite memang ditempa oleh keadaan atau lingkungan yang keras.
Alexis Sanchez, mantan pemain Arsenal, pernah menjadi buruh cuci mobil. Dia bahkan tidak punya sepatu untuk bermain bola. Ibunya menemui kepala desa. Menahan malu ketika meminta bantuan sepatu bola untuk Alexis. Sebuah pengorbanan dari seorang ibu yang berbuah manis ketika Alexis membayar pengorbanan itu.
Richarlison, striker Everton, lahir dan tumbuh di sebuah desa bernama Nova Venecia. Sebuah desa yang berbahaya, penuh dengan preman dan pelaku kejahatan. Richarlison menjadi pemain yang tangguh dan tidak kenal rasa takut. Baginya, lapangan sepak bola cuma seperti halaman bermain, tidak sebanding dengan pengalamannya ditodong pistol di desanya sendiri.
Satu hal menjadi benang merah di antara pesepak bola yang ditempa situasi sulit. Mereka tidak pernah lupa dengan asal. Mereka juga selalu menyimpan nama-nama yang pernah berjasa di awal karier sampai akhir hayat. Ketika dinobatkan menjadi pemain terbaik Afrika 2019, Sadio Mane langsung ingin terbang ke Senegal untuk mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang membantunya di awal karier.
“Aku bahagia sekali atas penghargaan ini. Aku mendedikasikan penghargaan ini kepada semua orang yang membantuku memulai petualangan sejak awal perjalanan,” kata Sadio Mane seperti dikutip website resmi Liverpool.
“Rencanaku semula adalah langsung terbang ke Senegal untuk mengucapkan terima kasih secara langsung kepada orang-orang di negaraku. Namun sayang, aku belum bisa pulang. Liverpool akan menghadapi big match melawan Tottenham di mana saya harus fokus dan siap. Jadi, secepatnya aku akan pulang karena bagiku sangat penting untuk mengucapkan terima kasih secara langsung. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan yang ditunjukkan banyak orang kepadaku, orang-orang yang percaya kepadaku dan orang-orang yang memberiku kesempatan bermain sepak bola.”
Sebuah pidato yang menyentuh hati dari Sadio Mane di podium penghargaan pemain terbaik Afrika 2019. Tahukah kamu, di malam penghargaan, desa tempat Sadio Mane berasal menggelar acara nonton bareng lewat layar besar. Ketika nama Sadio Mane dinyatakan sebagai pemenang mengalahkan Mo Salah dan Ryad Mahrez, seisi desa berdansa, penuh kebahagiaan, berbagi suka cita dengan sang pemain.
Sadio Mane sudah menjadi pesepak bola kelas elite. Namun, dirinya akan tetap menjadi “sepatu koyak dan celana pendek sederhana”. Dia bermain dengan kepercayaan kepada dirinya sendiri. Dia tidak lupa dengan tanggung jawab dan memberikan segalanya kapan saja. Dia rendah hati dan tidak lupa dengan akarnya. Kesederhanaan dan rendah hati yang membuatnya menjadi pemain yang mudah dicintai seperti Firmino atau Mo Salah.
Fabregas memandang Sadio Mane sebagai pemain terbaik di Inggris. Saya rasa, pandangan itu tidak salah. Pesepak bola terbaik tidak hanya diukur dari kualitasnya di atas lapangan, tetapi juga dari kualitas hati dan dedikasi.
BACA JUGA Roberto Firmino Menetapkan Standar Striker Masa Depan atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.