MOJOK.CO – PSS Sleman, kamu sudah jatuh di titik nadir. Usaha menjauhkan entitas terkasih dari Sleman fans adalah dosa yang sulit ditebus.
Bagi saya, hubungan antara klub dan suporter seharusnya sejajar. Saling memberi, saling menerima. Memang, “sejajar” di sini tidak selalu terasa adil. Namun, bukankah memang seperti hubungan cinta? Memberi tak harap untuk kembali asal rasa ikhlas dan saling memiliki tetap ada di sana.
Beberapa hari yang lalu, saya menyimak obrolan antara Kepala Suku Mojok, Puthut EA, dengan dua sesepuh Slemania dan BCS. Mereka adalah Mas Ndaru Supriyono yang pernah menjabat sebagai sekretaris Slemania dan Mas Tonggos, capo BCS, ultras PSS Sleman, sekaligus penulis buku Pada Suatu Waktu yang Sleman Sekali.
Ketiga orang luar biasa ini bersepakat untuk satu hal, yaitu menjadi suporter itu memang hidup dalam dunia yang tidak masuk akal. Mas Ndaru menyebutnya irasional. Gimana masuk akal kalau suporter membakar uang yang tidak sedikit untuk ikut tim tandang, membeli jersi asli, terancam nyawanya ketika diserang fans lain, dan pulang dalam keadaan tidak sehat. Namun, meski berkorban seperti itu, seorang fans akan tetap mengulanginya lagi.
Jika diizinkan untuk menerjemahkan cinta Mas Ndaru dan Mas Tonggos, mencintai PSS Sleman adalah usaha untuk mempertahankan identitas. Menghidupi cinta yang sudah harga mati. Cinta yang tidak bisa ditawar. Cinta yang besar dan sudah selayaknya dirawat oleh PSS Sleman itu sendiri.
Namun, celaka, manajemen yang sekarang mengasuh PSS Sleman malah berkhianat. Manajemen malah seperti menciptakan jarak. Seperti menghapus cinta Sleman fans yang sangat tulus, dicurahkan sejak PSS Sleman berkutat di divisi bawah. Cinta yang ditampik, padahal ikhlas diberikan.
Kebohongan yang ditebar oleh manajemen malah membuat PSS Sleman terasing. Kebohongan yang bagi saya sangat fatal. Kebohonga yang membawa Super Elang Jawa ini ke titik nadir dalam hubungannya dengan para suporter.
PSS Sleman menampik cinta
Sudah selayaknya, dalam hubungan asmara, ada fase marahan dan ngambek. Hubungan asmara yang tidak pernah diwarnai oleh fase tersebut justru bukan hubungan yang sehat. Kenapa? karena tidak ada kejujuran dan keterbukaan di sana. Yang ada hanya hubungan satu arah, tidak ada rasa hangat.
Manajemen PSS Sleman sudah melakukan kesalahan fatal itu. Mereka membohongi suporter sendiri. Bagi saya, ini dosa yang tidak termaafkan. Jangan pernah anggap sepele kejujuran. Apalagi kepada insan yang selalu mencintaimu secara penuh.
Suatu kali, selepas putaran pertama BRI Liga 1, PSS Sleman tidak kembali ke Sleman. Mereka menetap di Jakarta. Manajemen berdalih, keputusan berlatih di Jakarta karena putaran kedua BRI Liga 1 akan dilaksanakan di sini. Ketika semua klub tahu kalau putaran kedua akan digelar di Solo dan Jogja, kenapa manajemen PSS Sleman malah membohongi orang-orang yang mencintainya?
Apakah Sleman fans adalah sekumpulan orang bodoh gampang menurut? Apakah Sleman fans sekumpulan kerbau yang hidungnya siap dicucuk dan manut begitu saja? Sebuah kesalahan fatal di mata saya.
Manajemen PSS Sleman menghindari kemarahan suporter dengan membuka kebohongan. Padahal, satu kebohongan, biasanya, akan diikuti oleh kebohongan lainnya. Misalnya, di putaran kedua BRI Liga 1, tetap memainkan Arthur Irawan dan mempertahankan Coach Dejan. Kebohongan apa lagi yang akan dipakai manajemen?
Suporter bola itu sekumpulan insan yang sensitif dan sangat vokal. Mereka akan dengan mudah memaki untuk menyuarakan isi hatinya. Namun, dear manajemen PSS Sleman, di antara makian-makian itu, ada kasih yang genuine. Mereka yang munafik dan tidak peduli akan diam saja, memaklumi keadaan. Namun, mereka yang peduli, pasti bersuara.
Bagaimana caranya meredam kemarahan mereka? Sederhana sekali. Manajemen PSS Sleman harus legawa datang untuk mengobrol dari hati ke hati. Mereka butuh disentuh hatinya, bukan dihindari karena takut. Mau bagaiamana, Sleman fans adalah entitas yang menghidupi PSS Sleman.
Cinta konkret Sleman Fans untuk PSS Sleman
Misalnya BCS, yang mendukung dengan koreo, giant flag, dan terutama: bernyanyi selama 90 menit penuh!
BCS membiayai koreografi mereka dengan cara “patungan”. Cara sederhananya adalah menambahkan Rp1.000 ke dalam tiket khusus untuk BCS (tribun kuning). Sesuai slogan “no ticket, no game”, BCS bisa mandiri menghidupi, sekaligus mengajak semua suporter untuk tidak membeli tiket dari calo. Jadi, suporter diajak berkontribusi langsung untuk kesehatan keuangan klub.
Bicara BCS, juga bicara Curva Sud Shop (CSS). Toko merchandise ini lahir dari keprihatikan akan ketiadaan toko resmi PSS Sleman. CSS lahir dalam bentuk sebatas etalase kaca di depan ruko, hingga kini mampu menyewa ruko secara pribadi.
Uang hasil dodolan (berjualan) dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Salah satunya dengan yang disebut “royalti untuk klub”, yaitu sejumlah dana yang disetor untuk klub. Nilainya tak main-main. Gambarannya, di jersei PSS Sleman, sempat terpampang nama CSS. Bisa membayangkan berapa “nilai” yang dikeluarkan untuk bisa memasukkan nama merek ke dalam jersei pemain, kan?
Yang paling fenomenal adalah ketika CSS menjadi “sponsor kebugaran tim”. Berawal dari pemikiran bahwa klub profesional harus punya tenaga fisioterapis profesional, CSS menyumbang alat-alat kebugaran yang mendukung kerja Sigit Pramudya, fisioterapis PSS Sleman kala itu. Belum istimewa, namun Sigit menyebutnya sudah sangat cukup untuk ukuran klub profesional di Indonesia.
Lewat fakta di atas kita bisa tahu bahwa PSS Sleman pernah bertahan hidup, separuhnya, karena suporter. Fakta ini juga menegaskan bahwa sebuah klub tidak akan bisa langgeng tanpa suporter. Kini, manajemen membuat PSS jauh dari suporter? Jahat sekali.
Kira-kira, manajemen PSS ingat tidak sebuah peristiwa di 2018 ketika harga tiket dinaikkan Rp5.000? Saat itu, manajemen membutuhkan suntikan dana demi menutup biaya operasional mengarungi babak delapan besar Liga 2. Apa jawaban Sleman fans? Tiket yang harganya naik itu langsung ludes! Demi langgengnya sebuah tim, suporter akan melakukan apa saja yang di luar nalar!
Sejarah kontribusi itu seperti disepelekan. Dianggap tidak ada ketika manajemen menjauhkan PSS Sleman dengan suporter yang mencintai sepenuh hati. Bagi saya pribadi, sikap ini sudah fatal.
PSS Sleman, kamu jatuh di titik nadir. Usaha menjauhkan entitas terkasih dari suporter adalah dosa yang sulit ditebus. Mungkin manajemen terpikir untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Sebuah pikiran yang mulia, tapi saya rasa, kalau mau mewujudkan pikiran itu, jangan di Sleman.
Manejemen boleh angkat kaki dan silakan “berkarya” di tempat lain, di mana suporternya diam dan pasrah. Menculik PSS dari Sleman fans akan membawa petaka lanjutan. Sudah di titik nadir, mau jatuh lebih dalam lagi?
BACA JUGA Arthur Irawan Kuwi Sopo: Bahaya Masalah Internal PSS Sleman dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.