MOJOK – Real Madrid vs Liverpool| Stadion NCS Olimpiyskiy, Ukraina | SCTV dan BeIn, 01.45 WIB | Final UCL | Prediksi: Real Madrid juara.
Panggung sudah siap. Sepak mula final UCL 2018 antara Real Madrid vs Liverpool akan dilakukan pada hari Minggu (27/5) dini hari WIB. Real Madrid mengincar status tim pertama yang berhasil memenangi Liga Champions tiga kali berturut-turut, sedangkan Liverpool sudah tak merasakan juara sejak tahun 2005. Masing-masing tim punya misi yang berbeda.
Final Liga Champions kali ini mungkin akan terasa berbeda untuk Madrid, terutama jika melihat cara bermain dan pendekatan lawan. Untuk dua edisi terakhir, Los Blancos menghadapi Atletico Madrid dan Juventus yang nyaman menguasai bola. Untuk kali ini, Liverpool, lawan Madrid di final punya bekal untuk menghadirkan masalah.
Liverpool punya sistem pressing dan serangan balik yang mengerikan. Lewat trio di depan, Sadio Mane, Roberto Firmino, dan tentu saja Mohamed Salah. Ketika ketiganya diberi ruang di sepertiga akhir, tidak ada tim yang tidak menderita. Begitu juga Madrid, yang pastinya akan berinisiatif untuk mendominasi ketika diberi banyak kesempatan menguasai bola.
Serangan balik Liverpool akan sangat berbahaya dan jadi bekal untuk juara. Saya berani taruhan, analisis seperti itu yang pembaca Mojok banyak temukan di media lain, bukan? Ya, serangan balik Liverpool memang berbahaya. Namun, ada satu syarat yang sebelumnya paling mendasar untuk menjadi juara. Inilah yang tidak akan pembaca Mojok temukan di tempat lain.
Syarat yang saya maksud ada dua, yaitu berani menguasai bola dan disiplin ketika bertahan. Dua hal yang sebetulnya tidak jamak terlihat dari tim asuhan Jürgen Klopp ini. Dua syarat yang membuat laga Final Liga Champions ini akan menjadi seperti Liverpool berusaha melawan dirinya sendiri. Melawan “yang bukan menjadi kebiasaan” untuk menjadi juara.
Malam panjang final UCL bagi Liverpool
Ada beberapa hal yang perlu untuk dipahami oleh fans Liverpool terkait pendekatan Real Madrid. Quique Setien, pelatih Real Betis yang pernah mengalahkan Real Madrid memberi penjelasan yang sangat menarik. Supaya lebih jelas, mari kita bahas satu per satu.
Pertama, Real Madrid tidak bermain dengan kompaksi (bentuk formasi sebuah tim) yang terjaga secara disiplin selama 90 menit. Setien menggunakan kata “kekacauan” untuk menggambarkan cara Madrid mencetak gol dalam waktu 15 menit saja. Madrid tak selalu bermain apik dan stabil selama 90 menit. Namun, mereka punya “momen” dan cara untuk tidak kalah. Ini yang mengerikan.
Analisis Setien cocok dengan jalannya final UCL tahun lalu yang berakhir anti-klimaks ketika Madrid mempecundangi Juventus dengan skor 4-1. Praktis, Madrid mendominasi laga dalam kurun waktu, kurang lebih, hanya 30 menit saja. Setengah jam penuh kekacauan ketika Madrid bisa mencetak tiga gol ke gawang Gianluigi Buffon.
Mengapa Juventus bisa kebobolan tiga gol dengan begitu cepat? Karena ketika Madrid mengambil inisiatif untuk mendominasi penguasaan bola, Juventus telat merespons. Madrid menekankan ciri khas mereka kepada keunggulan kualitas individu. Terutama di lapangan tengah, yang diisi trio terbaik Liga Champions untuk dua tahun terakhir: Luka Modric, Toni Kroos, dan Casemiro.
Modric mengontrol alur bola Madrid, sementara Kroos memastikan alur tersebut berjalan lancar. Pemilihan umpan kedua pemain ini sangat jarang salah. Pun, keduanya adalah gelandang dengan tingkat pressing resistance yang tinggi. Bola di kaki mereka tidak mudah lepas. Dilengkapi mata dan visi yang tajam, Los Blancos selalu mudah menembus blokade pertahanan lawan.
Kebiasaan Madrid lainnya adalah dua bek sayap yang agresif naik ke sepertiga akhir. Marcelo di kiri dan Dani Carvajal di kanan tidak bermain dengan “teori tali timba”, yaitu satu bek sayap naik, dan bek sayap lainnya menjaga kedalaman. Keduanya sosok bek sayap modern yang rajin menyediakan diri di sisi lapangan untuk membuat kerapatan pertahanan lawan menjadi terlalu renggang.
Ketika kelima pemain ini mendapat momentum, Madrid sangat mudah membuat peluang. Jika lini tengah dimatikan, dua bek sayap akan mengirim umpan silang kelas dunia. Jika sisi sayap dimatikan, lini tengah akan mengkreasikan peluang lewat depan kotak penalti. Lima pemain di atas, ditambah Isco dan Benzema, lini depan Madrid menjadi sulit untuk “dipegang”.
Dan yang tersisa tinggal Cristiano Ronaldo dan teknik penyelesaian peluang kelas elite. Efektivitas Ronaldo adalah sumbu Madrid untuk mencetak gol, terutama di final UCL. Juventus sudah merasakannya. Dua kali. Dengan keunggulan kualitas individu, Madrid hanya butuh setengah babak untuk mengubur harapan Liverpool.
Lantas, bagaimana cara Liverpool menjadi juara? Seperti yang saya tulis di atas, Liverpool harus berani menguasai bola dan disiplin penuh ketika bertahan.
Real Betis, ketika bermain di Santiago Bernabeu, berani berinisiatif menguasai bola. Setien menegaskan kepada beberapa aspek, yaitu bermain sepintar mungkin, sabar, disiplin, dan efektif memanfaatkan bola. Betis menang dengan skor 0-1 setelah mencetak gol di akhir laga. Ini dinamakan manajemen laga.
Betis tidak terburu-buru untuk mencetak gol karena hanya akan membuat mereka bermain terlalu dalam setelah unggul. Gol di menit akhir memastikan Madrid tak punya cukup waktu untuk merespons. Memang cukup berisiko. Namun, bukankah hasil yang besar, terkadang didapat dari taruhan yang juga besar?
Liverpool mungkin tidak fasih menguasai bola seperti Betis. Skuat Liverpool dibangun untuk menekan lawan hingga kehabisan napas. Lini tengah mereka, selain Jordan Henderson, bukan gelandang yang nyaman menguasai bola. James Milner dan Geoginio Wijnaldum mungkin bisa, tapi tidak konsisten dan cukup cerdas untuk bermain possession football.
Apalagi trio di lini depan mereka. Ketiganya butuh asupan bola dengan laju cepat dan ruang untuk berakselerasi. Mengubah wajah tim dalam satu malam tentu sangat berat. Namun, inilah yang harus dipikirkan Liverpool. Mereka tak bola membuat Madrid terlalu nyaman mendominasi, bahkan untuk 15 menit saja.
Betis sudah merasakannya. Mereka unggul 2-1 ketika babak pertama usai. Lengah, dalam waktu 15 menit saja, Setien menyebut Madrid menghadirkan “badai yang sempurna” setelah tiga gol mampu mereka sarangkan. Artinya, menguasai bola dengan cerdas, juga berhubungan dengan cara bertahan sebuah tim.
Menguasai bola dengan cerdas, dan jika bisa selama mungkin, praktis mengurangi kemampuan Madrid membuat peluang di final UCL. Semakin sedikit peluang, jumlah gol tentu menurun. Teori yang tentunya mudah dipahami, bukan?
Lini pertahanan Liverpool jauh dari sempurna. Bisa ditanyakan kepada AS Roma. Oleh sebab itu, penguasaan bola (dengan cerdas) akan membantu para personel pertahanan mengurangi kesalahan. Maklum, bertahan adalah kerja paling kompleks dan sulit di sepak bola. Lantas, bagaimana dengan serangan balik Liverpool yang berbahaya itu? Bagaimana cara menggunakannya?
Jawabannya adalah counter–pressing. Ketika Liverpool berani menguasai bola di sepertiga akhir dan kebetulan kehilangan bola, jarak serangan balik akan lebih pendek. Klopp sudah akrab dengan setup ini, seharusnya beliau sudah memahaminya. Merebut bola secepat mungkin ketika Madrid masuk ke dalam transisi serangan adalah jawabannya.
Transisi adalah momen paling berbahaya di sepak bola. Sebuah tim, ketika ia masuk ke transisi menyerang setelah merebut bola di wilayah sendiri dan akan melancarkan serangan balik, artinya tidak punya kompaksi yang ideal. Ketika bola terebut, tim tersebut tidak akan bisa mengatur lini pertahannya dengan sempurna. Inilah titik di mana Liverpool harus menekan dengan kekuatan penuh.
Titik ini tak akan terjadi berulang kali, mungkin hanya dua atau tiga kali saja. Kesabaran dibutuhkan untuk menanti momen emas ini. Final UCL adalah tentang bagaimana Liverpool bermain rem, kopling, dan gas. Sementara itu, Madrid hanya perlu menjadi diri sendiri.
Laga ini bisa dipastikan akan seru. Tentu, takaran “seru” berbeda untuk masing-masing orang. Jika mampu mengalahkan diri sendiri, Liverpool bisa menang. Namun sayang, manusia adalah tempatnya kesalahan. Dan kesalahan kecil itu, yang akan membuat Madrid tak terbendung.