MOJOK.CO – Rivalitas PES 2020 vs FIFA 2020 akan selalu dikenang oleh zaman, meski pernah diwarnai perselingkuhan manis bersama Football Manager (FM).
Konami sudah secara resmi mengumumkan kukutnya Pro Evolution Soccer (PES). Mulai September 2021 nanti, nama PES akan berubah menjadi eFootball. Nggak cuma nama yang berganti, Konami juga tidak lagi menggunakan Fox Engine sebagai game engine, tapi Unreal Engine 4.
Perubahan mesin ini membuat Konami bisa merombak ekspresi pemain menjadi sedetail mungkin. Detail game memang menjadi salah satu palagan pertarungan sengit dengan produsen game sepak bola lain. Rivalitas PES dan FIFA misalnya, sudah seperti rivalitas Lionel Messi vs Cristiano Ronaldo. Ketat.
Saya rasa, rivalitas antara PES dan FIFA akan menjadi salah satu rivalitas dunia game yang tidak lekang oleh waktu. Masing-masing peminat punya alasan kuat untuk mengatakan bahwa kompetitor itu tidak lebih dari game sampah yang layak ditinggalkan tanpa pikir panjang.
Pertarungan itu memuncak di PES 2020 vs FIFA 2020. Saat itu, detail PES 2020 dianggap lebih baik. Namun, bukan itu saja yang membuat PES 2020 dianggap lebih digdaya. Salah satu ledekan untuk FIFA adalah gameplay yang terlalu “kartun”. Main FIFA yang head to head dengan PES 2020 malah terasa seperti main FIFA Streat. Terlalu banyak trick yang nggak mungkin dipakai di pertandingan nyata.
Detail dan seberapa riil sebuah game sepak bola memang menentukan. PES 2020, misalnya, menghadirkan detail gerak-geriak pemain yang lumayan nyata. Mulai dari cara mengumpan, kuat/lemahnya sebuah umpan, posisi tubuh yang menentukan akurasi tembakan, dan lain sebagainya. Semuanya dianggap lebih nyata ketimbang FIFA.
Sementara itu, FIFA dianggap lebih oke karena beberapa hal. Pertama, soal lisensi klub. PES, hingga seri 2021, masih belum punya lisensi untuk beberapa nama klub, hingga jersey.
Jadi, main Manchester City, misalnya, jerseynya biru polos saja seperti tim tarkam memeriahkan kompetisi 17-an. Main Atletico Madrid, nama klubnya berubah menjadi Madrid Rosas dengan jersey putih-merah polosan yang malah terlihat seperti seragam tim voli.
Main FIFA sendiri, tanpa menggunakan trick yang malah terasa lagi main freestyle football, juga menghadirkan rasa nyata yang menyenangkan, kok. Saya sempat menghabiskan, mungkin, ratusan menit untuk main FIFA 2020 pakai Bayern Munchen. Skema 4-4-2 khas Hansi Flick di dunia nyata terasa cukup enak di dalam game. Pergerakan pemain juga hampi sesuai dengan taktik yang dipakai.
Saya pribadi nggak mau terlalu pusing mau memilih PES 2020 atau FIFA 2020. Mana saja boleh asal bisa main. Namun, karena rasa dahaga membuat strategi seperti dunia nyata, saya memutuskan untuk “berselingkuh” dengan Football Manager (FM). Sebuah game simulasi yang menghadirkan kepuasan tertentu.
Saya sendiri merasa Football Manager (FM) itu punya tingkat adiksi yang berbahaya. Padahal, Football Manager (FM) tidak bisa menghadirkan keseruan mengendalikan pemain dengan konsol. Namun, kamu bisa menghabiskan satu hari bulat sentosa di depan laptop atau PC demi status juara bersama klub kesayangan di dunia Football Manager (FM).
Kepuasan berburu wonderkid dan menjadikannya sebagai world class player melebihi juara Master League di PES 2020. Universe Football Manager (FM) juga menghadirkan interaksi antara pelatih dan pemain yang lebih nyata ketimbang PES 2020 atau FIFA 2020.
Rasa nikmat ketika menemukan formasi yang tepat dan membawa tim divisi 3 menjadi juara Liga Champions itu candu yang selalu ingin kita kejar. Apalagi ketika formasi yang kita pakai betul-betul rancangan sendiri. Bukan copas dari formasi yang bisa kita temukan di banyak forum Football Manager (FM).
Mungkin, tingkat kegagalan yang tinggi di Football Manager (FM) membuatnya jauh lebih menantang ketimbang PES 2020 dan FIFA 2020. Untuk PES dan FIFA, semuanya bisa ditentukan oleh seberapa jago kamu memainkan konsol. Namun tidak untuk Football Manager (FM). Kamu harus betul-betul jeli mengatur formasi, keuangan klub, menjaga kebahagiaan pemain, dan lain sebagainya.
Selama beberapa tahun, saya lebih bahagia bersama selingkuhan dan melupakan PES atau FIFA. Untuk kemudian saya merasakan kembali kebahagiaan memegang konsol ketika komunitas yang menaungi Mojok mengadakan turnamen PES.
Mungkin sudah 2 tahun lebih saya tidak memegang konsol PlayStation. Selain kesibukan karena pekerjaan, saya juga lebih puas menghabiskan waktu bersama Football Manager (FM), lalu Mobile Legends. Namun ternyata, memegang konsol memang memberikan kepuasan tersendiri.
Terutama ketika kemampuan bermain konsol belum betul-betul luntur. Awalnya memang butuh adaptasi. Namun, setelah puluhan kali mencoba lagi, PES 2020 menjadi lebih mudah dan menyenangkan untuk dimainkan. Dan pada akhirnya, saya menjadi juara di kompetisi PES itu. Sebuah keajaiban.
Kesenangan bisa memegang kembali konsol PlayStation melempar ingatan saya ke masa lalu. Ketika rental PlayStation menjadi jujugan wajib selepas sekolah atau di akhir pekan. Mulai dari Winning Eleven, hingga Need for Speed, rental PlayStation menghadirkan rasa kangen yang sulit dibendung.
Kini, PES sudah resmi tiada. Game memang akan selalu datang dan pergi. Yang lawas, digantikan yang baru. Seperti siklus hidup itu sendiri. Datang dan pergi, tapi kenangannya sudah kadung berbekas.
Terkadang, penderitaan paling hakiki dalam hidup adalah ketika kerinduan tak bisa dituntaskan. Untung saja, masih ada teman yang menyimpan game PES di kantor. Jadi, kerinduan itu bisa dituntaskan ketika rasanya sudah terlalu membuncah dan butuh pelampiasan.
BACA JUGA Football Manager x FIFA x PES: Trinitas Game Sepak Bola dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.