Masa Depan Arsenal Ada di Kaki-kaki Lelah Lacazette

Saya rasa, masa depan Arsenal musim ini sudah digambarkan oleh kaki-kaki lelah Lacazette.

Masa Depan Arsenal Ada di Kaki-kaki Lelah Lacazette MOJOK.CO

Masa Depan Arsenal Ada di Kaki-kaki Lelah Lacazette MOJOK.CO

MOJOK.COMasa depan Arsenal sudah digambarkan oleh kaki-kaki lelah Lacazette. Bermain lebih agresif dan jangan terlalu banyak buang peluang.

Arsenal tidak boleh menurunkan kecepatan. Awal musim yang begitu buruk membuat mereka tercecer di papan bawah. Cenderung reaktif di beberapa laga, The Gunners kehilangan poin-poin krusial. Kini, mereka sudah berjarak satu poin saja dari zona Liga Champions.

Konsep bermain Mikel Arteta, sampai tulisan ini tayang, masih dipertanyakan banyak orang. Sebetulnya, namanya sebuah konsep pasti tidak ada cacat. Tujuannya selalu baik. Namun, di sepak bola, semuanya jadi ribet karena konsep tersebut diperagakan manusia, bukan robot. Yang sebetulnya baik adanya, menjadi penuh cacat.

Berkaca dari kemenangan Arsenal dari Aston Villa, satu hal kembali terbayang di kepala saya. Saya tidak ingat berapa kali menyampaikan hal ini, yaitu Meriam London itu lebih cocok bermain secara lebih sederhana, lebih direct, bahkan pada titik tertentu, lebih ke counter-based team.

Jangan salah, yang saya maksud dengan counter bukan dengan menumpuk pemain di kotak penalti lalu menyerang balik secepat mungkin. Counter, bisa juga diterjemahkan sebagai usaha untuk menekan lawan sedini mungkin. Misalnya dengan menekan fase pertama build-up lawan.

Ketika mengalahkan Aston Villa, corak itu bisa sekilas kita lihat dari kaki-kaki lelah Alexandre Lacazette. Striker senior yang bermain di belakang Aubameyang itu terus berlari untuk menekan pemain Aston Villa yang mencoba membangun serangan dari bawah.

Determinasi dan kesadarannya untuk menekan lawan secara konsisten membantu Arsenal merusak kenyamanan cara bermain Aston Villa. Inilah yang saya maksud dengan sikap proaktif. Ketika Arsenal bermain lebih reaktif, mereka lebih sering kesulitan. Misalnya ketika ditahan imbang Brighton dan Crystal Palace.

Memang, situasi di dua pertandingan itu sangat berbeda. Tidak selalu usaha menekan dari garis depan bisa dilakukan. Namun, maksud saya, Arsenal harus berani mengambil risiko dan bermain agresif seperti Lacazette. Memang melelahkan, seperti yang dialami Lacazette. Dia tumbang selepas menit 60.

Sejak era Arsene Wenger, jujur saja, saya selalu merasa tidak nyaman ketika tim ini terlalu banyak menguasai bola. Kalau mau ditarik benang merahnya, Arsenal selalu kesulitan menembus pertahanan lawan yang cenderung negatif. Inisiatif di sepertiga akhir lapangan seperti tidak terlihat.

Arsenal sendiri malah lebih nyaman ketika bermain lebih sederhana. Menyambungkan dua hingga tiga umpan vertikal untuk langsung menyerang ruang kosong. Toh pemain-pemain dengan mereka, termasuk Lacazette, punya koordinasi umpan pendek yang baik, plus kecepatan yang bisa diandalkan.

Saya rasa, situasi sekarang justru sangat mendukung pilihan bermain ini. Arsenal tidak lagi dianggap sebagai klub yang dominan. Tidak masalah, karena dominan atau tidak, tidak berhubungan dengan skor akhir. Gol-gol mereka ke gawang Spurs dan Aston Villa adalah rekaman terbaik untuk dipelajari.

Kata “proaktif” yang saya maksud di atas tidak selalu berhubungan dengan menguasai bola selama mungkin. Proaktif adalah pilihan untuk merespons keadaan. Artinya, meski The Gunners terteka hampir 90 menit, mereka punya solusi untuk keluar dari situasi itu.

Bermain lebih agresif, baik dengan atau tanpa bola, juga cocok untuk beberapa pemain. Misalnya, Nico Pepe. Bagi saya, dia bukan tipe winger atau second striker yang nyaman bermain di dalam konsep penguasaan bola. Pepe seperti pistol dengan peluru yang melesat di momen-momen khusus.

Dia hanya butuh satu momen serangan balik, ketegasan Arteta untuk memintanya lebih efisien, dan ruang kosong untuk melakukan akselerasi. Pepe memang tidak secepat Kieran Tierney atau Aubameyang. Namun, jika menengok lagi laga-laga Pepe bersama Lille, kita bisa melihat dirinya mekar dalam konsep counter-based team.

Sama kasusnya seperti Emile Smith Rowe dan Bukayo Saka. Keduanya lebih berbahaya dalam momen transisi cepat. Selain punya kecepatan, keduanya pandai untuk menemukan ruang untuk akselerasi, melakukan umpan cepat, dan membuat peluang, bahkan bikin gol.

Pemain-pemain Arsenal bakal sangat lelah selepas pertandingan. Namun, hal itu adalah kompensasi dari buruknya intensitas pressing mereka selama ini. Tahukah kamu, saat ini, Arsenal, bersama Norwich City, menjadi dua tim terbawah dalam parameter intensitas pressing. Padahal, di sepak bola modern, pressing sangat penting.

Hal ini diamini oleh Smith Rowe selepas kemenangan atas Aston Villa. “Saya rasa, pressing yang terorganisasi sangat penting bagi kami sebagai sebuah tim. Kami bekerja keras ketika latihan, pressing high, mencoba untuk memenangi bola sedini mungkin jadi kami bisa langsung menyerang. Hasilnya, kami banyak memenangi bola lebih dini.”

Saat ini, di dunia sepak bola, konsep possession football akan selalu dianggap lebih “mulia”. Ia dianggap sebagai wujud nyata sebuah dominasi. Sementara itu, counter-based team akan dianggap “dosa” karena dianggap wujud inferior manusia.

Namun, pada titik tertentu, persetan dengan segala konsep. Dominasi 90 menit, dengan penguasaan bola mencapai 80 persen tidak ada maknanya jika sebuah tim kalah dengan skor 0-1. Konsep harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi skuat, tidak asal dipakai karena terlihat lebih sophisticated.

Saya rasa, masa depan Arsenal musim ini sudah digambarkan oleh kaki-kaki lelah Lacazette. Determinasi, inisiatif untuk menekan lawan, kesadaran untuk berlari lebih jauh dan bergerak lebih cepat yang akan jadi kunci. Sudahi “muter-muter nggak jelas”, perbanyak sprint jarak pendek, passing cepat, dan maksimalkan peluang. Sudah, bagi Arsenal, itu semua cukup.

BACA JUGA Kembalinya Alexandre Lacazette Memang Dibutuhkan Aubameyang dan Arsenal dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version