MOJOK.CO – Setelah sukses memecat Jose Mourinho, Manchester United dan Paul Pogba merasakan kembali kebahagiaan dan kebebasan.
Manchester United masih ada di papan tengah klasemen Liga Inggris musim 2018/2019. Status itu masih melekat kepada mereka: tim papan tengah. Namun, perubahan sedang terjadi. Setelah menjual jiwanya kepada “setan” yang suka murung dan bermulut bau, kini Setan, Merah, sudah “mengabdi” kepada “setan yang lebih ceria”.
Perjanjian dengan setan, biasanya, dilakukan dengan dasar harus melakukan pengorbanan atau tumbal. Ketika memilih mengabdi kepada Jose Mourinho, United begitu yakin bisa kembali ke masa kejayaan setelah masa transisi dari rezim Sir Alex Ferguson yang tampak seperti tiada akhirnya itu. Dari Moyes, ke van Gaal. Dari Mourinho, dan kini ke Ole Gunnar Solskjaer.
Jangan salah, Mourinho memang memberi gelar kepada Manchester United. Namun, seperti sudah menjadi rahasia umum, United harus mau menumbalkan musim ketiga mereka. Sebuah kutukan melekat kepada diri Mourinho, yaitu menjadi medioker di tahun ketiga untuk akhirnya dipecat dan menjadi pecundang.
Sejak menangani Chelsea, lalu Real Madrid, Mourinho bukan lagi The Special One, tapi The Fired One. Kutukan itu melekat dengan kuat. Menjadi bukti bahwa acara-acara sinetron azab di Indosiar itu memang berdasarkan kisah nyata. Azab seorang pelatih yang bermulut bau, dipecat di tahun ketiga, dan menjadi pecundang sejagat raya.
Saya membenci United. Jangan salah. Namun, sebagai redaktur Mojok yang selalu berusaha objektif, saya harus bilang bagus ketika sebuah tim memang sedang bagus, dan blangsak ketika mereka memang pecundang. Dan di bawah asuhan caretaker Ole, United menemukan kembali kebahagiaan menjual jiwa kepada “setan” yang tepat.
Mengapa bisa begitu?
Sejak rezim Sir Alex yang begitu panjang, United dikenal sebagai sebuah tim yang punya kekuatan besar ketika menyerang. Mereka tidak selalu bermain bagus atau indah, namun tekanannya begitu terasa ketika menyerang. Mereka akan “mengandalkan” semua cara untuk bisa mencetak gol. Determinasi itu yang membantu United menjadi penguasa di periode pertengahan 2000an hingga akhir.
Semua kelebihan itu seperti lenyap di tahun kedua dan ketiga Mourinho. Wajah garang Manchester United diubah menjadi “setan cupu” yang hobi menumpuk pemain di kotak penalti sendiri. Dan ketika mengingkari identitas diri, yang akan kamu temukan adalah kegagalan. Filosofi, yang sudah melekat, akan sulit diubah, apalagi oleh “orang luar” dengan mulut bau dan tajam.
Caretaker Ole mengembalikan lagi determinasi di sepertiga akhir lapangan. Seperti yang pernah ia katakan setelah mengalahkan Cardiff City dengan skor 1-5, bahwa pekerjaannya lebih mudah karena keberadaan pemain-pemain bagus. Sebuah bukti bahwa masalah United adalah mental yang dibawa oleh “setan” yang salah.
Caretaker Ole juga mengembalikan kebahagiaan bermain kepada beberapa pemain kunci. Ada tiga pemain yang seperti dibangkitkan kembali. Kebetulan, ketiganya ada di lapangan tengah. Mereka adalah Nemanja Matic, Ander Herrera, dan Paul Pogba. Trio gelandang yang hampir selalu bermain bersama di tiga laga terakhir United.
Ketika dibeli Manchester United dari Chelsea, Matic dikenal sebagai salah satu gelandang cerdas dengan mobilitas tinggi. Semuanya berubah di tangan Mourinho. Pemain asal Serbia itu menjadi gelandang biasa saja yang mudah kehilangan bola.
Situasi tidak berbeda dialami Herrera yang terlihat canggung hampir di setiap laga United. Ia mudah kehilangan bola. Padahal, keberadaannya sebagai pendamping Pogba di lapangan tengah menjadi begitu krusial.
Pogba, yang paling terasa perubahannya. Ia menjadi pemain yang bertanggung jawab menyebar bola di bawah asuhan Mourinho. Sebuah peran yang sama sekali tidak cocok dengan spesifikasi pemain asal Prancis itu. Ia tidak diberi kebebasan. Pogba bermain dengan tuntunan text book yang terbukti tidak tepat.
Perubahan terjadi di bawah asuhan Ole Gunner Solskjaer, si baby face killer. Tiga pemain di atas: Matic, Herrera, dan Pogba diberi peran baru.
Herrera menjaga kedalaman dan bertanggung jawab dengan arus bola dari bawah. Ia menjadi kunci Manchester United, terutama ketika mengalahkan Cardiff dan Bournemouth. Herrera banyak turun di antara bek tengah untuk menjaga arus bola. Sementara itu, Matic menjadi penyeimbang di dekat lingkaran tengah. Arus bola yang dijaga dua orang membuat United tidak mudah kehilangan bola.
Dan, begitu diberi kebebasan, Pogba memberi bukti bahwa ia adalah salah satu gelandang serang terbaik di dunia. Pogba akan jauh lebih berbahaya ketika bermain lebih dekat dengan kotak penalti. Itu konteksnya, sementara buktinya, bisa kamu lihat dari statistik Pogba di tiga pertandingan United, di mana mereka selalu bisa mencetak tiga gol atau lebih.
Setelah 14 pertandingan di bawah asuhan setan bermulut bau, Pogba mencatatkan 3 gol dan 3 asis. Setelah dilatih caretaker Ole di tiga laga, Pogba bisa mencetak 4 gol dan 3 asis. Pogba juga menjadi pemain yang paling banyak melakukan tembakan tepat sasaran, paling banyak melakukan sentuhan di sepertiga akhir lapangan, dan paling banyak menciptakan peluang.
Statistik adalah angka mati tanpa konteks. Untuk lebih memberi bukti, silakan kamu lihat lagi proses gol Marcus Rashford ke gawang Bournemouth. Semua terjadi setelah Rashford bebas di mulut gawang karena dua bek tengah lawan ditarik perhatiannya oleh Pogba. Tak terlihat jika tak lekat diamati. Itulah alasan Pogba menjadi sangat berbahaya ketika dekat dengan kotak penalti.
Salah satu kelebihannya adalah mencari posisi di dekat kotak penalti dan melakukan tembakan. Sejak bermain bersama Juventus, teknik tembakan Pogba sudah sangat matang. Yang ia butuhkan hanyalah kebebasan dan kebahagiaan.
Kini, ia menjadi pemain keempat di lima besar liga Eropa yang paling banyak melakukan tembakan. Pogba hanya berada di bawah Cristiano Ronaldo (rata-rata melakukan 2,7 tembakan per laga), Lionel Messi (2,4), Kylian Mbappe (2) dan Pogba (1,8). Pogba juga memegang rata-rata tembakan tepat sasaran paling tinggi di Liga Inggris!
Manchester United dan Paul Pogba menemukan kembali kebahagiaan dan determinasi di bawah asuhan Ole Gunnar Solskajer. Sebuah bukti bahwa untuk sementara waktu, United sudah menjual jiwanya kepada “setan” yang tepat. Namun, jangan keblinger. Mourinho juga memenangi tiga laga awalnya bersama United.
Yah, terlepas dari prediksi yang akan terjadi di masa depan, fans United bisa bernyanyi “Ole! Ole! Ole!” sebelum pertandingan. Bukti kebahagiaan tidak hanya dirasakan pemain saja.