MOJOK.CO – Ketika Liverpool bisa menjadi seperti “babi”, tidak ada yang bisa mencegah mereka menjadi juara Liga Inggris. Manchester City pun tidak. Kecuali tetap: Tuhan YME.
Kembali lagi dengan konten Balbalan spesial Liverpool x Manchester City. Persembahan spesial dari Mojok untuk persaingan panas antara dua klub ini menjelang tutupan Liga Inggris 2018/2019. Kemenangan “susah payah” yang diraih The Reds atas Fulham punya banyak makna. Yang saya kira nggak kamu pikirkan sebelumnya.
Sangat beralasan ketika Jurgen Klopp menyebut kemenangan Liverpool atas Fulham adalah kemenangan yang sensasional. Kok bisa begitu? Sudah ngebet juara sampai-sampai kemenangan yang dipetik dengan cara paling buruk dianggap sebagai kemenangan yang sensasional?
Saya sangat setuju dengan paparan Klopp selepas laga itu. The Reds dikritik habis-habisan ketika gagal membungkus kemenangan ketika melawan dua tim medioker; Manchester United dan Everton. Padahal, kemenangan atas dua tim spesialis kalahan dan penghuni papan tengah itu begitu dibutuhkan untuk kembali menjauh dari kejaran Manchester City.
Skuat asuhan Klopp hanya bisa bermain imbang, dengan skor identik; 0-0. Padahal, sepanjang laga, The Reds punya banyak momen untuk menentukan nasib sendiri. Betul, jika mampu membawa pulang tiga poin, Liverpool tak perlu pusing memikirkan hasil akhir pertandingan rival mereka; Manchester City.
Hasil imbang itu dianggap sebagai indikasi jati diri Liverpool, yaitu nggak kuat menahan tekanan menjelang sprint di akhir musim. Mental inferior yang muncul ketika gelar juara sudah di depan mata ini karib The Reds. Ada saja kekonyolan yang mereka produksi ketika seharusnya bisa menentukan nasib sendiri. Sampai-sampai, salah satu fans mereka bertanya, “Apakah Liverpol ini memang takut menjadi juara? Nggak kuat mental dengan status tersebut?”
Rumus menjadi juara di sebuah kompetisi yang panjang seperti Liga Inggris itu sangat sederhana, yaitu tidak kalah, membuat gol lebih sering ketimbang rival, dan mengumpulkan poin lebih banyak. Jika syarat mudah itu bisa dipenuhi, sebuah klub bakal bisa menentukan nasib sendiri, tidak bergantung kepada hasil minor rival, seperti yang saya sebut berkali-kali di atas.
Dan terkadang, tidak dibutuhkan permainan cantik dan memukau untuk membungkus tiga poin. Sebuah klub, akan sangat sering berada dalam situasi sulit, ketika sebuah pertandingan menjadi begitu kompleks. Ketika sebuah tim bermain dalam performa terburuk, tetapi harus tetap menang. Saya menyebutnya sebagai “bermain di kubangan lumpur”.
Bermain di bawah performa terbaik, ditambah kelelahan yang memuncak di paruh akhir musim, beberapa pemain kunci absen, adalah sedikit dari banyak situasi yang harus bisa dihadapi sebuah klub secara dewasa. Persetan dengan permainan cantik. Toh pada akhirnya, yang dihitung sebagai tiga poin adalah tim yang paling banyak bikin gol.
Kaki menjadi begitu berat untuk terus berlari sepanjang 90 menit. Apalagi Liverpool adalah sebuah tim dengan corak permainan dengan intensitas tinggi. Tanpa stamina, ya tidak bisa bermain seperti itu untuk 90 menit. Seperti sedang berjalan di atas lumpur, berat, lengket, mengesalkan, The Reds beradaptasi dengan situasi.
“Kami baru saja melewati pekan yang intens, kami tandang ke Munchen, pulang, lalu ke London, yang mana cukup jauh dari Liverpool, jadi performa yang biasa-biasa saja ini, bagi saya adalah hasil yang sensasional,” ucap Klopp seperti dikutip Guardian.
Kelelahan, beberap pemain tak bisa berakselerasi penuh selama pertandingan. Mereka harus bersiasat supaya tidak kehabisan bensin. Ketika Fulham berhasil menyamakan kedudukan berkat blunder Virgil van Dijk dan Alisson, dua pemain terbaik mereka, The Reds tidak panik. Perubahan sedikit terasa dari cara pandang para pemain.
Mereka tidak lagi panik. Tidak seperti ketika masa Steven Gerrard dijegal kakinya sendiri untuk kemudian jatuh terjerembab. Seperti Stevie G, performa The Reds langsung terjerembab ke dalam lumpur. Selepas petaka kekalahan dari Chelsea di tahun itu, mereka gagal bangkit ketika kemudian disikat Crystal Palace.
“Saya sangat puas dengan respons pemain saya. Setelah Fulham bikin gol, kami kembali bisa berpikir jernih seperti sebelumnya. Saya tidak melihat para pemain panik. Saya suka reaksi mereka,” tegas Klopp memuji mental pemainnya.
Sembari mengakui bahwa timnya memang bermain buruk, Klopp juga memuji mental pemainnya. Ini catatan penting. Liverpool tak perlu menjadi tim yang berlari paling jauh dan bergerak paling cepat di Liga Inggris. Mereka hanya butuh menghindari kekalahan dan hasil imbang.
Damar W Wibowo, dalam komentarnya di artikel “Liverpool x Manchester City: Benarkah Liverpool Takut Juara?” berkata “Kesalahan Liverpool sebenernya terlalu banyak seri lawan tim-tim semenjana macam West Ham, Leicester City.” Saya menambahi: juga tim semenjana seperti Setan, Merah dan Everton.
Hasil imbang melawan tim-tim ini didapat dengan susah payah. Ketika The Reds tak bisa berlari secara bebas di dalam genangan lumpur. Koreksi kalau saya salah, kali terakhir mereka bisa menang ketika “bermain di dalam lumpur” adalah ketika mengalahkan Brighton dengan skor 0-1. Kemenangan atas Brighton dan Fulham ditentukan dengan cara yang sama: penalti!
Bermain buruk, tepi menang itu tidak selalu berkaitan dengan keberuntungan. Ia adalah hasil kerja keras. Hasil usaha sekuat tenaga untuk mengangkat kaki yang terbenam di dalam lumpur.
Kamu tahu babi? Betul, binatang menggemaskan yang dagingnya begitu luhur lebih enak ketimbang sapi–tentunya bagi kamu semua non-muslim–itu suka betul bermain lumpur. Ia mencintai keburukan, menjadikannya habitatnya.
Namun, di balik kekotoran dan kekacauan, daging babi begitu gurih, bisa dimasak dengan berbagai rupa teknik, dan kandungan kolesterolnya di bawah daging sapi. Di balik kekacauan, ada kenikmatan.
Ketika Liverpool bisa menjadi “babi”–maksud saya bisa beradaptasi dengan buruknya pertandingan berjalan, tidak ada yang bisa menghalangi mereka untuk juara. Ya tentu saja, kecuali, Tuhan YME. Siapa tahu Tuhan “bercanda” dengan bikin van Dijk kepleset. Ehh…