MOJOK.CO – Liverpool dan Arsenal berbeda dunia. Dibedakan oleh kuatnya mental dan pengalaman menanggung derita. Jurgen Klopp, memang guru terbaik.
Pukul 05.00 pagi, selepas laga Liverpool vs Arsenal, suara Ariel NOAH menyapa. Sayup-sayup, lagu “Menunggumu” dari NOAH itu menerobos dari jendela yang terbuka. Tetangga sebelah yang punya katering sedang menumis berbagai bumbu sambil mendengarkan lagu. Harum bumbu yang tengah bergumul dengan minyak panas itu menyertai syahdu suara Ariel.
Bila rindu ini masih milikmu
Ku hadirkan sebuah tanya untukmu
“Harus berapa lama aku menunggumu?”
Aku menunggumu
Aku menunggumu
Dalam hati, ku menunggu
Dalam hati, ku menunggu, aku….
Dalam benak, ku menunggu
Dalam hati, ku menunggu, aku….
Masih menunggu
Berapa lama fans Liverpool menunggu dalam penderitaan? Berapa lama benak mereka dikoyak ledekan dan tawa sinis fans lain? Jurgen Klopp resmi melatih Liverpool sejak 2015. Pelatih asal Jerman itu membutuhkan tiga tahun hanya untuk merombak skuat. Tiga tahun penuh mereka menjadi bahan ledekan paling menyenangkan. Apalagi terkait puasa gelar selama 30 tahun.
Seiring waktu, seiring perbaikan yang berhasil dilakukan, Liverpool bersalin muka. Jurgen Klopp adalah guru yang setia dan tabah. Dia ajarkan dunia baru kepada para pemain Liverpool. Perlahan, tetapi sangat pasti. Saya pernah menulis kalau The Reds menjadi “manusia unggul” bersama Klopp. Kemenangan dari Arsenal menjadi bukti.
Liverpool bukan “manusia sempurna”. Blunder masih terjadi, koordinasi sering lesap. Namun, mereka berbeda. Beberapa aspek yang membedakan antara tim biasa dengan tim juara dimiliki Liverpool. Dua aspek yang saya maksud adalah mental dan pengalaman melewati masa sulit.
Sebagai sekumpulan “manusia unggul”, meski tidak sempurna, kestabilan mental mereka tidak pernah goyah. Tertinggal satu gol setelah Andrew Robertson blunder tidak mengubah kepercayaan diri yang sudah merasuk ke dalam state of mind.
Jurgen Klopp menampik komentar Roy Keane yang menyebut timnya ceroboh. Kesalahan adalah bagian dari kehidupan. Oleh sebab itu, kesalahan bukan hanya untuk dihakimi, tetapi dicatat untuk diperbaiki. Hanya butuh waktu tiga menit bagi tim juara ini untuk memperbaiki diri.
Beberapa kali Arsenal dan Mikel Arteta menjadi semacam kerikil di dalam sepatu Jurgen Klopp. Dua kali cara bermain Arteta sukses membuat The Reds kehabisan solusi. Namun malam itu, Jurgen Klopp menunjukkan perbedaan tim biasa dan tim juara. Mereka beradaptasi dengan kesalahan, cepat mencari solusi, dan mengeksekusi solusi tersebut.
Jurgen Klopp seakan-akan menjadi guru bagi banyak tim yang kesulitan mencari solusi ketika melawan low block lawan. Benar, saya sedang menyindir Manchester City. Rodri, gelandang City, menganggap Leicester City cuma beruntung ketika menang dengan skor 5-2. Rodri tidak menaruh respect kepada kerja keras lawan.
Sementara itu Klopp tidak pernah menganggap Arsenal “beruntung”. Klopp tahu betul kalau Arsenal akan bertahan dengan low block untuk kemudian menghantam dengan serangan balik. Klopp, dengan baik hati menjelaskan caranya melawan Arsenal.
“Kami tahu kekuatan mereka ketika diizinkan membangun serangan dari bawah. Oleh sebab itu, kami harus menang jumlah di beberapa area supaya Arsenal bermain dengan umpan lambung. Ketika umpan lambung dilakukan, kami bisa mengontrol mereka,” terang Klopp selepas pertandingan. Setelah dua kali dipecundangi Arteta, Klopp menaruh respect dan mencari solusi, bukan mencari pembenaran dan menyalahkan pemain.
Cara bermain Liverpool pun tidak bisa disebut sophisticated, tetapi efektif. Melawan low block, celah yang bisa dimanfaatkan adalah sisi lapangan. Bola diagonal dari bek tengah ke sisi jauh, kanan maupun kiri, akan menggoyang blok pertahanan lawan. Sederhana sekali, tetapi sekali lagi, sangat efektif.
Satu hal yang perlu kamu catat adalah mengeksekusi ide menjadi wujud nyata bukan perkara mudah. Semua orang bisa membuat teori. Namun, tidak semua orang bisa dan mau mewujudkan teori itu. Kemampuan mengeksekusi teori, bahkan yang paling rumit, hingga membuatnya terlihat sederhana, membedakan tim biasa dengan tim juara.
Bola diagonal dari Virgil van Dijk ke arah sisi jauh sebelah kanan itu sangat sulit dieksekusi. Selain teknik menendang bola, membaca waktu dan melakukannya dengan presisi itu luar biasa susah. Belum lagi penerima bola harus bisa mengontrol bola dengan mulus ketika diapit garis tepi dan pemain Arsenal.
Pengalaman melewati berbagai kesusahan membuat Liverpool bisa mengeksekusinya dengan tingkat presisi tidak main-main. Sama seperti urusan membuat kalimat ketika menulis. Penulis yang baik bisa membahasakan tema berat menjadi sajian yang enak dibaca dan mudah dipahami. Keberhasilan ini bukan perkara berlatih selama beberapa bulan, tetapi proses melewati penderitaan selama bertahun.
Mental yang tidak goyah membuat pekerjaan semakin mudah. Mereka bisa bermain dengan nyaman karena mental kuat membantu pemain berpikir jernih. Mental yang kuat membuat pemain bisa mempertahankan level komunikasi dan koordinasi. Dua hal yang tidak terlihat dari Arsenal setelah Liverpool menyamakan kedudukan.
Liverpool memang mengalahkan Arsenal di gameweek ketiga Liga Inggris. Namun, sebenarnya, Klopp sedang mengajari semua klub tentang pentingnya membangun mental dan ketahanan diri menanggung derita. Semuanya tidak instan. Mereka yang berharap dan melambarinya dengan kerja keras akan tersenyum bahagia di akhir perjalanan.
BACA JUGA Liverpool Menjadi Entitas Terbaik Bersama Jurgen Klopp dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.