MOJOK.CO – Ekspektasi tinggi, realitasnya anjlok. Transfer pemain sepak bola mahal yang dilakukan tim-tim dunia lebih pantas disebut demi tujuan iklan ketimbang memperkuat tim. Sejumlah faktor membuat pemain mahal tak seberuntung Kylian Mbappe, Neymar, dan Ronaldo.
Saya tetap tidak bisa menerima fakta bahwa dalam hidup saya yang membosankan ini, saya melalui masa ketika ada pemain sepak bola dibeli dengan harga ratusan juta euro. Waktu kecil, harga Zidane saja bagi saya sudah tidak masuk akal. Tapi ketika Neymar ditebus PSG dengan harga 222 juta euro, dinding logika seakan runtuh.
Fenomena itu tidak berhenti pada Neymar saja. Mbappe, Pogba, Joao Felix, Hazard, Coutinho, Dembele, dan Griezmann adalah nama-nama yang menyusul Neymar menjadi pembelian klub yang menyentuh atau melebihi 100 juta lebih. Pemain mahal ini ditebus dengan satu ekspektasi, yaitu menambah kekuatan tim untuk menancapkan dominasi.
Apakah berhasil? Jawabannya sejauh ini: rata-rata belum menunjukkan hasil.
Joao Felix yang digadang-gadang sebagai “Ronaldo baru” belum terlihat menunjukkan performa yang menyenangkan. Griezmann masih biasa-biasa saja. Dembele sedang berteman sepi karena cedera. Hazard kelebihan berat badan dan baru mencetak satu gol, ditambah cedera selama 3 bulan. Dan tentang Pogba serta Coutinho, saya tidak tega menuliskannya.
Ekspektasi kita akan otomatis meninggi ketika melihat pemain berbanderol tinggi. Fans seketika menganggap, tim kesayangannya baru saja mendapuk pemain kualitas bintang yang akan membawa tim menuju gelar. Memangnya apa lagi yang kau inginkan ketika kau punya pemain berharga di atas 100 juta di timmu?
Alih-alih memberi kepuasan, harga tinggi itu membebani si pemain. Coutinho gagal total menunjukkan kualitasnya. Pogba lebih diingat gaya rambutnya daripada kemampuannya mengubah pertandingan. Hazard seakan kehilangan jati diri, meski mulai seirama dengan permainan Madrid. Joao, Dembele, dan Griezmann belum menunjukkan bukti bahwa ada harga, ada rupa.
Salah satu faktor yang membuat pemain ratusan juta itu terlihat gagal adalah ketidakcocokan mereka pada sistem permainan dan pelatih. Kedatangan Dembele, Griezmann, dan Coutinho ke Barcelona terjadi di saat Barcelona dilatih Valverde yang terlalu bergantung dengan Messi dan tidak punya sistem jelas. Pemain-pemain mahal itu jadi kebingungan memaksimalkan potensi. Sementara pemain kreatif macam Joao Felix kehilangan ruangnya di tangan Simeone.
Contoh lain adalah Harry Maguire. Di Leicester dan timnas Inggris, dia bermain amat bagus. Di tangan Ole, dia terlihat seperti bek liga tarkam. Permainan Maguire di tangan Ole bukan tak seperti yang kau harapkan dari bek termahal di dunia. Jelas bahwa pelatih berandil besar membuat pemain mahal gagal.
Nasib Pogba lebih buruk. Dia tidak dipercaya Mou, atau persisnya, ia tidak diinginkan Mou. Ed Woodward yang terlalu ikut campur urusan pelatih dengan mendatangkan Pogba mendatangkan petaka berupa konflik dan cacian tak masuk akal untuk si pemain. Serbasalah juga kalau jadi Pogba, mau juara bagaimana jika tandem setimnya pemain macam Lingardinho dan Jones? Dan dalam kasus Hazard, dia sendiri yang berulah dengan tidak menjaga kondisi fisik hingga menyulitkan dirinya sendiri.
Ribuan tekel yang berhasil tidak akan diingat fans, satu blunder terjadi maka selesai hidupmu, dan itulah sifat fans yang tidak bisa kita mungkiri. Harga mahal dan status bintang yang para pemain mahal itu pikul membuat mereka tertekan. Alih-alih bermain dengan bahagia, mereka terpaksa berhati-hati agar tidak membuat kesalahan.
Berhasilnya Mbappe dan Neymar membuat ekspektasi orang terhadap pemain mahal ratusan juta menjadi absurd. Belum tentu dalam satu siklus kehidupan ada pemain baru macam Ronaldo dan Mbappe, namun semua orang memukul rata bahwa jika hargamu mahal, minimal harus seperti mereka.
Potensi flop yang mulai terlihat sejauh ini untuk pemain mahal tidak akan menghentikan tim-tim membeli pemain dengan harga kelewat tinggi. Namun, seharusnya yang perlu diperhatikan tim adalah apakah uang yang mereka keluarkan itu karena kebutuhan tim atau semata karena logika dagang. Galacticos jilid pertama adalah contoh bagaimana uang tidak bisa membeli prestasi.
Kepentingan tim harusnya jadi prioritas utama dalam pembelian pemain, apalagi jika menyangkut pemain mahal. Real Madrid belajar lewat kegagalan Galacticos. Juventus merekrut pemain gratis dengan kualitas bintang. Chelsea mempercayakan tim kepada talenta muda.
Harga gila-gilaan tidak lagi bisa diterjemahkan sebagai kualitas, sekadar situasi pasar yang gila. Atau anggap saja manajemen sebenarnya sedang membeli bintang iklan. Kalau sudah begitu, para pelatih dan manajemen klub mesti mendengarkan kata-kata Ronaldo, “Sekarang pemain bisa dihargai 100 juta euro meski ia belum membuktikan apa-apa.”
BACA JUGA Bukayo Saka dan Resonansi Awal Karier Bellerin di Arsenal dan juga artikel menarik lainnya di BALBALAN.