Tidak banyak hal yang bisa bikin kegaduhan rutin berskala global sebagaimana sepak bola. Setidaknya sepak bola Eropa.
Laga El Clasico di Spanyol diantisipasi para pengguna media sosial dunia sepekan lamanya. Pertandingan big match di Inggris tak habis-habisnya diiklankan televisi. Sementara partai derbi di Italia bisa bikin para penggemar di Indonesia saling “mengusapi tahi (merda)” ke wajah masing-masing. Itu belum termasuk ajang empat tahunan macam Piala Dunia dan Piala Eropa.
Satu berita pendek dari liga Eropa bisa melahirkan meme yang menjadi viral di jagat media sosial. Libur kompetisi tidak bikin penggemar menganggur karena berita transfer diproduksi secara massal, lebih ramai ketimbang di musim kompetisi sekalipun. Bukan main cerdiknya bule-bule Eropa itu mengelola fanatisme masyarakat di seluruh penjuru dunia. Segala sesuatunya diatur sistematis, rapi dan halus, seolah alamiah saja.
Tapi, tidak semua hal besar dimulai dengan rencana yang telah disusun rapi. Paling tidak dua aspek penting dalam industri sepak bola lahir akibat jurus kepepet demi menyiasati kondisi sulit.
Halaman Majalah yang Terancam Kosong
Bagaimana jadinya jika sebuah majalah olahraga terbit tanpa kejadian penting yang bisa diliput? Tanyakan itu kepada Mário Filho (1908—1966).
Tahun 1931, pada usia 23 tahun, jurnalis Brasil ini menerbitkan edisi perdana majalah olahraga O Mundo Sportivo yang berbasis di Rio de Janeiro, kota terbesar kedua di Brasil. Terbitan pertamanya berdekatan dengan momen final kompetisi sepak bola setempat. Tak ada masalah sampai di sini.
Hanya saja setelah final, kompetisi libur sementara waktu. Di saat yang sama, peristiwa olahraga lain minim, padahal edisi kedua O Mundo Sportivo mesti tetap terbit. Tanpa berita, bagaimana caranya lembaran majalah diisi? Masak mesti terbit dengan halaman blangko? Ini era 1930-an, Anda tidak bisa klik hape buat cari berita.
Filho punya reputasi bagus sebagai wartawan sejak sebelum menerbitkan majalahnya sendiri. Ketika bekerja di halaman olahraga di surat kabar A Manhã, ia dikenal kreatif menerabas batas-batas liputan sepak bola konvensional kala itu. Laporan umum pertandingan kelewat membosankan buatnya. Ia mencari data-data detail terkait laga dan penampilan pemain, mengekspos rivalitas antarkelompok pendukung, serta menggunakan istilah-istilah yang dipakai para pendukung dalam laporannya. Mitos rivalitas kondang antara Fluminese dan Flamengo, yang melahirkan istilah populer “Fla-Flu”, juga dipengaruhi oleh gaya jurnalisme Filho.
Oke, tapi itu belum menjawab pertanyaan di atas. Tanpa berita, bagaimana caranya lembaran majalah diisi? Di sinilah Filho secara kreatif mengeluarkan jurus kepepet, yang kemudian akan membentuk wajah industrialisasi sepak bola.
Brasil kebetulan punya tradisi karnaval tahunan yang menyedot animo sangat besar. Jutaan orang sekaligus tumpah ke jalan-jalan, bergembira dan membuat keriuhan. Komunitas-komunitas kulit hitam kerap secara spontan berparade keliling kota dan saling bersaing merebut animo penonton.
Filho secara kreatif mengolah fenomena sosial ini ke dalam bingkai sepak bola. Alex Bellos dalam buku Futebol: The Brazilian Way of Life, menceritakan bagaimana Filho mengompori persaingan antarkelompok pendukung tim di tengah suasana karnaval, membuat berbagai kategori persaingan, sementara O Mundo Sportivo membuat tim untuk memberikan penilaian. Materi liputan buat majalah terhampar dengan sendirinya.
Sayangnya majalah ini berusia pendek, hanya delapan bulan. Akan tetapi, persaingan yang diinisiasi Filho menjadi tradisi yang awet.
Setelah O Mundo tutup, Filho bergabung dengan harian O Globo sebagai wartawan olahraga mereka. Ia kembali memanfaatkan rivalitas pendukung Flamengo dan Fluminese. Sebelum laga Fla-Flu, kolom olahraga O Globo fokus membangun nuansa persaingan selama seminggu penuh. Ia juga menyemangati kelompok suporter untuk membawa bermacam perabotan ke stadion. Mulai dari drum, instrumen musik, bendera dan umbul-umbul warna-warni, sampai kembang api dan mercon. Kelompok pendukung paling meriah menjadi pemenang.
“Adu domba” ala Filho direspons penuh semangat oleh para pendukung. Teras-teras stadion seperti berubah menjadi arena karnaval. Penuh warna, penuh suara. Aksi suporter meleburkan batas antara tontonan dengan penonton. Di lapangan terjadi laga sengit, di teras stadion antusiasme puluhan ribu orang tumpah dengan cara mengesankan.
Dari sinilah terlahir tradisi atmosfer stadion yang bising dan meriah. Industri sepak bola di antaranya terinspirasi dari fenomena “karnaval” penonton di stadion.
Rupert Murdoch dan Berita Transfer
Pada 1964 koran The Sun terbit menggantikan Daily Herald yang gagal memenuhi ekspektasi penjualan. Meski sempat laku keras di awal kemunculannya, hanya butuh waktu beberapa minggu koran ini berangsur-angsur kembali ke angka penjualan Daily Herald biasanya, bahkan terus turun.
Setelah berbagai upaya mentok, tahun 1969 pihak penerbit akhirnya menyerah dan memasukkan The Sun ke daftar jual. Pengusaha media asal Australia Rupert Murdoch menyambut kesempatan ini sebagai cara untuk masuk ke pasar media Inggris. Demi bea balik nama kepemilikan, ia menggelontorkan dana 800 ribu poundsterling, dibayar nyicil.
The Sun pada perjalanannya nanti bakal punya masalah cukup serius dengan berbagai kelompok suporter sepak bola Inggris. Terutama terkait kontroversi liputan mereka tentang malapetaka di Hilsborough pada 1989. Ini tragedi sepak bola yang menewaskan 96 penonton dan 766 korban luka. Tapi, akuisisi oleh Rupert Murdoch ini juga akan melahirkan salah satu aspek terpenting dalam industri sepak bola, yakni berita transfer.
Seperti diceritakan majalah FourFourTwo edisi Agustus 2012, kabar buruk yang segera didengar Murdoch setelah akuisisi adalah kesulitan mencari tempat percetakan di wilayah terdekat. Mohon diingat saat itu belum masuk era digital, yang mana pengiriman dokumen belum segampang sekarang. Setiap harinya The Sun mesti menyelesaikan draf terbitan sebelum sore agar segera dikirim ke percetakan, lalu didistribusi ke penjuru Britania sebelum pagi.
Itu artinya proses pencetakan The Sun berbarengan dengan laga sepak bola sore di akhir pekan. Hasil laga dan berbagai perintilannya tak sempat masuk liputan. Sebuah perkara besar buat harian yang membidik pangsa pasar penggila bola. Sementara memberi kabar dua hari lalu kepada pembaca sama saja bunuh diri. Dan mustahil membiarkan kolom sepak bola kosong melompong.
Menghadapi kondisi begini Murdoch mengeluarkan jurus kepepet. Kolom laga sepak bola diisi gosip transfer pemain. Sumbernya? Yaelah, namanya juga gosip.
Sampai di sini kelihatannya semua orang senang. The Sun terbit tanpa kolom kosong, pembaca mendapat informasi baru meski baru gosip. Murdoch pun sudah menemukan percetakan yang letaknya cukup dekat. Jadi laga sepak bola bisa dimuat dalam kondisi hangat. Jurus kepepet mulai ditinggalkan.
Di luar dugaan, pembaca protes karena kehilangan kolom gosip transfer. Rupa-rupanya membaca berita transfer menghadirkan sensasi tersendiri di luar soal menang kalahnya tim favorit. The Sun menyambut aspirasi rakyat. Kan suara rakyat suara Tuhan. Berkahnya langsung terlihat ketika media-media pesaing ikut bergosip, mencontek kebijakan Murdoch.
Sejak itu berita sepak bola tak bisa lagi menyepelekan perkara transfer. Industri sepak bola ikut dibentuk dari sirkulasi gosip transfer pemain. Menguatnya posisi tawar pemain terhadap klub, kehadiran agen-agen super seperti Mino Raiola dan Jorge Mendes, juga dimungkinkan lewat perkembangan genre berita transfer.