Selain kabar terdepaknya Meriam London dari kompetisi Liga Champions musim depan, si Kutu yang ternyata pengemplang pajak, serta transfer ugal-ugalan Setan Merah pada awal musim untuk menebus pemain yang ternyata lebih berbakat menata rambut daripada bermain bola, berita apa yang menggegerkan jagat sepak bola selama musim 2016/2017?
Kecuali bagi fans Lazio, jawabannya sudah jelas: pensiunnya Francesco Totti.
Kali ini, setelah bertahun-tahun dirumorkan sampai orang-orang menganggapnya kabar burung belaka, akhirnya sang kapten benar-benar pensiun. Di hadapan pendukungnya di Stadion Olimpico, Roma, Totti memainkan laga terakhir melawan Genoa. Untung saja laga itu ia menangkan.
“Momen ini akhirnya tiba. Sayangnya, momen ini datang ketika saya tak pernah mengharapkannya,” ujar Totti dalam pidato perpisahannya setelah pertandingan. “Sulit untuk menjelaskan 25 tahun hidup saya bersama Roma. Saya ingin menggubah lagu atau membuat puisi, tapi saya tak bisa melakukan keduanya.”
Entah mana yang lebih sulit bagi Totti: menggubah lagu, membuat puisi, atau memutuskan pensiun. Namun, menanggalkan seragam kebanggaan setelah seperempat abad mengenakannya memang keputusan sulit. Lebih sulit lagi bila pemain tersebut hanya mengenal satu seragam sepanjang kariernya.
Untuk urusan kesetiaan kepada klub, Francesco Totti berhasil menyamai pencapaian Paolo Maldini dan Ryan Giggs. Hingga pensiun Maldini hanya memakai seragam AC Milan, sementara Giggs tak pernah berpaling dari Manchester United.
Adalah wajar ketika seorang pemain memilih untuk setia kepada satu klub yang menjanjikan kejayaan kepadanya. Tapi, Roma, ya ampun, hal terbaik apa yang bisa dijanjikan AS Roma kepada Totti selain ban kapten dan gelar “Pangeran Roma”?
Mari kita sepakati saja bahwa AS Roma bukanlah klub besar. Semenjak didirikan 90 tahun lalu, klub ini baru memenangkan gelar liga sebanyak tiga kali; sekali ketika dibela oleh Totti, sekali ketika Totti masih belajar menendang bola, dan sekali ketika orang tua Totti bahkan belum dilahirkan.
Prestasi terbaik AS Roma cuma didapat di kancah Piala Italia. Sembilan kali Roma mengangkat trofi kelas dua di jagat sepak bola Italia ini, dua di antaranya bersama Totti. Piala lain yang berhasil dikoleksi oleh Roma dengan bantuan Totti hanyalah trofi kelas tiga Supercoppa Italia (2001 dan 2007).
Lima gelar dalam dua puluh lima tahun: pantaskah AS Roma diberi kesetiaan sedemikian rupa oleh Totti?
Mari kita bandingkan Totti dengan Gianluigi Buffon. Kiper gaek yang tampaknya sudah menghapus lema pensiun dari kamusnya ini segenerasi dengan Totti, sama-sama menyandang ban kapten, dan sama-sama setia kepada klub.
Akan tetapi, Juventus memang pantas diberi kesetiaan oleh Buffon. Sebagai klub tersukses di Italia, Juventus mampu menjanjikan apa pun kepada Buffon. Prestasi maupun prestise. Maka, bisa dimaklumi kalau Buffon tetap setia sekalipun Juventus pernah dihukum bermain di kasta kedua gara-gara terlibat skandal pengaturan skor.
Dan AS Roma?
Sebagai klub Ibu Kota, AS Roma sebenarnya memiliki segalanya: fans militan, finansial mumpuni, pemain-pemain jempolan. Yang tidak dimiliki Roma hanyalah ambisi untuk memenangi gelar. Bagaimanapun, tujuan hidup AS Roma cuma satu: membuat fans Lazio menangis setiap akhir pekan.
Dengan mentalitas semacam itu, amat wajar bila usaha menghadirkan trofi ke markas AS Roma menjadi sama sulitnya dengan usaha membuat masyarakat Indonesia rajin membaca. Kecuali menjadi penguasa kota, hampir tidak ada prestasi dan gengsi yang bisa dijanjikan oleh AS Roma kepada pemainnya. Dan dengan demikian, memang tidaklah pantas untuk pemain seperti Totti bersetia kepada tim sesemenjana itu.
Kerugian sang Pangeran Roma semakin bertambah bila kita menghitung jumlah trofi yang bisa saja dimenanginya bila ia mau menyeberang ke klub lain.
Perwakilan AC Milan pernah mendatangi rumahnya ketika sang calon legenda baru berumur 13 tahun. Ibunyalah yang membukakan pintu, dan kemudian mengatakan tidak untuk tawaran menggiurkan yang disodorkan tim raksasa Italia tersebut. Totti menurut.
Andai ia bergabung dengan Milan dan memulai debutnya di sana pada tahun yang sama dengan debutnya di Roma, entri prestasi Totti di halaman Wikipedianya tentu tidak sesepi sekarang. Sejak musim ‘92/’93 hingga saat ini, AC Milan telah mengumpulkan tujuh gelar Serie-A dan tiga piala Champions. Itu belum termasuk trofi kelas dua seperti Coppa Italia dan Supercoppa.
Pada 2004, giliran raksasa Spanyol yang menggodanya. Di tengah kemelut konflik internal dengan direksi klub, dan barangkali juga baru menyadari bahwa Roma ternyata tak mampu menggaransi kejayaan di level tertinggi, Totti berniat hengkang. Tapi tidak ke klub Italia lain.
Real Madrid, yang baru memulai proyek Los Galacticos, mendengar kabar ini dan menawarkan satu tempat di timnya. Uang tak menjadi soal untuk Madrid, dan urusan garansi gelar, yah, pemain Madrid bisa berharap mengangkat piala liga sekurang-kurangnya dua musim sekali, bergantian dengan Barcelona.
Namun, Totti berubah pikiran di saat-saat terakhir—keputusan yang membuatnya dijuluki “pesepakbola terbodoh sepanjang masa”. Oleh fans Lazio. Ia merelakan kesempatan mengangkat trofi Liga Champions, trofi yang diidamkannya melebihi trofi lain, melayang begitu saja. Dan ia melanjutkan perjalanannya dengan AS Roma sekalipun trofi terbaik yang berhasil dimenanginya sejak saat itu hanyalah Coppa Italia.
“Saya bisa pergi ke sana (Real Madrid), tapi saya ingin menjadi pemain Roma seumur hidup. Meraih Scudetto di sini adalah perasaan unik yang tidak bisa saya ucapkan. Cinta yang saya miliki untuk penggemar bernilai jauh lebih banyak daripada gelar atau penghargaan apa pun yang telah saya menangi.”
Demikianlah karier sang Pangeran. Dengan semua kejeniusannya, ia memilih setia hingga akhir kepada satu klub, sesuatu yang amat jarang ditemui di era sepak bola modern. Dan laga terakhirnya di depan pendukungnya sendiri, yang tak henti-henti meneriakkan namanya dan membentangkan spanduk untuknya dan menangis haru di akhir laga, menjadi penahbisan bahwa hanya ada satu pangeran di AS Roma selamanya. Pangeran yang kini bergelar anumerta.
Grazie, Capitano!