MOJOK.CO – Kasus Ezra Walian, FIFA, dan PSSI ini kasus yang sebetulnya biasa saja. Sepele sekali di depan sepak bola Indonesia dengan segudang masalah.
Fans sepak bola Indonesia itu, rata-rata, berlagak seperti ikan piranha. Ganas ketika mencium bau darah, lalu mengeroyok tanpa pikir panjang. Ketika dipermasalahkan, mereka berlagak polos, berlagak nggak ingat, berlagak tidak berdosa, menyalahkan pihak lain. Mengapa? Karena mereka sebetulnya ikan mas bersisik piranha. Berlagak sangar, dengan ingatan yang pendek.
Ya masalah kekerasan suporter, masalah lisensi sebuah klub–ketika klub baru rasa lama bisa langsung berlaga di Liga 1 tanpa melewati jenjang yang seharusnya–masalah kepengurusan di PSSI, dan lain sebagainya. Kritik dan masukan dari berbagai pihak tiada artinya. Panas sesaat, lalu hilang lagi.
Masalah di sepak bola seperti melihat ikan mas berenang di dalam akuarium berukuran 10x10x15. Bagi mereka, akuarium itu dunia yang luas. Berbekal ingatan tiga detik, setiap sudut akuarium adalah petualangan baru. Melupakan masalah dan kekisruhan yang terbengkalai.
Contoh paling anyar adalah kisruh Ezra Walian. Tanpa ancang-ancang, tiba-tiba, pemain yang lama mukim di Belanda itu tidak boleh lagi bermain untuk timnas Indonesia. Alasannya, Ezra Walian pernah membela timnas Belanda muda di sebuah ajang internasional. Bahkan, lulusan akademi Jong Ajax itu sudah mencetak gol.
Kira-kira begini kronologinya:
PSSI mendaftarkan Ezra Walian ke AFC untuk membela timnas U-23 Indonesia di ajang kualifikasi Piala Asia U-23. Dua hari menjelang pertandingan pertama kualifikasi, AFC meminta kepastian dari PSSI soal status Ezra Walian sebagai pemain naturalisasi. AFC pun meminta dokumen pendukung berupa sumpah kewarganegaraan, dekret presiden, dan surat ketetapan lainnya.
PSSI langsung mengirimkan dokumen Ezra Walian yang dibutuhkan AFC. Setelah dikirim dan dikaji, AFC meminta PSSI untuk memastikan sekali lagi ke asosiasi sepak bola Belanda (KNVB) bahwa Ezra Walian belum pernah membela timnas Belaanda. KNVB merespons PSSI dengan mengatakan bahwa Ezra pernah bermain untuk timnas U-17 Belanda di Piala Eropa U-17 tahun 2013 lalu.
Diketahui, Piala Eropa U-17 itu diikuti oleh Ezra Walian sebelum mengajukan naturalisasi. Lalu, AFC meminta PSSI untuk memohon persetujuan dari FIFA soal kejelasan status Ezra. PSSI pun langsung mengirimkan dokumen yang dibutuhkan oleh FIFA (sumpah, dekret, pernyataan Ezra, paspor Belanda dan Indonesia) dalam dua versi bahasa; Inggris dan Indonesia.
Setelah dikaji, FIFA memutuskan bahwa Ezra Walian tak bisa berpindah asosiasi karena pernah bermain di kompetisi resmi UEFA sebelum dinaturalisasi. Kaget dengan keputusan FIFA, terjadilah yang sudah menjadi tradisi fans bola Indonesia: serang dulu, pikir kemudian.
Sebetulnya, alasan kemarahan fans bola Indonesia itu cukup menarik. Mereka menggunakan kasus pemain Thailand, Charyl Chappuis, sebagai pembanding. Chappuis sempat dilarang bermain untuk timnas Thailand karena pernah membela timnas Swiss usia muda. Setelah melewati prosea yang panjang, akhirnya Chappuis boleh memperkuat Thailand.
Apa yang terjadi dengan Chappuis? Saya kutipkan omongan Chappuis secara utuh ya:
“Saya sedih mendengar berita tentang Ezra. Saya mengalami masalah serupa pada 2013 ketika saya pertama kali dipanggil timnas Thailand. Itu karena federasi sepakbola Thailand tak menyiapkan dokumen yang cukup kepada FIFA. Sehingga, saya batal tampil dalam laga resmi pertama saya melawan Lebanon.”
Agak jelas? Betul, kesalahan ada di federasi Thailand yang tidak menyiapkan semua dokumen yang dibutuhkan FIFA. Apakah kalian tidak pernah berpikir kalau federasi kita–bukannya ingin berburuk sangka–yang alpa dalam masalah ini?
Apakah sebuah organisasi besar seperti FIFA bisa membuat kesalahan elementer seperti ini? Ini seperti kamu daftar CPNS tapi nggak lolos verifikasi karena belum legalisasi ijazah. Kamu lalu protes dan marah-marah kepada penyelenggara. Padahal, kamu sendiri yang lupa.
Saya sih berharap FIFA yang bikin salah. Sudah cukup PSSI bertingkah lucu. Jangan lebih dari ini. Masak menyiapkan dokumen Ezra Walian saja bisa nggak becus? Gimana mau mengurus sepak bola Indonesia? Ahhh, ekspektasi saya terlalu tinggi, apalagi ketika Gusti Randa jadi (plt) ketum PSSI pun tidak diketahui oleh anggota Exco lainnya.
Lagipula diakui saja lah, tolong geser sedikit itu “rasa nasionalisme”. Kita bicara sepak bola sebagai “sepak bola”. Akui saja, kalau Ezra Walian itu bukan pemain bagus. Ia pemain yang “Oke”, tapi ya “biasa saja”. Kalian ini cuma takut untuk jujur mengakuinya bukan? Lihat saja, dalam lima tahun ke depan, ia tak akan jauh berbeda dengan level Jhonny van Beukering. Kalau saya salah, ya alhamdullilah. Kalau saya benar?
Kalau sudah begitu, ngapain menghabiskan waktu dan umpatan untuk menyerang FIFA ketika ada masalah nyata di depan mata. Kamu tahu komentar pelatih timnas Thailand setelah membantai Indonesia?
“Saya senang tapi tidak terkejut. Kami bermain lebih baik hari ini. Kami memainkan para pemain terbaik kami, dan kami tahu harus mencetak gol lebih banyak agar menang. Maka kami melakukan itu di laga ini. Kami berlatih dengan baik dan para pemain saling tahu sama lain. Saya kira hari ini kami mengejutkan Indonesia, kami mengalahkan mereka dengan skor besar. Kami mengganti tim kami, dan itu membuat mereka kalah.”
Sudah menang dengan skor 4-0, pelatih Thailand tidak terkejut, padahal ia mengakui kalau Indonesia adalah tim kuat. Tapi, sekali lagi, ia tidak terkejut. Luar biasa.
Sebentar, siapa dari kalian yang langsung menyalahkan Indra Sjafri? Ya itulah sisi ikan mas bersisik piranha di dalam diri kalian.
Sepak bola adalah sebuah peristiwa “sebab akibat”. Apa yang kamu tanam, kelak akan kamu tuai. Kalau liganya jelek saja belum, banyak mafia bola, kepengurusan PSSI yang buruknya minta ampun, pembinaan usia muda yang megap-megap, apa yang kamu harapkan dari timnas?
Kasus Ezra Walian ini kasus yang biasa saja. Sepele sekali di depan sepak bola Indonesia dengan segudang masalah. Ikan bobok?