PR Edy Rahmayadi: Liga 3 yang Kacau dan Kekerasan Terhadap Jurnalis

MOJOK.CO – PSSI mesti mengevaluasi penyelenggaraan Liga 3 yang kacau. Pekerjaan rumah yang rumit bagi Edy Rahmayadi, yang konon siap rangkap jabatan.

Sepak bola Indonesia kembali menghadirkan kabar yang tidak mengenakkan. Oryza A. Wirawan, jurnalis beritajatim.com, dianiaya ketika meliput pertandingan Liga 3 di Stadion Jember Sport Garden.

Seusai laga antara Persid Jember melawan Dharaka Samudra Indonesia (Dharaka Sindo) yang berkesudahan 1-1 itu, para pemain Dharaka Sindo mengerubungi wasit. Sebagai seorang jurnalis, Oryza berniat mengabadikan momen tersebut dengan kamera ponsel.

Tapi, kemudian ada oknum yang berusaha merebut kamera ponsel Oryza A. Wirawan. Para pemain yang sedianya mengerubungi wasit, mengalihkan fokus kepada sang jurnalis. Para pemain itu lantas memukuli Oryza A. Wirawan hingga tersungkur dan mengalami beberapa luka. Yang dilakukan pemain dan ofisial Dharaka Sindo ini menyalahi UU Pers.

Perlu dicatat, wartawan dilindungi oleh hukum, yang diatur lewat Pasal 4 UU No. 40/1999 tentang kebebasan melakukan peliputan dan memperoleh keamanan saat melakukan pekerjaannya. Untuk setiap orang yang melanggar tersebut, menurut Pasal 18 UU yang sama, bisa diancam hukuman pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500,000,000 (lima ratus juta rupiah).

Kolonel Robby, komandan Brigif, yang anggotanya menjadi pemain Dharaka Sindo mengakui ada oknum anggotanya yang terlibat penganiayaan dan sudah di-BAP. Dia juga menyampaikan permohonan maaf atas kekerasan yang dilakukan dan akan menegakkan aturan serta menjatuhkan sanksi.

Tentara kini memang makin sering menghiasi pemberitaan terkait sepak bola Indonesia. Ketum PSSI, Edy Rahmayadi, ketika kali pertama menjabat, masih berstatus sebagai tentara aktif dan mengemban amanah sebagai Pangkostrad.

TNI pun memiliki klub PS TNI yang berlaga di kompetisi level tertinggi. Setelah prestasi yang kurang memuaskan musim lalu, PS TNI yang pindah ke Bantul berganti nama menjadi PS TIRA.

Sementara Dharaka Sindo ini erat kaitannya dengan tentara karena awal mulanya memang klub milik tentara. Klub ini hasil merger Dharaka FC milik TNI dengan Samudra Indonesia. Merger baru berusia sebulan dan langsung bersiap menghadapi Liga 3 dengan kombinasi pemain asli Jember yang kebanyakan masih bersekolah serta ada delapan pemain yang berstatus sebagai anggota TNI.

Walaupun persiapan mepet, Dharaka Sindo mengawali Grup G Liga 3 dengan memetik kemenangan perdana ketika tandang ke Banyuwangi Putra dengan skor 1-0.

Dharaka Sindo merupakan potret pelaksanaan Liga 3 kita. Persiapannya serba mepet dan serampangan. Ada klub yang tidak punya stadion, bahkan mengandalkan lapangan ala kadarnya. Itu tentu dibarengi dengan pelaksanaan pertandingan yang seadanya. Tidak ubahnya laga tarkam atau kompetisi internal Askab/Askot tapi dilabeli sebagai kompetisi resmi nasional.

Masalah ini tidak hanya terjadi di tingkat klub tapi juga penyelenggaraan. Format dan konsep kompetisi pun bisa dikatakan tidak seperti rencana semula.

Setelah mengalami masa dualisme liga dan sanksi dari FIFA, PSSI merombak kompetisi nasional. Di bawah Edy Rahmayadi, nama liga pun berubah, Liga 1 dan Liga 2 yang profesional dan Liga Nusantara (Linus) sebagai peleburan kompetisi amatir. Musim 2017 merupakan musim antara atau persiapan menuju musim 2018 yang lebih ideal.

Oleh karenanya, dari 60 klub peserta Liga 2 di 2017, ada 40 klub yang terdegradasi. Klub yang degradasi itu direncanakan berlaga di Liga 3. PSSI sudah menyatakan jauh-jauh hari bahwa konsep idealnya ada empat level kompetisi di Indonesia.

Liga 1 yang diikuti 18 klub merupakan liga tertinggi. Liga 2 ideal diikuti oleh 24 klub saja yang dibagi ke dalam dua wilayah. Lalu ada Liga 3 sebagai kompetisi semi-profesional.

Liga 3 ini penting untuk mempersiapkan klub, yang sebelumnya amatir menjadi profesional melalui tahap semi-profesional. Gagasan ini sebenarnya baik, karena di level Liga 1 dan 2 saja masih banyak klub yang belum sepenuhnya siap, apalagi jika ada yang promosi dari Linus ke Liga 2. Dari yang berstatus amatir tiba-tiba langsung profesional? Jangan bercanda.

Ada banyak yang perlu dipersiapkan untuk menjadi profesional. Oleh karenanya, penulis sebenarnya sepakat dengan gagasan empat level di kompetisi nasional.

Sayangnya, itu kemudian tidak jadi terlaksana karena ditolak oleh para pengelola klub. Klub yang terdegradasi dari Liga 2 merasa keberatan, begitu pula yang berada di Linus. Mereka sebelumnya merasa bertanding di Liga 3, tapi kemudian turun level. Jadi penolakan ada di kedua belah pihak.

PSSI kemudian menyetujuinya dan membuat konsep yang menggelikan. Klub Liga 3 berlaga dulu di level provinsi, lalu masuk ke regional, baru kemudian berlaga di seri nasional di mana 40 klub eks Liga 2 sudah menunggu.

Bagi klub Liga 3, berlaga sejak regional jelas melelahkan dan butuh biaya. Jenjangnya sangat panjang, mirip dengan Liga Pendidikan untuk pelajar. Sementara bagi eks klub Liga 2, musim 2018 paling hanya akan berkompetisi untuk waktu singkat, kurang lebih 2 bulan saja.

Meskipun waktu yang pendek bisa menekan biaya, nyatanya klub Liga 2 tetap saja “ngos-ngosan” untuk bersiap menghadapi Liga 3. Belum juga berlaga, jumlah klubnya sudah berkurang.

Pro Duta FC dan Persifa Fak Fak didiskualifikasi lantaran musim lalu mereka berhenti di tengah jalan. Tanggal 5 Juni lalu, tiga klub menyusul didiskualifikasi oleh PSSI. Mereka adalah Persih Tembilahan, PPSM Magelang, dan Sragen United.

PSSI mesti mengevaluasi penyelenggaraan Liga 3 musim ini. Tiket promosi ke Liga 2 pun bisa jadi masalah di kemudian hari jika ternyata mereka yang bisa mendapatkan hak promosi tidak siap secara pengelolaan.

Edy Rahmayadi, jika tetap ingin menjadi Ketum PSSI, maka persoalan ini mesti diprioritaskan untuk dipikirkan. Indonesia masih perlu ada kompetisi semi-profesional. Apabila tidak, kompetisi Liga 1 dan 2 hanya akan ada masalah baru. Persoalan gaji yang tertunggak tetap menghiasi headline media massa di tahun-tahun mendatang.

Melihat masalah yang begitu pelik, masihkah Edy Rahmayadi mau rangkap jabatan? Membenahi jadwal Liga 1 pun masih jauh dari kata “selesai”. Liga 1 itu wajah sepak bola profesional Indonesia. Kalau yang “pro” saja tak pernah beres, jangan harap liga di bawahnya bisa diharapkan “sudah baik”. Menggelikan.

Exit mobile version