Edy Rahmayadi dan Kepentingan Politik di Sepak Bola Indonesia

MOJOK.CO – Rangkap jabatan, antara jabatan politis dan ketum PSSI sangat mungkin terjadi. Meski bakal mendatangkan banyak mudarat, Edy Rahmayadi bakal mewujudkannya.

Edy Rahmayadi dan pasangannya Musa Rajhekshah, sementara ini, unggul dalam versi hitung cepat Pilgub Sumatera Utara. Jika resmi terpilih, Edy Rahmayadi terancam rangkap jabatan sebagai gubernur dan ketua umum PSSI. Sudah jauh-jauh hari, Edy Rahmayadi menyatakan bahwa sah saja baginya untuk mengemban dua amanah penting tersebut sekaligus.

Itu berarti, keinginan mayoritas pencinta sepak bola Indonesia untuk perlahan menghilangan pengaruh politik makin sulit mendekati kenyataan. Bagaimana mungkin, sepak bola kita terbebas dari kepentingan politik jika ketumnya saja seorang gubernur, sebuah jabatan politik.

Namun, jika kita menengok sejarah, memang tak pernah ada ceritanya sepak bola kita terbebas dari politik. Dalam dua dekade terakhir, kedekatan sepak bola dengan politik praktis justru makin kentara.

Ketika APBD masih boleh digunakan untuk membiayai sebuah klub sepak bola profesional, adalah hal yang jamak ketika kita mendapati kepala daerah, bupati, walikota, gubernur, menjabat pula sebagai ketua umum sebuah klub. Bahkan ada yang menjadi manajer. Tujuannya untuk memudahkan aliran dana APBD ke klub.

Selain itu, tata cara pemilihan umum di Indonesia yang mengedepankan aspek popularitas (pemilihan langsung) dari tokoh yang berkeinginan maju sebagai kepala daerah telah mendorong para tokoh politik untuk mendekat ke sepak bola. Sebagai olahraga paling populer di Indonesia, sepak bola dijadikan kendaraan politik.

Menunggangi sepak bola, banyak tokoh yang tadinya kurang populer mendadak begitu dikenal masyarakat. Mereka menjadi lebih mudah memperoleh ruang pemberitaan di media massa dan media sosial. Juga lebih mudah untuk menjumpai calon pemilihnya. Cukup dengan datang ke stadion, sudah bisa berjumpa dengan puluhan ribu calon pemilihnya.

Pola seperti ini yang bisa kita lihat dari sepak terjang Edy Rahmayadi. Edy memiliki karier militer yang mentereng dengan sempat menjadi Pangdam Bukit Barisan dan pernah menjabat sebagai Pangkostrad. Tapi, Edy Rahmayadi sadar bahwa jabatan militernya itu tidak cukup mengangkat popularitas namanya dan bekal untuk masuk ke politik praktis.

Oleh karenanya, dia masuk ke sepak bola. Apalagi, dia pernah punya pengalaman sebagai pemain junior PSMS Medan sebelum aktif merintis karier di militer. Sebagai orang yang memiliki ambisi politik, Edy tahu yang mesti dilakukan.

Saat PSSI berada di tengah ketidakpastian setelah pembekuan dari Menpora dan sanksi dari FIFA, butuh ada penyegaran di tubuh PSSI. Edy Rahmayadi mulai masuk ke sepak bola dengan serius. Pendampingnya tidak main-main, dua sosok yang sudah bahurekso di sepak bola nasional: Joko Driyono dan Iwan Budianto.

Dua nama yang TIDAK MUNGKIN TIDAK harus kita tulis untuk memetakan sejarah sepak bola Indonesia dalam dua dekade terakhir, bukan?

Joko Driyono dan Iwan Budianto lah yang kemudian membawa Edy Rahmayadi bersafari ke seluruh Indonesia untuk mulai mendulang suara. Edy hadir dalam berbagai kesempatan acara sepak bola. Tidak hanya kompetisi level tertinggi, Liga Nusantara yang merupakan divisi terbawah pun dia datangi untuk mendekati para pelakunya.

Safari Edy Rahmayadi membuahkan hasil. Dia terpilih secara mutlak sebagai Ketum PSSI periode 2016-2020 dengan mengantongi 76 suara, jauh melebihi seniornya, Moeldoko, mantan Panglima TNI yang memperoleh 23 suara, dan Eddy Rumpoko yang hanya mendapat satu suara. Berkat masuk ke sepak bola, Edy memperoleh keinginannya, yaitu dikenal sebagai salah satu tokoh nasional.

Dia sering muncul di media, baik cetak maupun televisi. Mau berbicara apa pun terkait sepak bola pasti diberitakan. Jumlah berita yang memuat tentang dirinya sebagai Ketum PSSI jauh lebih banyak dibandingkan sebagai Pangkostrad.

Publisitas inilah yang menjadi kompensasi terbaik dari usahanya menjadi Ketum PSSI. Walaupun prestasi sepak bola Indonesia masih begitu-begitu saja, sepak bola telah mengantarkannya sebagai salah satu tokoh paling populer di Indonesia.

Hasilnya adalah memudahkan Edy Rahmayadi untuk mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Utara. Pun, untuk mendulang suara di provinsi yang sepak bolanya kembali hidup setelah PSMS Medan bangkit dan promosi ke Liga 1. Kebangkitan PSMS, diakui atau tidak, ada sumbangsih Edy di dalamnya.

Selain Edy, masih ada tokoh sepak bola lain yang ikut serta dalam Pilkada. Sihar Sitorus yang menjadi cawagub Djarot Syaiful Hidayat untuk menantang Edy di Sumut pun bukan orang asing di sepak bola Indonesia. Dia pernah menjadi anggota Exco dan berstatus sebagai pemilik Pro Duta DC.

Nurdin Halid, mantan Ketum PSSI, mencalonkan diri di Sulawesi Selatan. Dia pun menggunakan sepak bola untuk mencari suara. Salah satu programnya adalah menjanjikan pembangunan lapangan sepak bola bertaraf internasional di setiap kecamatan. Tapi, Nurdin gagal.

Yang mampu mengikuti jejak Edy Rahmayadi untuk setidaknya berpeluang ditetapkan sebagai gubernur tak lain tak bukan Presiden Sriwijaya FC, Dodi Reza Alex Noerdin, yang mencalonkan diri sebagai gubernur. Dia sudah bersiap menggantikan ayahnya, Alex Noerdin, yang telah menjabat dua periode, 2008-2013 dan 2013-2018.

Bapak-anak ini kita tahu merupakan pengelola Sriwijaya FC sejak awal. Dari pembelian klub Persijatim Solo FC yang kemudian diubah namanya menjadi Sriwijaya medio 2007 dengan bertabur pemain bintang. Itu tak mungkin terjadi tanpa dukungan dana yang melimpah dari pemiliknya.

Masih ada tokoh sepak bola lain yang maju ke Pilkada. Sebut saja manajer PSM Makassar, Munafri Arifudin, yang sementara ini tertinggal dari kotak kosong. Lalu Yossi Irianto, mantan sekretaris tim Persib Bandung yang bertarung di pemilihan walikota Bandung. Di Ciamis, Herdiat Sunarya, manajer PSGC Ciamis berebut jabatan bupati Ciamis.

Melihat Palangkaraya, Tuty Dau, bertanding di pemilihan walikota. Dia adalah mantan CEO Kalteng Putra dan mantan anggota Exco PSSI.

Pembaca masih ingat dengan janji pembangunan “Stadion Old Trafford” di DKI Jakarta? Mereka yang menjanjikan pembangunan stadion tersebut juga menggunakan sepak bola Indonesia sebagai alat mendulang suara.

Fenomena ini bukan hal baru. Iwan Budianto yang kini menjabat sebagai Wakil Ketum PSSI pun pernah berlaga di ajang pemilihan walikota Kediri periode 2009-2014. Berniat menggantikan mertuanya, H.M. Maschut yang telah menjabat dua periode dan juga mantan manajer Persik, namun gagal dan akhirnya Iwan tetap eksis di sepak bola hingga kini.

Sulit untuk melepaskan sepak bola Indonesia dari kepentingan politik praktis. Ketika para tokohnya mau masuk saja sudah berniat untuk memperoleh timbal balik dari sepak bola.

Rangkap jabatan yang rencananya akan dilakukan oleh Edy Rahmayadi pun mungkin saja jadi kenyataan. Apalagi dia punya rekam jejak pernah merangkap jabatan Pangkostrad dan Ketum PSSI.

Jadi, bagi pencinta sepak bola Indonesia, perbanyak bersabar dan tahan untuk tidak berkata kasar jika itu semua terjadi…

Exit mobile version