MOJOK.CO – Alexandre Lacazette menguatkan hati Pierre-Emerick Aubameyang yang mengambil penalti ketika Arsenal menjamu Manchester United. Bromance yang so sweet.
Pertandingan paling menyebalkan untuk Arsenal. Melawan Tottenham Hotshit, wasit tampil sangat buruk. Kedua tim memang tidak layak mendapatkan penalti. Namun yang pasti, kemenangan The Gunners sudah dirampok secara paripurna. Tanpa wasit inkompeten dan jika VAR sudah diterapkan di Liga Inggris, Spurs bakal kembali ke khitahnya: tim papan tengah ke bawah.
Yang berbekas dari pertandingan brengsek itu bukan hanya kejengkelan dan kemarahan. Pertandingan terkutuk itu membuat ujung tombak Arsenal, Pierre-Emerick Aubameyang kehilangan sentuhannya. Mentalnya ambruk setelah gagal mengeksekusi tendangan penalti di menit akhir.
Kegagalan itu berbekas dan belum hilang, terbawa ke pertandingan berikutnya. The Gunners tandang ke rumah Rennes di ajang Piala Europa. Unggul lebih dulu oleh tendangan pisang ambon dibalur cokelat dan keju agrowisata melengkung ajaib Alex Iwobi yang mengecoh lawan dan kawan, Arsenal justru menjadi klub pecundang se-Inggris Raya. Mereka kalah dengan skor 3-1.
Aubameyang, yang bermain sebagai solo striker setelah Alexandre Lacazette absen karena mendapat kartu merah ketika melawan BATE, bermain tanpa nyawa. Senyum lebar yang menjadi ciri khasnya, tidak terlihat. Ia lebih banyak murung. Mental yang masih terluka bikin Aubameyang seperti pesepak bola liga amatir yang disponsori es krim itu. Kontrolnya kacau, pergerakannya tumpul.
Lalu datanglah big match, yang bisa dikata menjadi pertandingan paling penting bagi Arsenal. Menjamu Manchester United, kekhawatiran itu terasa jelas. United lagi bagus-bagusnya. Lapis kedua mereka bisa mengalahkan PSG di Prancis. Klub dari Liga Petani itu memang tidak bisa diharapkan di saat-saat genting.
Unai Emery membuat kejutan dengan menduetkan Aubameyang dan Lacazette di depan. Keduanya ditemani Mesut Ozil yang bermain di posisi favoritnya. Banyak yang memperkirakan Emery akan bermain sedikit aman dengan menurunkan banyak gelandang. Sementara itu, di depan, Lacazette yang akan bermain karena mental Aubameyang tengah ambruk.
Namun, yang namanya pelatih pasti lebih tahu situasi di kamar ganti dan apa yang perlu dilakukan ketika pemain pentingnya lagi jelek. Ini yang namanya kepercayaan. Meski memang, sepanjang babak pertama, trio di depan ini sungguh buruk sekali mainnya. Hanya Lacazette, yang sekali lagi, menunjukkan kelasnya.
Sejak datang ke Arsenal, Lacazette selalu tampil brilian di setiap big match. Statistik menjadi buktinya. Melawan Spurs, Lacazette membuat 1 gol dan 2 asis, vs Liverpool 1 gol dan 1 asis, vs Manchester United 1 gol dan 3 asis, vs Chelsea 1 gol, dan vs Manchester City membuat 1 gol. Melawan United di pertemuan kedua, Laca memberi 1 asis dan kontribusi yang berbeda.
Lacazette memang tidak bikin gol. Namun, bermain berdekatan dengan Ozil dan Aubameyang, pemain asa Prancis itu menjadi penghubung dari lini tengah. Ia tidak berhenti bergerak, membuka ruang untuk kawan-kawannya. Kontrolnya prima, dan tidak mudah kehilangan bola kecuali dilanggar lawan.
Ketika berada dalam performa terbaik, Lacazette bisa bermain sebagai pemantul bola sekaligus bermain lebih mobile untuk mencari ruang di lini depan.
Kemampuan Lacazette untuk bermain sebagai pemantul didukung oleh low center of gravity dan postur yang kokoh. Pesepak bola dengan low center of gravity menjadikannya lebih mudah menurunkan kecepatan lari, bergeser untuk mengantisipasi perubahan posisi lawan, dan menaikkan kecepatannya dalam sekejap.
Ketika hendak menerima umpan vertikal, Lacazette cukup sering mengulurkan tangan ke belakang seperti gerakan memeluk untuk memeriksa posisi bek lawan yang menempelnya dengan ketat.
Ketika mengulurkan tangan ke belakang, Lacazette akan merendahkan tubuh, menekuk lutut, membuat bek lawan kesulitan menggeser posisi berdirinya. Ia “menancapkan kaki” ke dalam tanah. Tubuh yang kokoh mendukung aksi ini.
Pada momen ini, ia melakukan aksi yang kompleks, yaitu mengukur jarak dengan bek, menguatkan posisi berdiri, fokus ke bola, sekaligus mengamati situasi sekitar.
Ketika umpan dilepas, Lacazette akan melentingkan badan dengan cepat untuk menerima umpan. Akibatnya, tercipta celah antara dirinya dan bek lawan. Celah yang tercipta tidak lebar, hanya dua atau tiga meter saja. Namun, celah tersebut sudah cukup bagi mantan penyerang Lyon tersebut untuk mengalirkan bola dengan urgensi dan intensitas tinggi.
Inisiatif yang tidak terlihat dari Aubameyang, justru sangat terasa dari Lacazette. Salah satu penetrasinya berbuah penalti ketika Fred, gelandang United, dengan ceroboh memasukkan badannya. Laca terjatuh dan penalti untuk Arsenal. Momen inilah yang menunjukkan chemistry antara Laca dan Auba.
Lacazette tahu betul kalau rekan kerjanya di lini depan sangat butuh gol untuk mengangkat mental. Pun Auba mengakuinya bahwa sepanjang latihan menjelang laga, ia sudah berlatih lebih keras, terutama untuk menghadapi momen krusial seperti penalti. Setelah wasit meniup peluit dan menghadiahi Arsenal sebuah penalti, Laca menghampiri Auba.
Ia tatap mata Auba dalam-dalam. Ia pegangi kedua pipi Auba. Ia mentransfer energi positif ke dalam mental Auba yang akan mengambil penalti. Auba menghadapi salah satu kiper terbaik di dunia, David De Gea. Melawan klub semenjana, Hugo Lloris, Auba malah gagal. Ini momen penentuan.
Gurat keraguan masih terlihat nyata di wajah Auba ketika mengambil ancang-ancang hendak mengambil penalti. Namun, di dalam kepalanya, ia yakin betul semuanya bakal berjalan lancar. Energi dari Laca tidak boleh disia-siakan.
Gemuruh Emirates masih tersisa di telinga ketika ia mulai melangkah. Ayunan kakinya justru mantab, mungkin Auba sendiri bakal heran. Kalimat dari energi positif Laca terdengar lagi: “Menendang penalti itu berat, Auba. Kamu bakal kuat. Kamu ambil penalti itu dan bikin gol.”
Sepatunya yang basah justru memberi gesekan yang pasti ke kulit bola. Ia menendang ke arah favoritnya, arah yang sebelumnya bisa ditebak Lloris, kiper sebuah tim punya Papa FA itu.
Segalanya luruh dalam hitungan detik. Kepercayaan diri itu mengalir deras. De Gea ditipu secara mutlak. Ia menebak ke arah yang salah. Gol tercipta dan Auba merayakannya secara gempita. Di ujung perayaan, Laca dan Auba melakukan selebrasi khas milik keduanya; bersalaman sambil membungkukkan badan tanda saling menghormati yang kali ini disusul saling berpelukan. Sebuah bromance murni yang bakal bikin kisah cinta Dilan dan Milea seperti kisah stensilan belaka.
Apakah mental Auba sudah pulih selepas gol itu? Gooners sedunia pasti berharap demikian. Bromance Aubameyang dan Lazacette bakal sangat menentukan dalam usaha Arsenal kembali ke Liga Champions. Bromance yang bakal menjadi pondasi kuat untuk musim depan.