Bayangan Arsenal yang Muncul Ketika Mengingat Kalimat Bijak ‘Kebodohan Tanpa Batas’

Bayangan Arsenal yang Muncul Ketika Mengingat Kalimat Bijak ‘Kebodohan Tanpa Batas’ MOJOK.CO

Bayangan Arsenal yang Muncul Ketika Mengingat Kalimat Bijak ‘Kebodohan Tanpa Batas’ MOJOK.CO

MOJOK.COTerkadang, ada juga insan yang lebih goblok ketimbang keledai paling dungu, yang membiarkan dirinya jatuh di lubang yang sama, yaitu Arsenal.

Ketika saya masih kecil, di dekat rumah ada, maaf, orang gila. Sebetulnya dia orang yang pandai. Lulus SMP dan SMA dengan nilai sangat bagus. Hobinya di bidang seni dan menulis. Namun, entah kenapa, tiba-tiba dia “kehilangan” kewarasan. Suka jalan-jalan menenteng kertas dan alat tulis keliling kampung.

Dia suka menulis di mana saja. Biasanya satu atau dua kata dituliskan di atas kertas, lalu jalan lagi. Kalau tidak puas dengan tulisannya, dia akan menggerutu lalu bergumam, “Bajingan!”

Dia tidak suka dengan kata “pegang”. Namun, dia selalu menuliskan kata itu di secarik kertas yang dia bawa. Setelah menulis kata itu, dia akan gusar, lalu marah, dan teriak, “BAJINGAN!” Pola itu terus terjadi. Orang kampung tidak ada yang tahu alasannya. Keluarga orang gila ini pun tertutup soal penyebab kegilaan itu. Sekali lagi, mohon maaf saya menggunakan kata “gila”.

Hingga suatu saat, ada orang tua di kampung yang bilang bahwa, “Kebodohan itu tanpa batas.” Kalimat yang diucapkan dengan bahasa Jawa itu ditujukan kepada kebodohan si anak gila ini yang mengulang-ulang kata “pegang” padahal tidak menyukainya. Bukan pemandangan yang menyenangkan. Namun, kini, ketika mengingat kejadian itu, yang terbayang adalah Arsenal.

Saat ini, menggunakan kata “Arsenal” adalah cara termudah untuk menjelaskan kebodohan manusia yang diulang-ulang. Orang lain bisa melihat dan menilai bahwa yang dilakukan Mikel Arteta adalah pilihan salah. Namun, apa daya, shit show itu terus saja diulang.

Semuanya dimulai dari pemilihan pemain. Kalau kata “kebodohan yang berulang” tidak cukup kasar, kamu bisa menggantinya dengan kegoblokan dan tidak akan ada yang protes. Keledai saja tidak jatuh di lubang yang sama. Arsenal sendiri memilih menjatuhkan diri ke kubangan yang sama berkali-kali seakan-akan, kebodohan mereka memang tanpa batas.

Fans Arsenal sudah sampai kepada satu titik di mana mereka tidak percaya lagi dengan omongan Arteta. Saya yakin akan hal itu. Bagaimana bisa dipercaya ketika Arteta memainkan Runnarson, kiper medioker di Liga Prancis, yang justru dikasihani karena dibeli Arsenal saking jeleknya. Banyak orang yang sudah memprediksi Runnarson akan dipermalukan dan jadi korban.

Bukan karena pertahanan Arsenal, yang seperti orang ngelindur alih-alih main bola, tetapi karena Runnarson memang sejelek itu. Media Prancis bahkan iba, sembari kaget, ngapain Arsenal beli kiper ini alih-alih mempertahankan Emi Martinez atau mempromosikan Matt Macey yang lebih meyakinkan.

Namun, Arteta memainkan kiper medioker itu. Namun, Arteta tak berani juga memainkan William Saliba, salah satu pemain muda terbaik musim lalu karena “alasan sepak bola” dan dirasa “tidak siap”. Runnarson, dengan kualitas medioker, tidak akan pernah siap dengan kompetisi level tertinggi. Saliba, yang sudah semakin bugar dan siap, malah tidak mendapatkan kesempatan.

Keledai dungu ini malah memainkan Mustafi. Bek yang sudah bilang ingin pergi. Bek yang lebih banyak tidur sampai ngompol di lapangan ketimbang main bola. Bek yang lebih dekat dengan blunder ketimbang mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebodohan itu terus saja diulang, eh, muncul kabar Saliba akan dipinjamkan di Januari 2021 nanti.

Matt Macey pernah beberapa kali tampil dua musim lalu. Posturnya tinggi, nyaman dengan bola, dan paham ekspektasi mengenakan jersi Arsenal. Saliba, terlihat lebih siap dan fokus ketimbang Mustafi. Dua pemain yang “mungkin” akan menjadi pembeda, tetapi tidak pernah mendapat kepercayaan.

Ujungnya adalah kekalahan karena kesalahan individu. Runnarson dengan dua blunder; gagal meninju umpang silang dan gagal menangkap bola lemah tendangan bebas lawan. Mustafi, blunder karena hanya melihat bola tapi tidak waspada dengan pergerakan lawan. Kesalahan di teknik-teknik dasar ini tidak boleh terjadi. Saya jadi berpikir, jangan-jangan Arsenal punya fetish membeli pemain amatir selama ini.

Melihat komposisi pemain ketika melawan Manchester City dan membayangkan kebodohan yang selama ini dipelihara, sangat mungkin terjadi Arteta menurunkan barisan medioker lagi di laga melawan Chelsea. Mulai dari Willian, Nketiah, Holding, dan lain sebagainya.

Pemain muda yang lebih mau memberi bukti seperti Saliba, Emile Smith Rowe, dan Folarin Balogun akan ditepikan. Arsenal akan kalah dan siklus kebodohan akan terus berlanjut sampai klub ini bubar dan berubah lini bisnis dengan buka distro lantaran kesukaannya merilis kaos dan jaket retro Adidas.

Orang gila dari masa saya kecil membenci kata “pegang”. Mungkin ini sebuah pertanda bahwa kelak ada pelatih Arsenal yang juga membenci kata tersebut. Seorang pelatih yang enggan “berpegangan” kepada pemain yang lebih mau berjuang ketimbang barisan medioker pemakan sampah.

Atau… jangan-jangan, kejadian di masa lalu juga pertanda bahwa si pelatih ini enggan “berpegangan” kepada sistem yang benar. Dia cenderung menggunakan sistem yang sama, yang terbukti berbau sampah, tetapi terus dipakai. Bukankah itu wujud dari kalimat bijak, “Kebodohan tanpa batas”?

Terkadang, ada juga insan yang lebih goblok ketimbang keledai paling dungu. Insan yang memutuskan jatuh di lubang yang sama ketika keledai jatuh di lubang yang berbeda.

BACA JUGA Arsenal dan Fetish Mikel Arteta untuk Menyakiti Diri Sendiri dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version