Arsenal: Ledakan Nol Koma Emile Smith Rowe

Dari kekacauan, perlahan terbentuk sebuah budaya. Dan Emile Smith Rowe ada di tengah-tengahnya.

Arsenal: Ledakan Nol Koma Emile Smith Rowe MOJOK.CO

Arsenal: Ledakan Nol Koma Emile Smith Rowe MOJOK.CO

MOJOK.COSeiring ledakan Emile Smith Rowe yang makin keras, kekuatan terpendam Arsenal baru akan terasa secara paripurna. Waktu yang akan mengawal.

Semua ini adalah proses. Dari kekacauan, perlahan terbentuk sebuah budaya. Dan Emile Smith Rowe ada di tengah-tengahnya.

Sebelum Mikel Arteta menjadi pelatih Arsenal, Emile Smith Rowe sudah dua kali menjalani masa peminjaman; ke RB leipzig dan Huddersfield. Dua masa peminjaman itu tidak bisa dibilang berhasil meski Emile Smith Rowe mendapat banyak menit bermain ketika memperkuat Huddersfield.

Salah satu alasan kegagalannya bersama RB Leipzig adalah cedera. Emile Smith Rowe datang ke Jerman dalam kondisi cedera. Saat itu, dia sudah diperingatkan Reiss Nelson (kala itu sedang dipinjam Hoffenheim) bahwa Bundesliga itu berat.

Semua pemain berlatih dan bermain dengan determinasi tinggi. Tidak ada yang mau mengalah. Tekel dilakukan dengan keras. Para pemain di Bundesliga seperti sudah meresapi bahwa pressing itu bagian dari gaya hidup. Sebuah liga yang terbukti sangat keras untuk anak muda dengan cedera di kakinya.

Emile Smith Rowe gagal di Jerman dan “pindah sekolah” ke Huddersfield. Bersama Huddersfield, Smith Rowe bermain 19 kali dengan catatan dua gol dan tiga asis. Tidak cukup impresif untuk pemain muda dengan potensi yang dianggap melebihi Bukayo Saka dan Gabriel Martinelli.

Setelah masa peminjaman itu, Emile Smith Rowe menghabiskan banyak waktu dengan bermain untuk Arsenal U-18 dan U-23. Di titik ini, sikap Emile Smith Rowe menyikapi keadaan terlihat sangat berbeda jika dibandingkan Balogun.

Emile Smith Rowe sadar bahwa kompetisi di tim utama Arsenal sangat ketat ditambah pelatih pasti punya preferensi sendiri. Dia menutup mulut, membuka hati, dan fokus dengan perkembangannya sebagai pemain maupun insan. Dia tidak merajuk, memohon, dan “mengancam”.

Pemain yang sempat mengenakan nomor punggung 32 itu mengalami perkembangan pesat justru ketika bermain di tim Arsenal U-18 dan U-23. Meski “hanya bermain” untuk tim akademi, dia memberi bukti bahwa lingkungan itu pun bisa menjadi lahan pendewasaan. Sangat kontras dengan Balogun dan agennya yang sempat “mengancam”: mainkan aku atau aku akan pergi.

Di titik ini, kita bisa melihat hasilnya. Dia yang menutup mulut dan fokus dengan perkembangannya dianggap lebih layak mendapat kesempatan dibandingkan dia yang cerewet di media sosial. Dia yang bekerja dalam senyap adalah aset luar biasa ketika “perusahaan” diterpa badai.

Ini semua adalah proses…..

Perkembangan seorang pemain bisa dilihat dari membandingkan catatan statistik. Sebelum melawan Watford, jalannya sebuah proses perkembangan dari Emile kontras terasa.

Statistik Emile.

Bisa pembaca lihat, angka-angka Emile Smith Rowe berkembang sangat positif. Pada musim 2020/2021, angka-angkanya diwarnai dengan “nol koma”. Kontribusi itu sudah ada, tapi sangat minim. Kontras dengan musim ini ketika dia menjadi semacam protagonista untuk Arsenal.

Kesimpulan apa yang bisa dipetik dari paparan statistik di atas?

Salah satunya adalah betapa pentingnya memiliki gelandang yang bisa mencetak gol bagi Arsenal. Mereka adalah penyedia alternatif dari lini kedua. Terutama bagi Arsenal di mana jumlah gol untuk paruh awal musim ini masih terbilang minim. Bahkan goal difference mereka baru menjadi imbang setelah mengalahkan Watford dengan skor 1-0.

Sentuhan Emile di dalam kotak penalti, termasuk jumlah tembakan, berkembang pesat. Dari yang “nol koma”, menjadi lebih berisi. Ketika skema 4-4-2 terus digunakan, Arsenal harus terus berdoa supaya Emile Smith Rowe (dan Bukayo Saka) tetap tajam. Setidaknya tetap produktif memproduksi peluang dan gol.

Skema 4-4-2 menuntut dua pemain di sisi lapangan untuk aktif di kotak penalti. Central penetration yang sedikit berkurang karena tidak ada #10 di sana membuat “dua sayap” menjadi penting. Fans Arsenal seharusnya sudah akrab dengan skema ini. Mengingat Piala Emas di era Arsene Wenger diraih dengan basisnya skema 4-4-2 dan ketajaman duo Pires-Ljungberg.

Ledakan Emile Smith Rowe masih terus terasa. Dia menjadi wujud konkret dari proses yang terus digaungkan oleh fans Arsenal. Tugas selanjutnya adalah membantu Emile dan pemain-pemain muda lainnya untuk terus konsisten.

Selangkah demi selangkah. Tidak perlu terburu-buru. Budaya yang tengah dibangun akan makin kuat seiring waktu. Seiring ledakan Emile yang makin keras, kekuatan terpendam Arsenal baru akan terasa secara paripurna. Waktu yang akan mengawal.

BACA JUGA Arsenal, Arteta yang Kejam, dan Kelahiran Kembali Emile Smith Rowe dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version