Bagi brother and sister yang mengaku penggemar sepakbola, tak ada berita lain yang begitu menyita perhatian di jagat lapangan hijau saat ini selain pemecatan Jose Mourinho dari kursi pelatih Chelsea. Ya, pada hari Kamis lalu The Special One telah resmi berganti julukan menjadi The Sacked One. Pemecatan ini bisa jadi telah ditunggu-tunggu oleh jutaan haters Mou semenjak berbulan-bulan yang lalu.
Alasan pemecatannya, tentu semua orang sudah tahu. Chelsea yang musim lalu menjadi juara setelah kokoh bercokol di puncak klasemen semenjak matchday pertama hingga musim 2014/2015 berakhir, kini tak ubahnya macam tim medioker yang baru promosi ke Liga Inggris. Bahkan AFC Bournemouth saja mampu meraup poin lebih baik daripada Chelsea.
Anda pernah mendengar klub AFC Bournemouth? Sudahlah, jangan sok tahu. Kalau bukan karena promosi ke Premier League, mungkin akhi serta ukhti tak akan pernah mengetahui apakah klub ini pernah eksis di bumi.
Jika dilihat sekilas, tampaknya tak ada penurunan kualitas yang berarti di skuat Chelsea musim ini dibandingkan musim lalu saat mereka merengkuh trofi BPL. Tentu, hengkangnya Petr Cech ke Arsenal amat disayangkan, tapi toh ada Asmir Begovic yang sudah teruji bersama Stoke City sebagai pelapis baru Thibaut Courtois. Ditambah lagi adanya Pedro Rodriguez, jebolan akademi La Masia yang musim lalu sukses meraih trigelar bersama Barcelona. Yah, walaupun cuma jadi pemain cadangan sih.
Ngomong-ngomong tentang Pedro, saya penasaran apa yang ada di benak pemain berusia 28 tahun tersebut saat ia mengatakan “he-eh” kepada Mourinho melalui sambungan telepon–kabarnya komunikasi itu berlangsung hanya dalam waktu 60 detik–hingga memutuskan untuk cabut dari Barcelona pada Agustus 2015 silam. Kalau saja Pedro tahu nasib The Blues bakal kayak gini, boro-boro satu menit, bahkan mungkin sedetik pun Pedro tak sudi menerima telepon dari Mourinho.
Dan Mou akan merasakan sesuatu yang telah bertahun-tahun saya–serta kalian para jomblo laknat–rasakan saat menelpon gebetan: Langsung di-reject tanpa pandang bulu.
Melihat kondisi yang ada sebelumnya, tampaknya memang tak ada alasan bagi Chelsea untuk bermain di bawah standar seperti yang mereka pertunjukkan musim ini. Namun, ya, begini ini sepakbola. Seperti pepatah Jawa yang mahsyur itu: Esuk dele sore yogurt. Pagi-pagi masih berupa kedelai, sore hari berubah jadi yogurt. Itu artinya: Tak ada yang pasti dalam industri ini.
Lalu, apa, sih, sebenarnya masalah yang membelit Chelsea? Bagi saya, hanya satu persoalannya: mental. Degradasi moral yang terjadi di Chelsea–semenjak kekalahan pertama mereka melawan Manchester City 0-3–tak mampu dibendung oleh Mou. Pasca momen tersebut, Dewi Fortuna seolah mengkhianati Mou, dan memilih berselingkuh dengan Arsene Wenger. Kurang ajar betul Mbak Dewi ini.
Suasana di ruang ganti pemain dan kondisi psikologis tiap staf yang tak kondusif juga tak dapat dibenahi The Special One. Hal tersebut ditambah dengan perseteruan Mou antara Mbak Eva Carneiro yang berujung kontraproduktif. Tak lupa, berderet kalimat pedas yang ia lontarkan pada pemain yang ia anggap menjadi biang kerok, juga terus memercikkan api konflik di belakang layar. Lihat saja bagaimana sikap kecewa Diego Costa dengan melempar rompi ke arah Mou karena merasa tak terima di-PHP-in.
Oh ya, jangan lewatkan juga bagaimana kelakuan Mou yang kerap mengajak bersilat lidah para pelatih lawan, bahkan jauh sebelum pertandingan.
Akan tetapi, bukankah memang begitu Jose Mourinho yang sebenarnya, yang selalu membuat urat saraf lawan tegang bahkan sebelum memasuki lapangan? Bukankah memang ia adalah seorang perfeksionis yang mati-matian mengerahkan seluruh skuat untuk mendukungnya? Betul, kan, wahai kalian para The Blues dan Mourinho lovers?
Alhasil, akibat dari penurunan mental itupun langsung terasa. Coba lihat Eden Hazard. Gelandang serang bertubuh mungil itu–untuk ukuran orang Eropa, tentu saja, bukan Kebumen–musim lalu mampu merengkuh gelar Player of The Year dengan torehan 14 gol dan 8 assists, namun di musim ini performa Hazard tak ubahnya Ashley Young, pemain amatiran dari klub yang dilatih filsuf medioker.
Begitu pula dengan Diego Costa. Musim lalu ia sukses menjaringkan 23 gol dalam 38 penampilannya di Premier League. Sementara di musim ini, eks bomber Atletico Madrid tersebut lebih mirip seorang Mario Balotelli, baik dalam kepiawaiannya memancing emosi lawan maupun karena kelangkaan gol yang ia cetak.
Tapi saya perlu peringatkan dahulu. Bagi Anda para fans klub selain Chelsea, tak perlu tertawa terlalu keras membaca tulisan ini. Apalagi kalian, para Manchunian! Kalau Mourinho yang sempat membawa Chelsea juara saja bisa dipecat, padahal itu lebih karena performa pemainnya yang tidak konsisten, lalu apa pula yang bisa kalian harapkan dari Louis van Gaal, pelatih yang membuat banyak orang tertidur seperti tengah dihipnotis Uya Kuya, lantaran taktiknya terlampau membosankan untuk ditonton? Apa yang diharapkan dari itu semua? Apa? Mikir!
Dan bagi para suporter fanatik Chelsea, Anda semua tak perlulah terlalu larut dalam kesedihan karena pemecatan Mourinho ini. Toh, masih ada Guus Hiddink dan Carlo Ancelotti yang diproyeksi untuk menggantikan Mou. Meski kedua pelatih yang saat ini masih nganggur itu juga pernah dipecat Abramovich ketika melatih Chelsea, mereka tetap merupakan pelatih yang memiliki reputasi sangat mentereng di Eropa. Selain itu juga ada nama Antonio Conte yang katanya juga kangen dengan atmosfer Liga Champions.
Atau… mungkin Chelsea tertarik dengan seorang Brendan Rodgers? Siapa tahu saja kehancuran yang dibuat Mou di Stamford Bridge bisa bertambah parah dengan kedatangan Rodgers. Siapa tahu, kan? Mari, didoakan saja biar jadi kenyataan.
Dan untuk Anda, Bung Jose, di manapun Anda membaca tulisan ini sekarang–Mojok sudah terkenal sampai ke Eropa kan, Om Puthut EA?–saya rasa Bung tak perlu khawatir bagaimana masa depan Bung nanti. Kalau tertarik, Bung bisa datang ke Indonesia. Tapi, tentu saja bukan sebagai pelatih sepakbola, lha wong liganya aja gak jelas rimbanya. Terus jadi apa, dong?
Bung bisa saja melampirkan CV ke Pak Ahok. Katanya, Jakarta butuh banyak sopir bus yang memiliki segudang pengalaman. Dengan berton-ton pengetahuan dan bacotan khas Bung, rasanya Ahok bakalan langsung menerima Bung sebagai sopir. Minimal, ya, sopir metromini.
Itu kalau Bung kebelet banget pengen langsung kerja. Tapi, rasanya, dengan pesangon ratusan milyar rupiah yang Bung dapat seusai dipecat, ada baiknya Bung berleha-leha sejenak, sambil, ehem, mengajak artis untuk menemani kencan. Yang jelas Bung jangan lupa untuk terus memantau keadaan klub lain. Barangkali di antara sekian klub itu ada yang ingin sekali Bung bawa ke peringkat atas, untuk kemudian dijatuhkan lagi ke bawah.
Sabar, ya, Bung Jose. Atau perlu saya puk-puk?