Aksi Bela Via Vallen dan Pesan Seorang Jakmania Kepada Abang Simic

MOJOK.COGue seorang jakmania dan Vianisty, dua-duanya garis keras. Ketika dugaan pelecehan terhadap Via Vallen kemarin rame di mana-mana dengan Marko Simic yang dituding sebagai pelakunya, perasaan gue campur aduk.

Sungguh pagi kemaren gue membuka media sosial di gawai dengan perasaan nggak keru-keruan. Pertama, karena jam sudah menunjukan pukul 09.30 dan gue belum posting kerjaan di Twitter. Kedua, karena nama Via Vallen merangsek naik di trending topic Indonesia. Sebagai Vianisty garis keras cabang Cinere, tentu gue penasaran apa yang terjadi dengan Via Vallen di jagat media sosial.

Alamak, ternyata oh tenyata junjungan Vianisty sedunia habis mengalami tragedi pelecehan seksual. Sebuah screenshot percakapan antara pelaku dan Mbak Via sebagai bukti lengkap telah bertebaran di mana-mana. Netizen tidak dapat dikendalikan, lini masa Twitter habis dibakar kemarahan yang ditujukan kepada idola lapangan hijau gue: Marko Simic.

Meskipun masih spekulasi karena Mbak Via masih merahasiakan identitas si pelaku, opini publik tetap bergulir bagaikan bola liar yang langsung di-shoot ke arah Simic sebagai pelakunya. Gue syok berat dan kepengin minum, tapi tiba-tiba emak ngingetin ini lagi bulan puasa.

Ini nggak lebay. Kalian pasti bisa bayangkan perasaan gue. Sedikit cerita, gue ini seorang Rojali (Rombongan Jak Liar) yang sedang mengidolakan Super Simic. Gue juga pengurus harian Vianisty cabang Cinere dan perlu digarisbawahi, gue fans garis keras Via Vallen. Tentu ini gejolak batin.

Akan tetapi, sebagai orang yang digembleng dari aksi ke aksi, gue dari dulu nggak pernah sepakat sama yang namanya pelecehan seksual. Apa pun bentuknya. Bahkan kalau sekarang ada yang mau komen gue ini SJW, gue terima.

Soalnya, bagi gue pelecehan seksual itu kayak narkoba. Nyobain sekali, besoknya ketagihan, akhirnya jadi kebiasaan. Awalnya berani siul-siul ke perempuan, besoknya berani godain dengan menyebut fisik si perempuan, besoknya lagi (iris kuping gue kalau lu nggak percaya) pasti dia udah berani sembarangan pegang, dan ujung-ujungnya bisa sampai kasus pemerkosaan.

Itu baru efek ke personal, belum lagi ngomongin daya rusaknya yang lebih luas. Secara sosial, misalnya, pelecahan seksual sering dibenarkan tindakannya. Korban diceletukin, “Alah, emang elu yang mancing-mancing biar digodain,” dan celetukan pembenaran lainnya. Ini kan banalitas kejahatan namanya.

Hannah Arendt mendefinisikan banalitas kejahatan sebagai anggapan wajar terhadap kejahatan dan tidak menganggap bahwa kejahatan itu sesuatu yang salah. Atau lebih parahnya, menganggap bahwa kejahatan itu tidak benar-benar terjadi atau tidak ada sama sekali.

Kalau udah begitu, si korban jadi nggak berani ngomong. Secara psikologis dia juga jadi tertekan. Sementara si pelaku makin punya legitimasi mengulang perbuatan serupa. Terus apa kita juga mau ikut-ikutan terjebak ke dalam banalitas kejahatan? Gue sih nggak. Dan Mbak Via Vallen sudah menunjukan bagaimana caranya melawan pelecehan seksual dengan benar.

Buka suara, jangan ragu untuk teriak kalau kita sedang jadi korban pelecehan seksual. Lalu publik merespons dengan geram, nggak memberi celah sedikit pun terhadap pembenaran-pembenaran tindakan pelecehan seksual. Dalam hal ini, Vianisty dan segenap masyarakat pecinta dangdut Indonesia patut dicontoh. Seharian penuh Mbak Via Vallen dilindungi atas keberaniannya dalam membuka suara. O ya, pesan ini bukan cuma ditujukan kepada cewek yang jadi korban pelecehan seksual, tapi juga cowok. Iya, cowok juga bisa jadi korban pelecehan seksual. Lu jangan ketawa.

Gue merespon langkah berani Mbak Via dengan ikut mendukung keberanian dia buka suara sambil bersimpati atas kejadian yang menimpa dia. Bahkan gue mencoba provokasi massa jagat Twitter buat menyerukan aksi bela Via Vallen. Gue juga bilang ke mereka kalau gue siap pimpin ribuan massa Vianisty untuk melakukan aksi bela Via.

Tapi, apa boleh dikata, tawaran baik gue nggak ada yang merespons. Mungkin gegara avatar Twitter gue terlalu mirip koordinator aksi bayaran, mereka jadi ragu.

Kita balik ke Abang Simic. Duh gimana ya, jauh di lubuk hati paling dalam, gue sedih banget, Bang, pas tahu kalau tuduhan pelaku jatuh ke elu. Tadinya gue udah buka lemari tuh, terus pengin gue bakar jersey home Persija nomor punggung 9. Akhirnya urung gue lakukan. Gue inget kalau cuma punya satu jersey, lah kalau dibakar besok main futsal gue pakai apa? Lagian itu kan jersey ori L

Mudah-mudahan sih elu baca tulisan gue yak, Bang. Di tulisan ini gue mau ngasih tahu ke elu, Bang, pesepakbola profesional itu harus baik di lapangan maupun di luar lapangan. Gue rasa elu bisa belajar dari sang junjungan Macan Kemayoran, Bambang Pamungkas. Dia pernah bilang begini, “Tidak ada hal yang lebih sulit dari menjaga keseimbangan antara popularitas, profesionalisme, dan kenyamanan hidup.”

Kalau udah populer, jangan tinggalkan profesionalisme; dan kenyamanan hidup yang baik adalah dengan berperilaku baik di luar lapangan. Untuk urusan moral, gue nggak berani komentar dah. Tapi, inget, Bang, pelecehan seksual itu nggak bisa ditolerir. Di belahan dunia manapun begitu,nggak cuma di Indonesia.

Terakhir, gue nggak benci Bang Simic sebagai pesepak bola. Gue benci dan mengutuk keras perbuatan Abang di luar lapangan. Saran gue, Abang muncul ke publik secepatnya deh. Kasih klarifikasi atau pengakuan. Kalau emang benar itu perbuatan Abang, minta maaf ke publik dan Mbak Via terutama. Untuk urusan hukum, abang harus gentle terima dengan lapang dada.

Semoga Abang bisa belajar atas kejadian ini. Kalau nanti Abang udah merumput lagi, gue janji bakal beli tiket ke korwil buat nonton Bang Simic di lapangan. Gue nggak bakal nyari jebolan lagi, Bang. Pegang ya janji gue.

Exit mobile version