Akhir-akhir ini saya mulai tertarik dengan kajian mengenai The Art of Slow Living, atau istilah kekiniannya: Urip Selo. Penganutnya biasanya populer dengan tagline “Selo, Lur”, “Biasa wae” dan sejenisnya.
Tulisan ini tak hendak mengklaim diri sebagai hasil penelitian yang aduh-luar-biasa-susah-prosesnya, ini hanyalah secuil opini saya berdasarkan pengalaman pribadi.
Saya tergerak menuliskannya sebab ada banyak sekali sudut pandang baru yang saya dapat ketika mempelajari Urip Selo, terutama di tengah zaman yang menuntut segalanya serba cepat dan mendorong kita untuk selalu terburu-buru. Zaman dengan kompetisi tinggi, katanya. Zaman yang mereproduksi segala sesuatunya secara karbitan, termasuk juga pengetahuan. Dengan ketakutan akan ketertinggalan.
Hal ini juga membuat saya meninjau ulang pengetahuan dan proses belajar yang saya alami sampai saat ini. Terutama setelah memasuki dunia kerja, bersentuhan dekat dengan uang, kekuasaan, dan “kebutuhan”.
***
Tujuh tahun terakhir, hampir sebagian besar waktu saya habiskan untuk bolak-balik belajar menjadi murid dan pekerja di desa bersama anak-anak, kelompok petani, perempuan sampai pemuda yang semuanya sibuk memutar otak mencari nafkah, menyambung hidup; mulai dari merawat kebun, hewan ternak, menjadi nelayan, berjualan apa saja yang bisa dijual asalkan halal dan tak merugikan orang lain, bahkan sampai mengadu nasib di perantuan, pergi ke kota besar atau bahkan menjadi TKI—apa saja yang penting bisa makan. Mereka yang menghidupi falsafah carpe diem tanpa gembar gembor sebab hidup memang memaksa mereka seperti itu jika ingin tetap waras.
Di desa-desa yang saya kunjungi, kondisi itu terbentuk setelah sumber produksi, tanah bagi petani dan laut bagi nelayan, tak lagi mudah diakses. Entah karena berpindah tangan ke pemerintah maupun korporasi. Privatisasi, katanya.
Upaya mereka dalam mempertahankan sumber produksi semakin tergoncang dengan hadirnya pendatang yang membawa sterotipe “ketertinggalan”. Pendatang yang umumnya didisiplinkan untuk mempertontonkan kesuksesan dan menyembunyikan kegagalan.
Di tengah hebatnya penetrasi itu, upaya bertahan dengan sumber produksi masih terus dipegang teguh, sampai akhirnya ada keluarga yang sakit dan gagal panen sementara biaya pengobatan dibuat melangit, jaminan kesehatan dari pemerintah dipersulit, hutang menjadi pilihan yang diambil.
Terlilit Bank Tithil adalah hal lumrah yang saya temui di sekitar saya. Fenomena ini ternyata tak hanya menimpa teman-teman saya di desa. Dalam bentuknya yang lebih urban, curahan hati beberapa kawan juga mengeluhkan betapa mumetnya mereka dengan segala tagihan kredit yang harus dibayarkan tiap bulan. Jerat yang membuat mereka terus menerus memutar otak untuk mencari uang dan terjebak dalam pekerjaan yang bahkan mereka benci.
Sekembalinya saya dari desa dan pulang ke kota, saya mulai kembali menekuni media sosial yang kini telah menjadi ruang hidup orang-orang urban. Betapa transparanya kehidupan mereka, saya dengan mudah menemukan permasalahan pribadi teman-teman dekat saya yang sudah bertahun-tahun tak bersua hanya karena yang bersangkutan curcol di Facebook dan serta merta muncul di beranda saya. Isinya sebagian besar tentang display kesuksesan karier, traveling, dan perkara relationship jaman now. Oh, tentu saja tak ketinggalan keluhan dan yang tak kalah populer petuah bijak.
Media sosial menjadi infotainmen, dengan orang-orang terdekat kita sebagai artisnya dan sekaligus reporternya. Wuih. Fenomena yang justru masif di kalangan quarter-life atau thirty something people, seperti pelampiasan dari sebuah ketegangan. Karena gengsi, barangkali? Saya lebih senang memahaminya sebagai glorifikasi kesuksesan. Apa salah? Tentu saja tidak. Sah-sah saja.
Di era yang katanya segala hal dikomodifikasi tentu saja jualan masalah pribadi adalah hal termudah, termurah, dan dengan singkat bisa mendulang popularitas, dan bagi korporasi penyedianya tentu saja uang yang melimpah. Apa pun kontennya, yang penting ‘klik’ dan viral.
Sadarkah kita tentang itu?
Di tengah kegagapan saya memahami curhatan urip jaman now, saya mencoba untuk menarik benang merah dari persoalan kengkawan sedulur saya yang tentu saja juga mengancam saya.
Memahami Paranoia Kaum Urban
Persoalan sedulur saya yang buru-buru kepincut kredit, karena takut masa tuanya nanti tak mampu mengejar harga rumah, dan tentu saja ditambah gengsi, membuat saya menyadari bahwa sedulur saya baik yang di desa maupun di kota adalah korban dari sistem yang dibuat korporasi yang terampil memainkan ilusi.
Dalam konteks ilusi melonjaknya harga rumah, yang sasaranya adalah keluarga muda, pihak korporasi terus mebombardir pesan untuk sesegera mungkin membeli properti jika tak ingin harga segera naik—meski produk yang dijual sebetulnya diproduksi secara masal.
Kenaikan harga properti hanya mungkin jika terjadi pembelian secara massal. Jika saja banyak pembeli yang tak tergesa-gesa, harga properti pasti tak akan melonjak atau malah bisa jadi turun. Namun, tentu saja hal ini disadari korporasi yang tak ingin rugi, ketakutan dan gengsi adalah bahan baku utama dalam ber-iklan untuk membakar semangat pembeli agar terburu buru membeli. Jadilah pembeli berlomba-lomba sebab takut harga naik.
Ketakutan mereka sendirilah yang sebetulnya menciptakan harga properti semakin melonjak tinggi.
Yang paling berbahaya, efek domino dari pembangunan massal ini justru kerap merusak lingkungan: mulai dari penyediaan material perumahan seperti semen sampai supai listrik yang selalu mencaplok tanah-tanah petani di pedesaan dan merusak laut. Padahal, jika kita mau meluangkan waktu, selo sedikit saja mencari alternatif lain, banyak sekali penemuan kreatif anak-anak muda yang berusaha merespons persoalan kekinian. Misalnya penemuan sekumpulan anak muda yang berhasil membuat pengganti material rumah dari limbah jamur, atau anak muda yang mengembangkan bio-energy yang jika diberikan waktu, selo sedikit, tentu saja akan menjadi material ramah lingkungan yang juga murah dan yang terpenting mengubah wajah pembangunan di negeri ini. Sebab sumber daya yang dibutuhkan sangat melimpah dan mudah diolah. Tak perlu mendatangkan alat alat berat dan tenaga ekspatriat yang satu bulan gajinya bisa untuk melunasi KPR-mu itu. Dan, yang terpenting, tak perlu ada warga pedesaan berdemonstrasi mempertahankan tanahnya yang kena gusur akibat dampak pembangunan!
Inilah yag terus-menerus dimainkan. Menakut-nakuti, membuat orang tergesa-gesa untuk membeli, dengan iklan yang sebetulnya mudah sekali untuk ditandai: ditayangkan berulang-ulang dengan ilusi perubahan harga yang melonjak cepat padahal produknya dibuat masal. Pembeli yang ketakutan pun tergesa-gesa membeli. Jika tak ada uang, ada bank yang siap menjerat dengan hutang.
Akhirnya, sebagian besar sedulur saya ini menggadaikan segala hal yang mereka miliki. Termasuk kekuatan besar “waktu luang” yang menjadi ruang penting untuk berinovasi. Waktu luang mereka dipakai untuk terus bekerja memutar roda korporasi dan, ehem, dieksploitasi karena mereka harus terus menerus membayar “hutang”.
Sedulur saya itu lupa bahwa masa mudanya yang digadaikan untuk bekerja itu juga tak akan pernah kembali. Dalam ketakutannya itu, sedulur saya terus menerus merasa dikejar-kejar kebutuhan sehingga menggadaikan kekuasaan pada dirinya dan terjebak dalam pencarian uang yang tak ada hentinya. Kok ngeri? Lha memang. Terus siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Jawab sendiri dengan legawa.
Ini baru satu contoh kecil akibat bertindak ora selo blas.
Kalau mau tau lebih banyak mulailah memeriksa efek domino lain dari tindakan kita yang tergesa-gesa dan biasanya kita ambil karena ditakut-takuti. Jika dulu Arman Dhani sering nyiyir tentang kelas menengah ngehek, saya lebih suka mengilustrasikannya dengan paranoid. Kita menjadi orang yang tergesa-gesa karena sering ditakut takuti dan enggan melakukan verifikasi.
Namun, melihat semakin rusaknya alam dan kemanusiaan kita, sudah saatnya tak lagi play victim dan mulai keluar dari ketakutan kita sendiri. Percayalah, hidup tak semenakutkan melihat Agus Mulyadi maskeran.
Selo adalah Koentji
Tentu saja saya berandai-andai jika saja sedulur saya itu tidak selalu tergesa-gesa dan mudah percaya. Tak dibuat mumet untuk menyegerakan terjun dalam jebakan pernikahan korporasi. Memberikan waktu pada diri sendiri untuk selo, betapa banyak inovasi yang bisa disumbangkan untuk alam dan kemanusiaan. Ciyeee ….
Ndasku tambah ngelu setelah mendengar cerita dari kelas menengah paranoid yang sudah uzur dan berbesar hati untuk jujur bahwa ia menyesali masa mudanya. Terlambat? Jelas, namanya juga penyesalan, kalo tepat waktu itulah kesadaran. Tentu saja setelah itu ia akan mencari beragam pembenaran untuk menenteramkan hatinya sendiri. Tapi, tapi, yang saya masih belum paham, kok dia malah mencari kawan dengan memaksa anak-anaknya untuk segera “hidup mapan”.
Saya beruntung menemukan cerita-cerita itu ketika masih muda, tapi saya juga sekaligus mawas diri jika terus menerus hidup dikelilingi orang-orang paranoid. Lalu saya mencari tahu hal sederhana apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi itu? Sampai akhirnya saya kembali mengamati kehidupan sedulur saya yang lain, orang-orang selo yang bersembunyi di pedesaan. Orang-orang yang menekuni the art of slow living yang sayangnya kerap dimaknai sebagai bermalas-malasan.
Menekuni kehidupan mereka dari dekat membuat saya belajar bahwa orang selo bukanlah orang orang malas. Catat itu. Mereka percaya pada proses yang tak singkat dalam menumbuhkan suatu pengetahuan. Sebab mereka terbiasa bekerja untuk merawat makhluk hidup. Mereka sesekali bersenang-senang dan sangat serius mengerjakan karya. Mereka mengambil secukupnya saja dari alam, tak tergesa-gesa sebab memang tak ada yang dikejar. Mereka hanya ingin menikmati hidup, merayakan hidup.
Namun sayang, orang-orang ini semakin tersisih karena ilusi “kecepatan pembangunan” dan sterotipe yang terus disebarkan secara masif yang disadari atau tidak justru dilakukan oleh saudara-saudaranya yang terhormat yang justru sering tak tahu diri, kaum urban (berpendidikan?) yang terjebak permainan ilusi korporasi.
Tak inginkah kita memutus rantai itu?
Jika iya, barangkali kita bisa memulai dengan pertanyaan kepada diri sendiri: untuk apa sebenarnya kita hidup terburu-buru?