Privilege Anak Orang Kaya yang Terkesan Hitam Putih

tanpa privilese sukses nongkrong

MOJOK.CO Kamu sukses, tapi kamu kan anak orang kaya. Ah, sudahlah, kamu pasti berhasil cuma karena punya privilege, tidak seperti kami!

Dikutip dari Cambridge Dictionary, kata privilege adalah ‘an advantage that only one person or group of people has, usually because of their position or because they are rich’ atau berarti ‘keuntungan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, biasanya karena posisi yang dimiliki atau karena kekayaan’. Belakangan, kata privilege inilah yang tengah menjadi gempuran isu keras-keras di lini masa Twitter.

Semua bermula dari cuitan seorang pengguna bernama @notannette berikut ini.

https://twitter.com/notannette/status/1094097991818915840

Pernyataan di atas langsung menyulut reaksi netizen. Apa maksudnya si Mbak di atas??? Apakah dia sedang menertawakan kita yang kerjanya harus mengeluarkan tenaga fisik sampai lelah, termasuk air mata dan berdarah-darah??? Apakah dia sedang menertawakan kita yang lari-lari dikejar deadline dan pesanan kerjaan dari banyak pihak gara-gara kita bekerja secara freelance???

Kalimat ‘Kalo kalian mikir cari duit itu susah, berarti makenya cara yang susah’ memang terbukti mampu ‘menyenggol’ netizen dan menyulut api-api argumentasi (HALAH). Banyak orang mengaitkan pada keadaan pekerja-pekerja kasar yang harus bangun pagi-pagi buta, seperti petani, buruh, hingga kuli bangunan. O, jangan lupakan juga orang tua single yang harus bekerja keras demi sesuap nasi untuk anaknya, serta perantau yang harus bekerja banting tulang demi bayar uang kos dan makan sehari-hari!

Saya sendiri pernah membuat film dokumenter tentang kuli panggul di pasar di kampung halaman saya, Cilacap. Sejak pukul 2 hingga 3 pagi, para kuli panggul sudah siap di lokasi, menjajakan tenaganya untuk mengangkut barang-barang dagangan ke sana dan kemari. Saya yakin, kalau ditanya, “Susahkah jadi kuli panggul?” kebanyakan orang bakal menjawab, “Tentu saja susah.”

Beberapa orang lain, dalam kolom reply cuitan tadi, mengaitkan pada kondisi privilege si penulis pertama yang ditengarai sebagai anak orang kaya. Keluarga-keluarga di kalangan menengah ke atas memang sering kali dianggap memiliki privilege tersendiri, mulai dari kesempatan jaringan pekerjaan yang lebih luas, biaya pendidikan yang terjamin (tanpa repot-repot harus bekerja sambilan), atau kemudahan akses informasi.

Meski si penulis tadi menyebut dirinya berhasil meraih sejumlah uang setiap bulan, keadaan keluarganya bisa saja jauh berbeda dengan orang lain yang berlatar belakang kekurangan. Inilah yang kemudian menjadi ‘senjata’ untuk menyerang si Mbak tadi. Toh, tak semua orang lahir dengan kemudahan-kemudahan akses dan finansial, bukan?

‘Nasihat’ banyak orang yang berapi-api soal privilege anak orang kaya ini pun menjadi lebih simbolik lewat komik yang beredar di lini masa. Pada komik ini, ilustrasi kehidupan anak orang kaya dan anak orang miskin secara gamblang dijelaskan.

Lengkap sudah—pokoknya, anak-anak orang kaya, atau minimal berkecukupan, jelas dapat privilege dan mereka tak berhak bicara apa pun soal kesuksesan yang sebenarnya!

Eh, tunggu dulu—memangnya, benarkah demikian? Tapi, bagaimana jika Aned sesungguhnya tak sedang men-judge apa pun dan siapa pun? Bagaimana kalau dia sebenarnya hanya sedang mengajak kita semua berpikiran positif dan mencintai pekerjaan kita masing-masing? Hmm?

Saya pernah membuka Instagram Story dan menemukan seseorang menulis: “Untung saya bukan dari keluarga kaya yang manja. Untung saya terbiasa menabung dan tidak selalu merepotkan orang tua. Syukurlah, saya telah berusaha keras sendiri dari nol, tidak seperti anak-anak dari keluarga berada yang selalu dibantu orang tuanya yang berduit.” Keterangan ini lengkap diikuti cerita kesuksesannya yang—harus saya akui—memang mengesankan.

Tapi—wow wow wow! ‘Keluarga kaya yang manja’? ‘Tidak selalu merepotkan orang tua’? ‘Berusaha keras sendiri dari nol’?

Menjadi keluarga yang berkekurangan, saya kira, tidak lantas membuat kita benar-benar ‘mulai dari nol’. Prinsip ini, lagi-lagi bagi saya, sama kuatnya dengan keyakinan bahwa tak seluruhnya anak-anak orang kaya bersikap manja dan bergantung pada orang tua, atau serta-merta mendapatkan privilege tertentu.

Maksud saya, gini loh: memang harus banget, ya, kita ngecap privilege anak orang kaya sebagai satu-satunya ‘alasan’ kesuksesan mereka (“Oh, pantesan jabatannya tinggi, pasti karena bapaknya”)??? Atau, harus bangetkah kita menganggap anak-anak yang mendapat privilege ini sebagai anak manja yang tidak tahu makna perjuangan???

Yang tidak semua orang pahami sebenarnya adalah: people change. Kalaupun ada orang yang awalnya manja, sangat mungkin ia berubah menjadi pejuang di kemudian hari. Atau, setidaknya, setiap orang juga pasti ingin berusaha dengan caranya sendiri. Titik.

Lagi pula, lahir dari keluarga yang berada dan mendapatkan privilege bukanlah suatu hal memalukan. Dipenuhi keinginannya oleh orang tua juga bukan hal yang membuat kita berlumur dosa. Kesuksesan bukan semata dari materi yang kita dapat, tapi juga doa yang dipanjatkan orang tua siang dan malam.

Oh, dan omong-omong, yang ‘hidup dari topangan orang tua’ pun bukan cuma orang-orang kaya—toh, kita semua juga demikian.

Bukankah itu juga telah menjadi privilege kita masing-masing?

Exit mobile version