MOJOK.CO – Perjalanan berangkat ibarat PDKT di awal pacaran, sedangkan perjalanan pulang terasa lebih cepat—persis seperti momen balikan dengan mantan.
Dalam banyak perjalanan bersama teman-teman, saya yakin banyak di antara kita yang pernah berucap—atau setidaknya mendengar orang lain berkata—penuh keterkejutan, menyadari kita tahu-tahu sudah sampai kembali ke titik awal keberangkatan. Seruan semacam, “Loh, udah sampai rumah!” atau “Kok pulangnya cepet banget, ya, rasanya?” adalah ekspresi yang sebenarnya basi karena madingnya sudah terbit telah dijelaskan dalam sebuah istilah ilmiah bernama Return Trip Effect .
Apa??? Kamu baru pernah mendengar istilah Return Trip Effect sekarang??? Makanya nggak usah mikirin mantanmu terus, mylooooovvv~
Pernah dengar ungkapan “Time flies so fast”? Dalam perihal perjalanan pulang, ungkapan ini ternyata benar-benar terjadi. Dalam sebuah perjalanan panjang, durasi keberangkatan umumnya terasa lebih lama dibandingkan durasi perjalanan pulang. Bukan cuma waktu kita (hah, kita???) mudik naik bus atau mobil saja, efek ini juga dirasakan oleh Alan Bean, seorang pilot modul lunar di Apollo 12 yang melakukan perjalanan luar angkasa tahun 1969. Selepas pulang ke Bumi, ia berkata, “Perjalanan pulang dari bulan tampaknya berlangsung lebih cepat.”
Pertanyaannya: kenapa, sih, perjalanan pulang terasa lebih cepat??? Kenapa nggak dua-duanya—baik perjalanan pulang maupun perjalanan berangkat—terasa sama-sama cepat biar waktu terasa lebih efektif dan efisien??? Kenapa, sih, dia harus selingkuh dan mengkhianati kita padahal kita udah sayang banget sama dia??? Kenapa???
Penyebab fenomena ini telah menjadi topik penelitian ilmiah sejak bertahun-tahun lalu. Beberapa teori pun bermunculan, menj-jlentreh-kan alasan-alasan yang mungkin menjadi penyebab Return Trip Effect. Dua teori pertama yang muncul berkaitan dengan perasaan familiar dan ekspektasi seperti yang pernah disebutkan oleh Niels van de Ven, seorang psikologi sosial dari Tilburg University, Belanda.
Mula-mula, Niels menjelaskan bahwa teori familiaritas memungkinkan perjalanan berangkat terasa lebih lama karena seseorang masih asing dengan keadaan jalan yang dilalui. Keadaan ini tentu berbeda dengan perjalanan pulang, terlebih bagi mereka yang melewati rute yang sama.
Untuk membuktikan hipotesis ini, Niels melakukan uji coba pada dua kelompok yang bepergian ke dan dari sebuah tempat secara singkat. Satu kelompok melewati jalan berangkat dan pulang dengan rute yang sama, sedangkan yang lain tidak. Jika teori familiaritas Niels terbukti, semestinya kelompok yang pulang melewati rute berbeda tak akan merasakan Return Trip Effect. Nyatanya, Saudara-saudara, kedua kelompok sama-sama merasakan Return Trip Effect, bahkan yang benar-benar terukur dengan angka. Secara general, durasi rata-rata perjalanan pulang kedua kelompok adalah 37 menit, sedangkan perjalanan berangkat memakan waktu hingga 44 menit.
Dari hasil uji coba di atas, teori familiaritas ini pun rontok dengan sendirinya, persis seperti harapanmu untuk menjadi kekasihnya Jimin BTS. Mamam, noh!!!11!!1!!1!!!
Lagi pula, teori familiaritas pada kasus perjalanan pulang terasa lebih cepat ini terpatahkan pula dalam perjalanan bolak-balik naik pesawat dan kapal. Ya mau gimana lagi—sepanjang perjalanan berangkat dan pulang, penumpang di pesawat dan kapal cuma bisa lihat hamparan awan dan air laut yang membentang. Terus, familiar dari mananya, coba? Nggak mungkin juga, kan, ada penumpang yang bilang, “Wah, itu kan percikan air yang tadi keluar dari gelombang ombak pertama kali waktu kita melewati jarak 500 meter dari pelabuhan,” atau “Wah, itu kan awan yang tadi menggumpal berbentuk hati itu, loh!”???
Nah, karena teori familiaritas tidak terbukti, Niels melakukan studi lebih lanjut. Akhirnya, ia menemukan istilah bernama pelanggaran harapan (“a violation of expectation”).
Bagi Niels, Return Trip Effect muncul dengan urutan begini: 1) sebelum berangkat, kita cenderung bakalan sok tahu memperkirakan durasi perjalanan; 2) kita merasa perjalanan berangkat berlangsung lebih lama daripada ekspektasi waktu yang kita perkirakan sebelumnya; 3) akibatnya, dalam perjalanan pulang, kita membuat ekspektasi waktu lebih lama daripada perjalanan berangkat; 4) ternyata, perjalanan pulang terasa lebih cepat dan memang terjadi dalam durasi yang lebih singkat.
Mengerti, kan, kenapa Niels memberi nama teori ini pelanggaran harapan? Ya karena kita-kita ini (hah, kita???) terjebak pada ekspektasi-ekspektasi kita sendiri alias harapan palsu :(((
Eh tapi, kok bisa gitu, ya??? Kenapa kita harus merasa perjalanan berangkat lebih lama daripada ekspektasi??? Terus, kenapa pula kita malah sok-sokan memperkirakan perjalanan pulang bakal memakan waktu yang bahkan lebih lama lagi??? Yang lebih penting lagi, kenapa penjelasannya harus se-mumeti ini, sih???
Poin nomor dua hingga empat dalam kronologi terciptanya Return Trip Effect nyatanya muncul sebagai akibat dari beberapa faktor. Sangat mungkin ia terjadi karena kita (hah, kita???) meng-overestimate perjalanan berangkat. Bisa saja, waktu kita berangkat berlibur, kita masih dalam keadaan umub melepaskan diri dari sisa-sisa tanggungan deadline kampus dan pekerjaan sehingga waktu berangkat terasa lebih lama. Sebaliknya, perasaan yang lebih baik juga bisa mendorong kita mengalami ilusi perjalanan pulang terasa lebih cepat.
Yah, dari fenomena Return Trip Effect ini, setidaknya para budak cinta alias bucin kayak kita (hah, kita???) bisa memetik sebuah pelajaran yang tak kalah penting: berekspektasi itu tidak perlu, mylov, sungguh-sungguh tidak perlu dilakukan!
Perjalanan berangkat mungkin ibarat PDKT di awal pacaran karena terasa lama dan mendebarkan. Sementara itu, perjalanan pulang yang lebih cepat bisa kita analogikan pada momen balikan dengan mantan karena Return Trip Effect sendiri mengingatkan kita pada teori balikan, yaitu Return to You Effect (“Uoppppo iki???“).
Meski terasa manis dan nggak perlu makan waktu kelamaan karena sudah saling kenal luar-dalam, sesungguhnya kita baru saja melanggar ekspektasi-ekspektasi dari diri kita sendiri.
Maksud saya, memangnya situ mau mengulang sakit hati yang sama? Eww.