Mata membelalak, kamera menyorot wajah si aktor/aktris melalui close up ekstrem, ilustrasi musik jreng-jreng, lantas diulang minimal tiga kali. Mirip iklan ekstrak buah manggis beranggaran cekak di televisi. Untuk menambah efek dramatis, sering pula disisipi monolog batin si tokoh baik yang kaget atau antagonis yang culas, “APA?!” atau “Tunggu saja. Aku akan merebut hartamu, Marfuah!”
Adegan emosional melibatkan mata ini terus-menerus didaur ulang banyak sineas sinetron. Mirip template kartu ucapan selamat Lebaran dan Natal. Begitu-begitu melulu, antara ndomblong, mendelik, atau diwarnai dleweran air mata, dengan variasi ala kadarnya.
Kendati super wagu, konsistensi kemunculan adegan slow motion mata sukses menjadi ciri khas tayangan drama televisi Indonesia. Kalau belum muncul pelototan maut, tayangan sinetron terasa kurang afdal. “Nah, habis berantem sama Mbak Hana gini, Mbak Karin mesti bakal melotot,” cetus Arie Budiwati, kawan saya yang fanatik nonton sinetron kala kami tak sengaja nonton bareng Catatan Hati Seorang Istri.
Soal mengemas adegan melibatkan tatapan mata, supaya tak selalu dibicarakan dengan nada ngece, pegiat sinetron sepatutnya belajar dari sang maestro: aktor Alex Komang yang baru saja berpulang setelah berjuang melawan kanker hati.
Alex, saya hakulyakin, bakal selalu dikenang berkat sorot matanya. Tatapan mata itu sangat berwarna. Seringkali sayu, bisa meneduhkan, kadang tajam, sesekali berapi-api. Sorot mata ini selama hampir tiga dekade mewarnai sinema kita.
Ketika namanya melejit di panggung sinema Indonesia pada tahun 1984, berkat peran sebagai Gunadi dalam film Doea Tanda Mata, tatapan mata itu sangat dominan. Misalnya saat Gunadi bingung bersikap di hadapan Ining yang jelas menaruh hati pada pemuda aktivis pergerakan antikolonial Belanda itu. Demikian juga kecemasan bisa dirasakan penonton dari mata Gunadi selama mempersiapkan rencana penembakan sang komisaris polisi yang jadi antagonis. Barangkali bukan kebetulan, film arahan Teguh Karya ini memakai tajuk ‘mata’.
Mata Alex Komang selalu bisa berbicara. Tatapan itu menggenapi parasnya yang secara alami sudah sangat ‘nyeni’: rambut ikal gondrong sebahu, kemeja yang dibiarkan lusuh, dan kacamata bulat. Abege kekinian berpotensi menudingnya hispter yang gemar baca artikel-artikel mojok. Mata Alex membedakannya dari aktor watak seangkatan, misalnya (Alm.) Zainal Abidin Domba atau Tio Pakusadewo. Alex membangun impresi terutama berkat permainan sorot mata. Dari mata turun ke hati, memikat penonton.
Aset mata itu agaknya dia sadari dan selalu dieksploitasi dalam beberapa peran lainnya. Yang lebih kekinian misalnya perannya sebagai sosok ayah Lintang di Laskar Pelangi (2008). Tanpa banyak dialog, Alex menampilkan sorot mata lelah, mengajak kita menyelami batin orang-orang kalah di Belitong yang tidak lagi percaya pada pendidikan. Penonton boleh tidak setuju, tapi pasti memahami alasan Lintang memilih putus sekolah demi membantu sang bapak.
Mata Alex yang berkarakter itu lagi-lagi berperan besar mewarnai mood film Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014). Penonton mudah bersimpati pada Yan, si tokoh petinggi Kemenhub yang galau melihat anaknya gemar main proyek hingga reputasinya sebagai pejabat lurus tercoreng. Dampak merusak dari budaya korupsi, bisa kita selami hanya dari tatapan wajah gelisah Yan ketika duduk sendirian di meja makan.
Saya kurang tahu apakah menekankan ekspresi wajah dari sorot mata itu sudah dia sadari sebelum diajak bermain di Doea Tanda Mata atau jauh sebelumnya.
Lepas dari spekulasi tadi, gara-gara kuatnya mata itu menggambarkan karakter-karakter yang jiwanya gelisah, Alex jadi jarang memerankan sosok periang. Pengecualian peran bernuansa galau mungkin bisa ditengok di Medley (2007) dan Chika (2008).
Oh, iya, sorot mata itu bukanlah anugerah apalagi upaya asal mendelik. Sebaliknya Alex memperolehnya hasil berlatih ekspresi bertahun-tahun dari Teater Telur yang bermarkas di Bulungan, Jakarta, awal 1980-an.
Dari kisah Mas Akhmad Sahal, yang terhitung masih sepupu Alex, kita jadi tahu bahwa aktor bernama asli Saifin Nuha ini melanglang di ibu kota karena ingin lari dari kota kelahirannya Jepara. Kabarnya dia ada kisruh dengan guru di Aliyah gara-gara mengincar gadis yang sama. Seni peran tanpa sengaja jadi jalan hidup putra kyai tokoh Nahdlatul Ulama ini, sampai kemudian Alex bertemu Teguh Karya di Taman Ismail Marzuki, lalu diajak bergabung ke Teater Populer.
Di luar ajakan main film, Alex terus mengasah olah rasa dan tubuhnya dari satu panggung teater ke panggung lainnya. Ini menjelaskan kenapa Alex selalu diajak sutradara yang ingin menggarap film betulan. Sinema yang butuh aktor kredibel, bukan cuma wajah tampan demi menarik minat penonton. Ini pula alasan media massa dan jejaring sosial ramai menangisi kepergiannya.
Dalam 53 tahun hidupnya, Nuha alias Alex serius menekuni seni peran. Bahkan sebelum terpaksa masuk rumah sakit, almarhum yang menjabat sebagai Ketua Badan Perfilman Indonesia periode 2014-2017 masih sempat banting tulang menggelar Festival Film Indonesia.
Ada baiknya, sineas muda mewujudkan mimpi almarhum yang belum terwujud, yaitu membikin film tentang pesantren. Dunia sehari-harinya di Jepara yang dulu ditinggalkan begitu saja karena gejolak masa muda.
Sementara penonton muda yang kurang mengenal Alex Komang dan matanya yang aduhai, bisa bersiap mengapresiasi karya terakhirnya Jejak Dedari dan Tjokro. Kedua film tersebut kemungkinan beredar tahun ini. Dua film yang merupakan perpisahan paripurna seorang seniman peran sejati seperti Alex, yang jarang dibicarakan media di luar urusan akting. Ia bukan “bintang film” yang kerap diberitakan karena kabar baku pukul, terlibat penipuan, atau sengaja mengundang pewarta gosip ketika ingin bercerai untuk mendongkrak pamor.
Alex Komang, nama panggung yang sempat kau bilang berasal dari frasa ‘alaika qomar agar keluargamu yang religius tak ngamuk. ‘Alaika Qomar, “di atasmu ada rembulan” kini jadi kenyataan. Penonton memperoleh akting segala rasa, cukup dengan menyaksikan pantulan cahaya rembulan dari sorot matamu.
Selamat jalan, Bung Alex Komang. Selamat berpejam mata, selamanya.