MOJOK.CO – Bukan cuma perekonomian, mahasiswa juga merasa motivasi buat wisuda makin surut. Belum lagi kalau udah wisuda bakal disebut sarjana corona. Bangsat betul.
Semenjak adanya PSBB dan karyawan ramai-ramai WFH, mahasiswa yang belum mencapai semester akhir dialihkan pada kegiatan kuliah online. Meski agak abstrak dan butuh penyesuaian, para mahasiswa ini akhirnya terbiasa juga dengan skenario kuliah online. Hitung-hitung sebagai sarana untuk rebahan di kosan lebih lama dan bisa nonton film sewaktu-waktu.
Sayangnya penderitaan lebih hakiki dirasakan oleh mahasiswa tingkat akhir yang juga bergelut dengan motivasi wisuda dan pertanyaan ‘kapan wisuda’ nggak ada habisnya. Mengerjakan skripsi atau tesis adalah suatu hal yang wajib dilakukan. Ketemuan dan konsul sama dosen juga bakal melancarkan.
Serangan pandemi bikin akses kampus ditutup, mula-mula jadwal menemui dosen menjadi kacau. Bagi saya, ketemuan sama dosen itu quality time yang mahal-mahal kita bayar dengan UKT. Jika pada akhirnya hanya diskusi via surel dan WhatsApp, sungguh terasa aneh. Diskusi tatap muka bakal menghasilkan kesimpulan-kesimpulan mindblowing dan jalan keluar yang tadinya nggak kepikiran oleh saya dan dosen. Saya percaya selalu ada jalan tengah dari kerumitan teori semrawut di pikiran mahasiswa dan idealisme dosen.
Bekat merindukan diskusi ideal melalui konsultasi dosen, beberapa mahasiswa jadi malas dan berpikir kalau mendingan nggak usah konsul sekalian. Kayak saya yang entah kenapa malesnya minta ampun ngerjain tesis. Nggak masa pandemi aja males, apalagi di tengah gempuran zaman yang serba sulit begini?
Kampus yang ditutup telah merenggut tempat pewe saya ngerjain: perpustakaan. Sungguh saya pilih berjam-jam duduk di perpus, walau nggak butuh cari buku banyak, tapi saya ngerjain. Nuansanya beda banget sama di kosan yang banyak setan-setan penggodanya itu.
Sedikit-sedikit setan berbisik, “Udah, mendingan nonton South Park aja”, “Ya ampun, segera pesan gofut lah, lalu makan sambil nonton YouTube.” Gitu aja terus siklusnya setiap hari sampai suatu saat ada teman saya yang datang ke kosan, menemukan saya tergeletak. Ketiduran.
Sementara kalau ngerjain di perpus, sesekali saya bakal ketemu teman sesama mahasiswa akhir dan bakal saling tanya.
“Eh, udah bab berapa?”
Lalu diakhiri dengan gibahin teman lain.
Kalau teman saya itu udah ngerjain lebih banyak dari saya. Jelas saya makin ciut. Sedikit kecil hati, banyak mindernya. Tapi keciutan itu perlahan bertransformasi jadi pendorong, motivasi buat wisuda tergugah lagi. Saya pun jadi sibuk cari teori-teori pendukung dengan brutal, mempertajam pisau analisis penelitian sampai kayak Katana, lalu menghubungi dosen dengan mantap, minta ujian.
Kondisi semacam itu nggak bisa lagi saya temui setelah pandemi. Duh, kangen.
Sebenarnya ada ratusan saya lainnya yang juga kehilangan gairah buat segera menyelesaikan tugas akhir. Tapi di sisi lain juga khawatir kalau disuruh bayar UKT lagi. Hadeeeh, udah pemalas, bokek pula.
Begini ya, saya bukan lagi menulis pembelaan biar UKT semester depan dibebaskan. Tapi kalau pun ngaruh ya syukur deh. Saya sebenarnya pengin merepresentasikan betapa susahnya menjaga mood di tengah pandemi. Belum soal menjaga mood buat ngerjain tesis atau skripsi. Lha wong motivasi buat wisuda aja makin surut, gimana ngumpulin mood?
Namun tolong dicamkan kalau ini semua bukan hanya soal mood. Tutupnya akses perpustakaan dengan jurnal penelitian segudang, buku referensi yang nggak bisa dipinjam, konsultasi intens dengan dosen, hingga suasana kampus yang nggak ditemukan di kosan jelas jadi faktor utama yang lagi-lagi menghisap motivasi mahasiswa buat wisuda. Belum lagi kalau sudah lulus dikata-katain sarjana corona lah, angkatan virus lah, dan hinaan bangsat lain.
Tolong lah, Coy, menggali data primer aja sulit minta ampun. Nggak bisa terjun lapangan ini. Harusnya sarjana corona justru yang paling istimewa karena tingkat kesulitan ngerjain tugas akhirnya nggak main-main.
Kehilangan motivasi hidup bikin seseorang ingin mati, kehilangan motivasi wisuda bikin mahasiswa nggak pengin ngerjain skripsi lagi.
Kekacauan ini bikin saya berharap Mendikbud bakal kasih standarisasi baru ngerjain tesis dan skripsi. Atau apalah, intinya biar kami ini nggak ngendon sebab nggak ngerti harus ngapain lagi. Dan tolong, pihak kampus kasih diskon UKT atau bebaskan hingga beberapa bulan ke depan aja buat mahasiswa tingkat akhir yang sedang dalam pencarian jati diri.
BACA JUGA Mengkritik Orang yang Melanjutkan Kuliah Lagi Cuma Buat Ngisi Waktu Luang atau artikel lainnya di POJOKAN.