Di Sebuah Kafe yang Belum Premium Akun Spotify-nya

kafe

Sejak bekerja di Mojok dan mulai tinggal di Jogja beberapa tahun yang silam, saya mulai terbawa suasana dan ikut-ikutan kebiasaan banyak mahasiswa jogja: ngafe.

Konon katanya, di Jogja, kafe menjadi salah satu tempat di mana banyak anak-anak muda menemukan jodohnya. Itu pula yang dulu memaksa saya untuk membiasakan diri agar sering-sering nongkrong di kafe. Biar dapat jodoh. Atau setidaknya bisa dapat kenalan mbak-mbak.

Ealah, ternyata mleset. Saya malah blas nggak pernah dapat gebetan dari kafe. Yah, mungkin memang jodoh saya bukan dari situ.

Saya ingat betul dulu pertama kali saya ngafe. Diajak oleh sastrawan kondang bernama Puthut EA. Saya pesan air panas, dan kopinya saya bawa sendiri.

“Heh, ojo nggawe aku isin, Gus…” kata Puthut EA.

“Ben ngirit, Mas…”

Awal-awal saya mulai sering nongkrong di kafe, saya biasanya mengajak kawan. Maklum, saya masih merasa kikuk kalau harus nongkrong sendirian. Seiring berjalannya waktu, saya mulai berani nongkrong sendiri.

Saya bukan tipikal orang yang hobi menjelajahi kafe-kafe di penjuru Jogja. Kalau saya sudah nemu satu atau dua yang bagi saya cukup nyaman dan dekat, maka itu yang akan selalu saya jadikan jujugan.

Nah, sudah setahun terakhir ini, saya sering sekali menghabiskan waktu malam saya di sebuah kafe yang lokasinya tak jauh dari kosan saya. Di Sekitaran jalan Kaliurang atas.

Kafe ini menjadi satu dari tiga kafe yang sering saya sambangi. Saya tidak akan menyebut nama, takut dikira promosi.

Orang-orang tentu punya alasan khusus kenapa ia suka nongkrong di sebuah kafe tertentu. Khusus untuk saya, alasannya tak muluk-muluk: yang penting tempatnya dekat, nyaman, dan tidak terlalu riuh.

nah, kafe kebanggaan saya ini memenuhi sayarat tersebut.

Selain tempatnya nyaman, tidak riuh, juga kopinya enak –atau setidaknya, cocok dengan lidah saya yang nggak expert-expert amat soal kopi, dan playlist lagu yang diputar selalu easy listening –walau akun spotifynya belum premium, padahal speakernya Harman Kardon.

Saking seringnya, saya sampai punya semacam loyalty card sendiri. Tiap kali pesan minum, saya dapat satu stempel, nanti setiap saat saya bisa mengumpulkan lima stempel, saya berhak mendapatkan satu kopi gratis.

Saya punya spot favorit: di pojokan. Dekat sebuah pot tanaman palem komodoria. Tanaman yang selalu mengingatkan saya dengan leluhur keluarga sebab makam kakek dan buyut-buyut saya selalu ditanami tanaman ini.

Saya hampir selalu menjadi pengunjung yang pulang terakhir. Di detik-detik kritis sesaat sebelum jam tutup kafe.

Tiap kali menjadi pengunjung yang pulang terakhir, saya selalu gelisah atas apa yang dipikirkan oleh si penjaga kafe. Apakah saya dianggap sebagai pelanggan yang setia dan menyenangkan, atau justru dianggap sebagai pelanggan yang menyebalkan karena sering pulang terakhir sehingga mungkin membuat mereka tidak bisa menutup kafe lebih awal.

Ah, entahlah.

Di pojokan yang lain, dekat dengan pintu, sebuah mural tulisan selalu siap menyambut dan melepas saya.

“If you bring me coffee without having to ask, then i love you.”

Saya selalu pulang dengan pikiran yang sama: Cinta tak pernah semudah itu, sayangku.

Jika Anda tahu kafe yang saya maksud, syukurlah. Kalau kebetulan Anda datang ke kafe ini dan mendapati saya sedang duduk di pojokan, jangan ragu untuk menyapa dan duduk semeja dengan saya.

Nanti kita ngobrol banyak sembari mendengarkan lantunan lagu dari akun spotify yang belum juga premium itu.

Exit mobile version