MOJOK.CO – Konon, orang yang hidupnya melarat punya semacam kemampuan untuk mudah tidur di mana dan di atas apa saja.
Bertahun-tahun yang lewat, saya merasa sebagai manusia yang angleran, mudah tidur di mana saja, dalam kondisi apa saja. Saya bisa tidur di poskamling, di kursi warnet, di teras musala, bahkan di atas boog jalan sekalipun tanpa harus mengalami boyok kecethit atau sebangsanya. Bagi saya, perkara tidur adalah perkara sepele, sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan bahkan tanpa effort sama sekali. Saya hampir tak pernah mempermasalahkan tetek bengek dan instrumen terkait tidur seperti ranjang, bantal, sampai suhu.
Saya pikir, skill mudah tidur ini merupakan skill dasar yang hampir pasti dipunyai oleh orang-orang yang hidupnya melarat. Dan saya salah satunya.
Seiring berjalannya waktu, skill mudah tidur yang saya miliki ini perlahan mulai berkurang. Dugaan saya karena hidup saya sekarang sudah mulai nggak melarat-melarat amat. Saya sudah punya penghasilan tetap yang lumayan, penghasilan yang, kalau saya mau kejam dan irit dalam penggunaannya, niscaya saya bisa umrah setahun sekali.
“Lazim itu, Gus. Banyak yang begitu. Aku dulu pas di pesantren juga begitu, bisa tidur di lantai tikar. Sekarang tidur di kasur yang kurang empuk sedikit saja rasanya nggak enak,” kata kawan saya.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat curhat kepada istri saya tentang punggung saya yang agak sakit setelah tidur seharian di ranjang.
Rasa sakit pada punggung itulah yang menyadarkan saya tentang makin berkurangnya kemampuan tidur saya. Ranjang yang saya tiduri itu bukanlah ranjang yang mahal, tapi juga nggak murah. Saya beli saat ada diskon di salah satu mebel tak jauh dari kos-kosan saya dulu.
Ranjang itu merupakan ranjang yang selalu saya cemburui ketika saya dulu masih tidur di atas kasur kapuk yang, karena saking buruknya, klentheng alias biji kapasnya masih sering nongol dan terasa.
Sebelum akhirnya saya membeli ranjang itu, saya sudah sering membatin bahwa tidur saya pastilah akan semakin berkualitas. Ia pasti mampu membuat saya berani untuk menjatuhkan diri sambil merentangkan tangan seperti adegan-adegan di film itu.
Pada kenyataannya, kini yang terjadi malah sebaliknya. Punggung saya sakit setelah tidur di atas ranjang itu. Mungkin karena pegasnya sudah terlalu menonjol atau apalah itu.
Istri saya agaknya cukup responsif. Ia kemudian membelikan saya ranjang yang sangat bagus. Harganya mahal. Harga yang saya sendiri tidak pernah menyangka bahwa istri saya yang cermat dan bersahaja itu akan menghabiskannya hanya untuk membeli sebuah ranjang.
Dengan ranjang yang baru ini, sakit punggung saya jadi raib. Berbaring di atas ranjang baru ini benar-benar sebuah kenikmatan tersendiri. Memang, ada harga ada rupa.
“Ini ranjang mahal dan bagus, bikinnya pake penelitian,” kata istri saya saat itu.
Sejak adanya ranjang yang bagus ini, jadi merasa sedikit mewarisi semangat orang-orang Skandinavia, orang-orang yang konon jauh lebih bersemangat untuk menghabiskan uang untuk kamar mereka alih-alih ruang tamu mereka. Bagi mereka, tidur adalah sebuah keistimewaan. Itulah kenapa mereka rela menghabiskan uang yang sangat besar untuk membeli ranjang yang dengan kualitet jempolan.
Namun, tampaknya saya punya hubungan yang agak kurang akur dengan tidur. Dengan ranjang yang baru dan mahal ini, tidur saya memang jauh lebih nikmat, nyenyak, dan sama sekali tidak melahirkan rasa sakit di punggung. Namun, untuk menuju pada fase terlelap tidur itu, saya butuh waktu yang sangat lama.
Saya sudah berbaring di atas ranjang sejak pukul sebelas malam dan biasanya baru mulai terlelap berjam-jam setelahnya.
Alasannya beragam, dari mulai sibuk membaca buku sampai sibuk sekrol-sekrol hape. Dasar ranjang bagus, ia ternyata bukan hanya nikmat buat tidur, namun juga nikmat buat tiduran sambil gelut di media sosial.
Tiga hari lalu, kiriman hammock saya datang. Saya memang sudah sejak lama ingin membeli hammock untuk saya pasang pada dua pohon rambutan di depan rumah saya. Niat membeli hammock itu baru bisa terwujud beberapa hari yang lalu.
Hammock itu saya beli dengan harga yang sangat murah. Saya dapat iklannya dari Instagram.
Niat saya membeli hammock itu memang sekadar agar saya punya tempat leyeh-leyeh dan tiduran sambil baca buku atau sekadar menikmati angin sore.
Tak disangka, di atas hammock itulah saya menemukan kembali skill tidur saya.
Siang tadi, saya mencoba tiduran di hammock sambil baca-baca buku. Baru beberapa halaman yang saya habiskan, ealah, saya langsung bablas merem dan terlelap. Saya baru bangun sore hari ketika waktu Asar sudah hampir habis.
Melihat kenyataan itu, saya seperti merasa terlahir kembali. Skill tidur saya ternyata masih ada. Dan ia ternyata hadir lewat hammock murahan. Bukan lewat ranjang yang mahalnya ngaudubillah setan itu.
Batin saya mendadak bergelak. Antara bahagia sebab saya ternyata bisa tidur dalam waktu sekejap, hal yang selama ini mulai jarang saya dapatkan. Sekaligus juga agak sedih karena itu artinya, masih ada jiwa-jiwa melarat di dalam diri saya.
BACA JUGA Moral Bangsa Kita Memang Sangat Kacau dan RCTI Sedang Berusaha untuk Memperbaikinya atau tulisan Agus Mulyadi lainnya.