Pagi ini saya mulai dengan baik-baik saja. Belanja ke tukang sayur, rupanya cabe masih mahal. Ah, gapapa. Beli ayam, ya naik sedikit. Ah, gapapa. Pulang ke rumah bikin sarapan dan kopi buat suami, suami kok gantengnya nggak naik. Ah, gapapa. Kemudian buka handphone dan mendapati berita dari sebuah koran lokal bahwa per Maret nanti elpiji 3 kilogram harganya bakal jadi Rp30.000. Ah, gapapa.
Heh?! Ralat. Ini apa-apaan?!
Sebagai seorang ibu rumah tangga anyaran, saya berusaha belajar jadi ibu rumah tangga yang baik alias ngirit. Belajar masak supaya nggak jajan tiap hari, alhamdulillah bisa kasih ASI ke anak sehingga nggak perlu beli susu formula yang harganya Allahurobbi itu, pakai popok pakaian yang bisa dicuci, berburu diskon minyak goreng buat stok antaran ke saudara saat Lebaran nanti, dan beragam aksi iritologi lain khas ibu-ibu ekonomi menengah. Juga harus kuat iman saat buka Instagram dan lihat model baju kekinian. Mau update lipen pun harus nunggu honor tulisan, itu juga kalau dimuat. Aduuuh, Hayati lelah, Bang ….
Sebenarnya, selama ini saya sudah berusaha jadi warga negara yang baik. Ikut program imunisasi dasar dari pemerintah, bayar pajak tepat waktu, melengkapi administrasi kependudukan, dan hal-hal lain yang meskipun memakan waktu seharian, tetap saya ikuti sebagai bentuk kecintaan saya terhadap negara ini. Namun, ketika sampai pada hal-hal yang berbau subsidi, saya bimbang hati dan selalu mengajukan pertanyaan: sebenarnya saya ini masuk golongan masyarakat yang mana?
Kalau mau dibilang masyarakat miskin, nggak juga. Nyatanya di rumah punya komputer karena suami saya freelance designer. Sesekali kami rekreasi ke mal meski cuma untuk melipir ke restoran fastfood buat beli es krim 7 ribuan. Motor juga ada, meski dulu belinya harus kredit. Handphone juga sudah smartphone, meski saking jadulnya sehingga sudah nggak bisa update sistem operasi lagi. Ketika BBM jenis premium diumumkan hanya untuk warga miskin, kami akhirnya beralih ke Pertamax karena merasa masih mampu, toh sepeda motor bisa diirit-irit pemakaiannya. Namun, kalau mau dibilang kelas menengah atas, ya nggak juga. Rumah masih ngontrak, TV nggak punya (demi menghindarkan anak kami dari gempuran Mars Perindo, sedang mau langganan TV kabel nggak mampu), penghasilan tidak tetap, rumah pun hanya dilengkapi a-se, angin semriwing.
Selama berkeluarga pun kami tidak pernah kebagian jatah raskin, askeskin, dan segala subsidi lain yang ada embel-embel miskinnya. Rumah kontrakan kami listriknya prabayar, dengan daya 1.300 watt. Pernah kami coba datang ke PLN agar dayanya diturunkan jadi 900 watt, toh barang elektronik di rumah kami sedikit. Eh, ternyata harus buat surat pengantar dari RT, RW, dan kelurahan yang menyatakan kami adalah warga miskin yang butuh listrik subsidi. Yo wis, kami mundur.
Lha terus sekarang kok elpiji 3 kilo juga mau disalurkan langsung hanya untuk warga miskin dan UMKM. Saya baca, nantinya hanya yang pegang kartu dari Kemensos saja yang bisa beli gas subsidi. Tiap rumah tangga dijatah tiga tabung per bulannya, dan sembilan tabung untuk UMKM. Apa pemerintah sudah buat kajian (yang mendalam dan komprehensif) tentang hal ini? Bukankah selama ini yang namanya jatah-jatahan itu rawan penyelewengan?
Dulu, pemerintah gencar mewajibkan setiap warga harus beralih ke elpiji yang lebih ramah lingkungan. Meski sudah banyak yang kebledosan gas melon ini, kebijakan tetap lanjut. Lha kok sekarang tiba-tiba jadi disubsidi khusus, dan dengan gampangnya menganjurkan, “Pakai gas pink saja ….”
Saya kemudian browsing ke situs Pertamina untuk tahu tentang Bright Gas ini. Rupanya BUMN kesayangan kita ini mematok harga Rp61.500 untuk isi 5,5 kilo dan Rp317.500 jika ditambah tabungnya. Ini pun jika beli langsung di agen LPG. Harga akan lebih mahal di minimarket atau pengecer lain. Berarti, per kilonya kita harus membayar Rp11.181 atau sekitar dua kali lipat dari harga elpiji 3 kilo saat ini. Terus masih harus bayar harga tabung lagi. Duh!
Hambok ya pemerintah ini konsisten mendukung usaha para ibu muda seperti saya ini, yang keponthal-ponthal masak dengan deg-degan karena takut gas mbledhos. Sekarang malah harus ditambah deg-degan karena harga gas akan naik dua kali lipat. Yang miskin juga tetap deg-degan takut jatah tiga tabung per bulannya habis. Mau balik pakai kayu dan anglo, nanti pasti dinyiyiri para aktivis dan dibilang nggak go green. Balik pakai minyak tanah juga susah nyarinya. Kompor listrik? Watt-nya gede, lagi pula tarif listrik juga akan naik, to? Apa jajan saja tiap hari? Ah, nanti takut dicap sebagai IRT yang malas. Lagian harga masakan juga pasti akan naik karena tidak semua penjual makanan masuk UMKM yang disubsidi.
Terus gimana nasib kami, para masyarakat yang berada pada kelas nggak jelas ini? Apa perlu kami cari penghasilan tambahan dengan ikutan bikin situs penyebar hoax dan kebencian? Apa perlu kami cari followers untuk akun bakulan seprai dengan jadi haters Presiden? Tolonglah, pemerintah mbok jangan sekejam mantan yang nikah duluan, jangan mencla-mencle kalau bikin kebijakan, dan jangan bikin masyarakat deg-degan.
Percayalah, dilahirkan sebagai rakyat Indonesia saja sudah lebih dari cukup untuk membuat kami deg-degan.