Terowongan Silaturahmi ala Jokowi: Bangunan Diwujudkan, Mentalnya Enggak

Jokowi terowongan silaturahmi MOJOK.CO

MOJOK.COPak Jokowi, membangun Terowongan Silaturahmi bukan satu langkah maju ke arah melawan intoleransi. Mental takut akan perbedaan yang harus dipikirkan dan dikikis.

Saya nggak tahu apakah sikap Jokowi ini dipicu oleh giatnya investasi dan pembangunan. Saya juga nggak tahu apa sih gunanya sebuah terowongan yang menghubungkan dua tempat ibadah. Saya menarik napas dalam ketika membaca berita Jokowi sudah memberi lampu hijau untuk pembangunan sebuah bangunan bernama Terowongan Silaturahmi.

“Tadi ada usulan dibuat terowongan dari Masjid Istiqlal ke Katedral. Tadi sudah saya setujui sekalian. Ini menjadi sebuah terowongan silaturahmi. Tidak kelihatan berseberangan tapi silaturahmi. Sehingga tidak nyebrang, sekarang pakai terowongan bawah, terowongan silaturahmi,” kata Jokowi dan dikutip oleh CNN.

Renovasi Masjid Istiqlal sudah mulai sejak 6 Mei 2019. Renovasi mencakup bagian dalam masjid. Misalnya, kamar mandi hingga fasilitas wudhu. Renovasi juga dilakukan untuk memasang 104 Closed Circuit Television (CCTV), penggantian karpet, termasuk mihrab yang ada di lantai utama. Perbaikan mihrab meliputi tata suara, cahaya, dan udara. Renovasi diharapkan selesai pada April, sebelum Ramadan.

Renovasi itu juga meliputi pembangunan terowongan yang menghubungkan Istiqlal dan Gereja Katedral. Terowongan yang disebut sebagai Terowongan Silaturahmi.

Saya, sih, meyakini kalau kata “silaturahmi” itu sangat mulia. Menurut KBBI, kata silaturahmi diartikan menjadi “tali persaudaraan”. Kata turunan silaturahmi adalah bersilaturahmi, artinya mengikat tali persahabatan (persaudaraan). Tali menjadi kata untuk menggambarkan kalau semua manusia sebetulnya terikat. Bersaudara.

Saya mengapresiasi simbol ini. Paling tidak, bagus untuk menjadi pengingat. Bagus juga untuk foto-foto dan bikin tagar di media sosial. Bangunan dikebut untuk terwujud, tetapi mentalnya tidak pernah digarap.

Memang, mungkin istilah “tidak digarap” terdengar terlalu keras. Namun, ketika Jokowi seperti bahagia betul dengan pembangunan Terowongan Silaturahmi, bagaimana nasib gereja-gereja di tempat lain yang keberadaannya ditolak? Bagaimana dengan gereja, yang bahkan sudah punya IMB, masih saja digugat dan sangat terasa intimidasi di prosesnya?

Sekali lagi, sebuah simbol fisik memang baik adanya. Bahkan ketika diberi nama Terowongan Silaturahmi. Ketika bangunan dikebut untuk jadi, bagaimana dengan pembangunan mental manusia Indonesia, Pak Jokowi? Terutama ketika intoleransi semakin terasa perih di kulit.

Pak Jokowi mengangkat menteri yang dengan begitu lantang berkata kalau dirinya adalah “menteri untuk 5 agama”. Kalimat yang terdengar begitu heroik ketika beliau terpilih menjadi menteri. Namun, kebencian masih terasa. Keterasingan bagi minoritas masih terasa menguar di udara.

Pak Jokowi tidak membutuhkan bisikan para milenial pembantu untuk mencari kisah-kisah intoleransi sekarang ini. Lha wong internet saja sudah cukup untuk memberi gambaran. Mulai dari narasi larangan merayakan Natal, sebuah tempat belajar dan kitab suci agama Hindu di Banyuwangi dirusak, hingga umat Hindu tidak bisa beribadah di Prambanan sementara turis mudah sekali masuk ke dekat candi.

Berita-berita seperti itu tidak pernah ramai. Mungkin berita-berita seperti itu terdengar seperti dengungan nyamuk di telinga Pak Jokowi. Sementara itu, rancang bangun Terowongan Silaturahmi memang akan terlihat memanjakan mata dan bagus untuk pencitraan.

Bapak Jokowi, 10 tahun yang lalu, berjanji untuk merevolusi mental rakyat Indonesia. Namun, nampaknya yang direvolusi cuma fokus saja ke pembangunan fisik dan terlihat bagus untuk citra. Semua atas nama investasi.

Pak Jokowi, investasi ke mental manusia juga perlu dilakukan. Semua sadar, kalau tidak ada konflik, hidup ini akan tenang dan enak. Menghilangkan mental takut dengan perbedaan memang sulit. Namun, kerja-kerja panjang itu harus terus dilakukan. Dan membangun Terowongan Silaturahmi bukan satu langkah maju ke arah sana.

BACA JUGA Mas Slamet, Kasus Beda Agama, dan Intoleransi di Jogja Itu Hal Biasa atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.

Exit mobile version