MOJOK.CO – Ada grand design di balik aksi kolosal kampanye dan kontroversial Pak Prabowo ketika menyerang Pak Jokowi. Sebuah teori konspirasi!
Kontroversial, bombastis, dan bahkan kabar palsu. Tiga hal itu yang semarak mewarnai kampanye-kampanye Prabowo, Sandiaga Uno, dan kubunya sepanjang beberapa bulan terakhir. Terakhir, Prabowo “menyerang” jurnalis dan wartawan yang tidak meliput Reuni 212 tempo hari. Mungkin bukan almamaternya dan nggak dapat undangan, Pak. Kan beberapa sudah ente boikot.
Saat itu tanggal 5 Desember 2018, Prabowo berpidato di acara Hari Disabiltas Internasional. Mantan Danjen Kopassus tersebut menuduh media massa berupaya “memanipulasi demokrasi”. Pokok pidatonya adalah soal pemberitaan media terkait jumlah orang yang hadir di Reuni 212.
“Hebatnya media-media dengan nama besar dan kayaknya dirinya objektif, padahal justru mereka memanipulasi demokrasi. Kita bicara yang benar ya benar, yang salah, ya salah, mereka mau katakan yang 11 juta hanya 15 ribu. Bahkan ada yang bilang kalau lebih dari 1.000.”
Bahkan beliau tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan dan memilih mengulang retorika bahwa, “Redaksi kamu bilang enggak ada orang di situ, hanya ada beberapa puluh ribu, itu, kan tidak objektif, enggak boleh dong,” tegas Prabowo.
Menegaskan, lalu mengulang-ulang klaim ya boleh saja. Namun, orang lain kan punya logika juga, Pak Prab.
Jika Prabowo menyebut peserta Reuni 212 mencapai 11 juta orang, Novel Bamukmin sebagai Ketua Media Center Reuni 212 mengungkapkan bahwa jumlah peserta antara tiga sampai empat juga. Sementara itu, Bernard Abdul Jabar, Ketua Reuni Mujahid 212, mengeluarkan angka peserta mencapai delapan juta orang.
Kalau pihak kepolisian? Brigjen Dedi Prasetyo, Karopenmas Divhumas Polri mengungkapkan bahwa peserta reuni 40 ribu. Bagaimana dengan perhitungan menggunakan aplikasi mapdevelopers.com?
Setelah perhitungan dilakukan, ditemukan angka peserta Reuni 212 paling sedikit 193.244 orang dan paling banyak 772.976 orang. Perhitungan jumlah peserta tersebut sudah dilakukan oleh Tirto dan bisa kamu baca di sini. Intinya adalah, jumlah peserta tidak menyentuh 900 ribu orang, apalagi satu juta.
Prabowo boleh bersikeras ada 11 orang yang hadir. Namun, tahukah Bapak kalau jumlah penduduk DKI Jakarta adalah 10 juta orang lebih dikit sesuai perhitungan BPS. Kalau 11 juta orang kumpul di Monas, Jakarta bisa bebas macet, dong. Bahkan, bisa jadi, Pulau Jawa akan miring ke kiri karena berat ada DKI Jakarta. Sungguh…
Jangan heran, klaim bombastis, bahkan kontroversial memang mewarnai kampanye dan serangan Prabowo kepada Jokowi. Jika kita ingat-ingat lagi, Prabowo dan Sandiaga Uno sangat mesra dengan yang namanya kontroversi dan data palsu.
Mulai dari Indonesia akan bubar pada tahun 2030, duit 100 ribu dan 50 ribu nggak bisa buat belanja, infiltrasi tenaga kerja dari Cina, hendak “membonceng” kasus Ratna Sarumpaet untuk menyerang Jokowi, melangkahi makam kiai, hingga soal media massa yang cenderung pro Jokowi.
Kampanye dan serangan Prabowo kepada Jokowi bertujuan menghadirkan rasa takut di tengah publik. Klaim dan pernyataan, yang bahkan adalah sebuah kebohongan, diproduksi tanpa ampun. Konon, Prabowo hendak meniru langkah kemenangan Donald Trump yang berhasil menggaet suara orang kulit putih dan mengurangi partisipasi anak-anak muda kepada pemilu dengan hate speech dan hoaks.
Sejak Prabowo menggunakan kalimat “Make Indonesia Great Again” yang mana adalah sebuah pembebekan dari “Make America Great Again”, berbagai analisis bahwa ini cara oposisi menekan Jokowi langung mengemuka.
Tapi maaf-maaf saja, cinta, kampanye Prabowo dan serangannya kepada Jokowi bisa layu sebelum berkembang. Mengapa? Ada berbagai sebab.
Pertama, masyarakat Indonesia sudah kadung paham dengan arah kontroversi yang diproduksi kubu Prabowo karena banyak media kredibel yang melakukan analisis secara komprehensif. Kedua, bakal makin banyak yang jengah dengan kampanye penuh hoaks, apalagi menggunakan kedok agama. Ketiga, generasi muda bukannya antipati dengan pemilu, tetapi swing voters berpeluang berayun ke arah Jokowi. Meski memang, dalam hal ini, banyak yang berpandangan pemilu adalah soal memilih “lesser evil” saja.
Lantas, apa sih intensi Pak Prabowo sebetulnya jika kontroversi, data palsu, dan menyebar ketakutan itu sebetulnya “bunuh diri” saja? Apakah hanya ingin meniru jalan pedang Donald Trump dan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro? Tentu saja tidak.
Ada konspirasi besar di balik kontroversi dan kampanye gelap ini. Tidak lain, dan tidak bukan adalah Prabowo sebetulnya ingin memenangkan Jokowi. Ini sangat logis. Masih ingat ketika Prabowo dan Jokowi naik kuda bersama? Tentu masing-masing naik kuda sendiri, enggak boncengan. Di sana, sebuah percakapan singkat, namun penuh makna terjadi:
Prabowo: “Cuss, Jok?”
Jokowi: “Gaassss, Mas!”
Lalu keduanya berkuda berdampingan ke arah matahari yang tenggelam di ufuk barat diiringi lagu “Rosalinda, Rosalinda, Rosalinda, Ay Amor, Ay Amor!!11!!111”
Nah, mengapa sangat logis? Lha, untuk apa menggunakan taktik yang salah, secara terus-menerus, ketika masyarakat sudah tahu bahwa taktik itu tidak bakal bekerja? Seperti Pak Arsene Wenger saja, yang tahu taktinya untuk Arsenal nggak lagi berfungsi tapi masih dipakai.
Apakah Pak Prabs cuma mau main-main saja di Pilpres 2019? Apakah Pak Sandi mau bakar saham terus demi membiayai kampanye “nomor urut 2”? Ya jelas tidak.
Ada grand design di balik aksi kolosal Pak Prabs dan Mas Sandi melakukan “bunuh diri secara berulang-ulang”. Apa lagi kalau nggak pingin Pak Jokowo tembus dua periode? Sebuah teori konspirasi!