Kasus Meiliana, Bagaimana Sebaiknya Kita Memandang Suara Azan?

MOJOK.CO – Kasus Meiliana dan suara azan sudah mendunia. Dukungan mengalir deras lewat berbagai kanal. Sebelumnya, bagaimana, sih, sebaiknya memandang suara azan?

Media internasional tengah ramai oleh kasus Meiliana. Menurut versi vonis, ia mengeluhkan suara azan dari Masjid Al-Maksum di Tanjungbalai yang terlalu “bising”. Setelah MUI mengeluarkan fatwa penistaan agama, Polda Medan menetapkan Meiliana sebagai tersangka penistaan agama dengan pasal 156 subsider 156 a KUH Pidana, sama seperti yang digunakan untuk menjebloskan Ahok ke penjara.

Media Inggris, Sky News merilis sebuah berita dengan judul “Woman Jailed in Indonesia for complaining mosque was toi noisy”. Sementara itu, Newsweek, majalah mingguan AS menulis berita dengan judul “Woman Complains About Noise From Mosque, Gest 18 Months in Prison”.

The Independent yang berbasis di Inggris mengutip pernyataan Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia. Usman meminta Pengadilan Tinggi Sumatera Utara untuk membatalkan vonis untuk Meiliana tersebut. Sementara itu, Al-Jazeera menulis dengan judul “Indonesia jails womans for ‘insulting Islam’ over mosque ‘noise”. Satu hal yang pasti, kasus Meiliana ini sudah viral.

Lantas, apa yang sebetulnya terjadi?

Merunut berita yang disusun oleh Tirto.id dengan judul “Detail Kejadian Keluhan Suara Azan dan Kerusuhan Tanjung Balai”, ada sebuah pembelokan pernyataan dari Meiliana. Pembelokan yang berujung kepada kerusuhan di Tangjung Balai.

Menurut Meiliana, ia menyampaikan kepada pemilik warung, Ka Uo, tempatnya berbelanja bahwa volume speaker masjid Al-Maksum sekarang lebih besar ketimbang dulu. Sementara itu, versi Ka Uo berbeda. Ia menyampaikan bahwa Meiliana berkata, “Bilang sama uwak itu, tolong kecilkan suara masjid, bising kupingku ribut kali.”

Ka Uo lalu menyampaikan “keluhan” Meiliana kepada Hermayanti, adiknya. Kata Ka Uo, “Her, orang Cina muka itu minta kecilkan volume masjid.” Istilah “orang Cina” turut disampaikan ke Kasidi, pengurus Masjid Al-Maksum. Mendengar penuturan Ka Uo, Kasidi melaporkannya kepada Haris Tua Marpaung (Lobe), Zul Sambas, dan Dailami. Semuanya adalah pengurus masjid.

Keempat orang di atas, disertai oleh satu orang lagi yang bernama Rifai, mendatangi rumah Meiliana untuk meminta konfirmasi. Ada dua versi dari pertemuan ini. Meiliana menegaskan ia tidak melarang azan. Versi kedua adalah dari Lobe, yang menyebut Meiliana keberatan dengan “suara azan di masjid”. Sejak saat ini, pernyataan Meiliana sudah dibengkokkan, berbeda jauh dengan apa yang ia katakan semula.

Pembengkokan informasi, ditambah provokasi oleh sejumlah orang membuat situasi tidak bisa dikendalikan. Ujungnya adalah pembakaran vihara dan berakhir dengan dijebloskannya Meiliana ke penjara.

Saya tidak ingin membela Meiliana, juga tak mau berdiri dengan orang-orang yang marah dan membakar vihara. Saya hanya ingin menyampaikan sebuah cerita, pengalaman hidup saya selama 20 tahun lebih.

Saya tumbuh besar di sebuah daerah di Yogyakarta bernama Kampung Cantel, Gondokusuman. Saya beragama Katolik, tidak taat-taat amat, namun masih ingat dengan kewajiban ke gereja.

Selama lebih dari 20 tahun saya tinggal di sebuah kampung yang warganya mayoritas Muslim. Teman-teman masa kecil saya hampir semuanya beragama Islam. Mereka cukup taat menjalankan perintah agama. Setiap sore mereka pergi ke TPA, sebelum menjemput saya untuk bermain sepak bola di sebuah tanah lapang.

Masjid di kampung itu bernama Masjid Jami Al-Falah, masjid kecil dan nylempit di sebuah gang. Bangunan Masjid Al-Falah menjadi satu dengan sebuah SD. Di halaman masjid yang sempit itulah saya terkadang bermain. Gamparan, kelereng. Bahkan sering saya ada di samping masjid menunggu teman saya yang sedang Jumatan. Dua teman saya adalah kakak-adik, anak dari pengurus masjid. Maka otomatis, saya menjadi sangat akrab dengan suara azan.

Tidak jauh dari masjid, kira-kira cuma 15 langkah, ada sebuah gereja bernama Gereja Kristus Raja Baciro. Antara masjid dan gereja hanya dipisahkan sebuah jalan kecil. Misa atau ibadah di Gereja Kristus Raja berjalan sangat rutin, selayaknya gereja Katolik pada umumnya. Misa harian adalah misa pagi yang dimulai pukul 05.30. Misa Sabtu hanya ada di sore hari, yaitu pukul 18.00. Jadwal misa Minggu cukup banyak, mulai pukul 06.00, 08.00, dan pukul 18.00.

Saya pernah berada dalam situasi di mana saya harus berangkat ke misa pagi setiap hari, pukul 05.30. Karena dekat dari rumah, saya lebih suka berjalan kaki.

Ini yang menarik. Misa pagi tiap hari didominasi oleh umat lansia atau anak sekolah, SD maupun SMP. Untuk menuju gereja, saya dan beberapa umat, terutama lansia, harus melewati sebuah gang kecil yang tembus ke jalan besar. Di gang kecil itulah Masjid Al-Falah berada. Ketika kami melintas di depan masjid, salah satu pengurus masjid (bapak teman saya) sudah berdiri di sana. Terkadang tengah menyapu, terkadang terlihat sedang menikmati udara pagi.

Kulonuwun” atau “nyuwun sewu”, kami umat Katolik biasa menyapa beliau. Si bapak pengurus masjid akan menjawab “monggo” sambil mendekat dan mengulurkan tangan menjawab kami satu per satu. “Ajeng misa, nggih?”, “Mau misa, ya?” Tanya si bapak sambil menjawab tangan kami. “Nggih, pak.”, “Ya, pak” Jawab kami. Saling lempar sapa dan senyum terjadi dan kami melanjutkan perjalanan menuju gereja.

Kejadian ini terjadi hampir setiap pagi. Saling menyapa, berjabat tangan, bertukar senyum. Sebuah pagi yang menyenangkan.

Yang lebih unik lagi, menjelang misa Minggu atau Sabtu sore pukul 18.00, sekitar pukul 17.40, kumandang azan Maghrib terdengar. Karena jarak yang sangat dekat, suara azan Maghrib itu terdengar nyaring. Bahkan, terkadang, suara MC misa hanya terdengar sayup-sayup. Seperti sebuah pengantar, suara azan itu menyertai kami memulai misa sore.

Saya hidup di kampung itu selama 20 tahun lebih. Tidak pernah ada keluhan. Tidak pernah ada satu kalimat saja yang mengungkapkan bahwa suara azan itu mengganggu. Bahkan dengan nuansa bercanda pun tidak. Dari teman-teman Muslim juga tidak pernah mempermasalahkan suara lonceng gereja yang terdengar nyaring menjelang misa pagi atau sore. Suara lonceng dan azan sahut-menyahut dengan akrab, tanpa jarak, tanpa masalah.

Sangat sering terjadi, sebuah masalah yang berujung kerusuhan, dimulai dari lidah manusia. Sebuah maksud sangat rentan dibelokkan karena disampaikan dengan sebuah kalimat saja. Daya tangkap, daya ucap manusia berbeda-beda. Ditambah daya memahami makna yang juga berbeda, maksud kalimat “A”, bisa menjadi “F” ketika melewati lima orang.

Apakah Meiliana bersalah setelah rasan-rasan dengan Ka Uo bahwa suara azan itu kok semakin nyaring saja? Entah. Yang ingin saya sampaikan, di tengah masyarakat yang plural dan kok sialnya semakin mudah tersulut, menjaga lidah adalah sikap yang harus dipatuhi. Dari menjaga lidah, kita bisa belajar menjaga sikap, membuka pikiran, dan yang terpenting: belajar merasa.

Buat saya, yang paling penting pertama-tama adalah mendengar, bukan berbicara.

Exit mobile version