MOJOK.CO – KPAI dan rang-rang tuwir itu lebih suka blokir Mobile Legends, PUBG, dan FF karena nggak mau bekerja keras demi bocil-bocil freestyle Indonesia.
Tempo hari, Bupati Mukomuko, Bengkulu, mengaduh kepada Kominfo. Bapak Bupati yang Terhormat resah dengan game Mobile Legends, PUBG, dan FF. Lantaran keresahan ini, tiga game online yang kini lebih akrab disebut e-sports itu harus diblokir. Dan nggak butuh waktu lama, mendengar “keresahan yang mengancam anak Indonesia”, KPAI dengan lantang mendukung upaya pemblokiran itu.
Kominfo gimana? Sampai tulisan ini dibuat, mereka belum berkomentar. Namun, kalau untuk urusan blokir-memblokir, kayakya Kominfo bakal suka. Mengingat salah satu tugas mulia mereka memang memblokir konten porno. Meski kita sama-sama tahu, pekerjaan Kominfo itu kayak menegakkan keadilan di Indonesia. Percuma.
KPAI sendiri sangat bergairah untuk sepakat memblokir Mobile Legends, PUBG, dan FF karena 3 game ini dianggap memiliki muatan kekerasan, pornografi, dan dampak negatif untuk psikologis anak. Tentu KPAI bahagia banget karena ada yang resah dengan 3 game tersebut. Ingat, sudah sejak 2019 KPAI pengin 3 game tersebut diblokir. Kenapa usaha mereka nggak berhasil? Ya karena nggak masuk akal.
Pada titik ini, KPAI dan Bupati Mukomuko harusnya malu kepada Yuni Shara. Kenapa malu? Karena justru Yuni Shara lebih punya akal sehat ketika menghadapi anak. Ibu Yuni Shara enggak asal main bentak (baca: blokir). Ibu Yuni Shara mau berlutut, menyamakan posisi dengan anak, dan mengajak anak bicara dari hati ke hati.
Ibu Yuni Shara tahu kalau anaknya sudah beranjak remaja. Rasa ingin tahu anak akan perkembangan tubuh sendiri dan laju informasi yang cepat tidak untuk dijegal, tetapi ditemani. Ibu Yuni Shara bahkan mengajak anak-anaknya untuk menonton konten porno. Hebat, bukan?
Ibu Yuni Shara ingin anaknya mendapatkan sex education yang benar. Beliau mau terbuka dengan anak sebagai upaya untuk memahami cara berpikir anak sendiri. ketika ibu mau terbuka, perlahan, anak-anak juga akan terbuka. Di sana akan terjadi diskusi dua arah yang sehat.
Ibu Yuni Shara memahami bahwa mengawasi anak selama 24 jam itu nggak mungkin. Kalau sekadar dimarahi, dihukum, dilarang, anak pasti akan memberontak dan mencoba mencari konten porno sendirian. Dengan begitu, si anak tidak punya bekal sex education yang layak. Ah, di Indonesia ini, sex education masih seperti “barang haram”. Lha wong UU Kekerasan Seksual saja tidak kunjung disahkan. Malah mengesahkan UU KPK yang bau amis itu.
Oleh sebab itu, si anak sendiri harus mendapat pemahaman mana yang baik, mana yang buruk. Dengan begitu, pola pikir anak akan berkembang. Bukan dengan ancaman, bukan dengan jegalan. Mendekati anak harus dengan kasih sayang, eye to eye contact, suara yang lembut, bermain dengan akal, dan sebagai rang-orang tuwir harus mau memahami dunia anak.
Jangan salah, keputusan Ibu Yuni Shara ini bukan keputusan mudah. Menjelaskan apa itu penis, vagina, payudara, kelonan, dan segala “tindakan menyegarkan” lainnya dari aktivitas seksual itu bukan perkara mudah. Namun, Ibu Yuni tahu tidak ada jalan pintas di sini. Meski berat dan “tabu”, ya harus dilakukan.
Lalu, apakah KPAI dan rang-orang tuwir lainnya yang pengin Mobile Legends, PUBG, dan FF diblokir itu nggak mau bekerja keras karena maunya jalan pintas? Ya kalau dari narasi yang ada, enggak kalah kalau mereka dianggap “tahunya cuma blokir”. Padahal, sejak zaman batu, memblokir konten itu tiada berguna.
Konten kekerasan bisa dengan mudah ditemukan di acara-acara televisi yang judulnya sangat tidak berbahaya. Konten pornografi bisa dengan sangat mudah ditemukan di Twitter. KPAI mau memblokir semuanya? Omong kosong. Paling juga kencing di celana kalau dirujak sama kekuatan Twitter dan netizen-tak-mungkin-salah.
Mobile Legends, PUBG, dan FF tidak akan menimbulkan bahaya kalau orang tua mau melakukan pendekatan persuasif seperti Ibu Yuni Shara. Beri bocil-bocil epep itu pemahaman. Mana yang bahaya dari game, sisi apa saja yang positif, bekerja sama menentukan jam main, kontrol dengan kasih sayang.
Apa? Hal-hal kayak gitu berat untuk dilakukan? Lebih enak blokir? Iya, saya setuju. Kalau memang akal sehat sudah nggak ada lagi di antara rang-orang tuwir itu. Budaya instan dengan memblokir itu tidak memberi pelajaran baru, baik untuk pegawai KPAI yang gajinya entah dari mana dan untuk bocil-bocil freestyle di luar sana. Yang ada, bocil-bocil itu semakin membenci orang dewasa. Kalau udah gini ya jadinya no love.
Ketika atlet-atlet e-sports Mobile Legends, PUBG, dan FF mengharumkan nama Indonesia di kancah internastional, rang-rang tuwir nggak berdaya membantu anak Indonesia untuk membedakan mana yang baik, mana yang jelek. Menyedihkan. Yang nggak berdaya itu orang dewasa, yang disalahkan game online-nya.
Rang-orang tuwir di negeri ini lebih suka anak-anaknya patuh karena takut, bukan patuh karena memahami. Jenis kepatuhan yang semu. Mau nonton konten porno, tinggal pasang VPN. Mau main game online? Ah entar pasti ada game generasi baru yang bisa dimainkan sembunyi-sembunyi.
Iya, sembunyi-sembunyi. Aksi blokir dan marah-marah itu justru melahirkan generasi maling, yang suka bergerak dalam senyap takut ketahuan. Di depan takut, di belakang ketawa sambil kentut. Asu.
BACA JUGA Pada Dasarnya, KPAI Tidak Sedang Berhadapan Dengan PB Djarum dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.