MOJOK.CO – Saya tidak suka Argentina menang dan Lionel Messi berpotensi juara bersama negaranya. Karena jika hal itu terjadi, tuntas sudah sajian box office seorang living legend yang akan terus mencipta sesuatu dari ruang hampa untuk negaranya.
Saya baru saja selesai menonton 90 menit pertandingan terburuk sejauh ini. Semifinal Copa America, Argentina vs Kolombia menjadi pelakunya. Kaki-kaki pemain terbang setinggi tumit hingga lutut. Sikut menerjang. Kaos ditarik. Ini bukan sepak bola, tapi perkelahian.
Yah, well, itu kalau menurut saya. Sebuah laga yang beneran jelek. Namun, buat orang lain, laga Argentina vs Kolombia, ketika Lionel Messi lebih sering mengaduh kesakitan, adalah laga yang menarik. Keras. Machisimo. Pertarungan adrenalin dan hormon testosteron.
Selama 90 menit laga itu, Argentina seperti tak diizinkan untuk menang dengan nyaman. Sementara itu, Lionel Messi tak diizinkan untuk bahagia dengan menjadi juara bersama negaranya. Kasihan betul. Sudah pengangguran, nggak boleh bahagia lagi.
Sepak bola Amerika Latin memang keras. Sejak saya masih duduk di bangku SD, di hari-hari libur ketika Copa Amerika berlangsung, pertarungan keras sudah terjadi.
Saya ingat pernah menyaksikan laga Peru vs Ekuador. Masih ada Nolberto Solano di timnas Peru. Tiap 5 menit laga terhenti karena pelanggaran. Laga Argentina vs Kolombia ini nggak jauh beda. Jenis laga yang nggak tahu kenapa malah bikin saya mengantuk.
Pemain-pemain kunci dipepet, ditabrak, ditarik kaosnya, diinjak mata kakinya, ditendang betisnya. Pemain kunci seperti Lionel Messi, memang bakal lebih banyak jatuh terguling-guling ketimbang menembak bola ke arah gawang. Keras sekali dan cedera menjadi pemandangan yang semakin akrab.
Namun, sepak bola Amerika Latin memang punya daya tarik sendiri bagi peminatnya. Keras, kadang lembut. Keras, tapi penuh imajinasi. Lionel Messi boleh dihajar mata kakinya sampai berdarah. Tapi, dia akan tetap berdiri, berduel lagi, dan menjadi algojo ketika adu tos-tosan. Mentalnya memang pilih tanding.
Menyaksikan Lionel Messi berjuang sepenuh hati untuk Argentina adalah pemandangan yang sungguh menggugah hati. Maestro yang kini sudah berusia 34 tahun itu masih bermain dengan vigour dan gairah yang extraordinario untuk Argentina.
Memutar waktu ke belakang, pemain sedang tidak terikat kontrak dengan klub mana pun ini hampir selalu menyandang status protagonis. Kalau kamu menikmati game Mobile Legends, Lionel Messi seperti hypercarry, yang menggendong tim, membuat support dan tank medioker terlihat jago.
Namun, di lain kesempatan, Messi bisa seperti menjadi beban bagi tim. Terutama ketika dia kehabisan tabungan imajinasi. Kehilangan sentuhan magis di depan gawang atau selalu terlambat mengirim umpan terakhir yang biasanya menjadi asis. Struktur tim terganggu. Argentina menjadi pecundang dalam satu dasawarsa terakhir.
Saya pernah sampai di sebuah titik yang memberi kelegaan ketika Lionel Messi memutuskan pensiun dari timnas Argentina. Tulisan itu tayang pada 15 Juni 2019.
Pada 2016, setelah kalah dari Chile di final Copa America, Lionel Messi memutuskan untuk pensiun dari timnas Argentina. Namun, keputusan untuk pensiun itu tidak bertahan lama. Pemain yang punya makna “segalanya” untuk Barcelona itu tidak bisa menahan diri untuk membantu Argentina di Piala Dunia 2018. Sebuah keputusan yang salah.
Saat dia memutuskan gantung sepatu dari kompetisi internasional, dunia sempat terhenyak, tapi sebentar saja dan bisa memaklumi. Selama membela Argentina, Si Kutu perlahan menjadi pusat orbit semua pemain. Terkadang, dia terlalu dominan, sebuah kondisi yang dimanfaatkan oleh media dengan sempurna lewat berbagai judul menohok.
Lionel Messi disebut punya pengaruh terlalu besar. Keberadaannya disejajarkan (dan diharapkan) seperti Diego Maradona. Seorang “tuhan” timnas Argentina dan sebagian masyarakat Napoli. Pengaruh Messi yang terlalu besar dituduh menjadi sebab Jorge Sampaoli saat itu tidak bisa memilih pemain sesuai kebutuhan tim.
Namun, meski di sudut hati terdalam menyadari bahwa keberadaannya bisa merepotkan Argentina, kita tak akan berhenti menikmati aksi Messi. Dia seperti candu, seperti sisa-sisa heroin yang gagal kamu sedot tuntas masuk hidung. Kamu akan menjilatinya sampai tuntas. Terus mengejar kenikmatan atas nama imajinasi dan keajaiban di atas lapangan hijau.
Hingga pada titik tertentu, kita menyadari masa orbit pemain kelahiran Rosario itu tak akan lama lagi. Tangis dan darah yang tercucur untuk Argentina tak akan lama lagi kita saksikan. Greget yang tertahan ketika dirinya gagal memikul Albiceleste itu bakal kita rindukan.
Di semifinal Copa, ketika melawan Kolombia, Argentina seperti dibuat tak bisa menang. Kaos Otamendi ditarik di dalam kotak penalti. Wasit diam saja. Padahal itu penalti. Pemain Argentina dihajar berulang kali. Wasit diam saja. Seperti tak ada izin dari semesta untuk kemenangan Argentina.
Skuat asuhan Lionel Scaloni itu terbilang beruntung karena laga harus dituntaskan lewat adu tos-tosan. Argentina beruntung punya Emi Martinez yang sedang membara di Liga Inggris bersama Aston Villa. Seorang diri, dia menuntaskan perlawanan brutal Kolombia.
Final impian tercipta. Argentins vs Brasil. Lionel Messi vs Neymar. Mentor vs murid. Legenda vs maestro.
Namun, di lubuk hati terdalam, saya tidak suka Argentina menang dan Lionel Messi berpotensi juara bersama negaranya. Karena jika hal itu terjadi, tuntas sudah sajian box office seorang living legend yang akan terus mencipta sesuatu dari ruang hampa untuk negaranya.
Tak akan ada lagi lari-lari kecil seorang Kutu ketika menggiring bola dengan ujung kakinya. Tak akan ada lagi tendangan bebas yang berbelok tajam dari seorang pemain dengan kaos biru-putih Argentina.
Tak ada yang lebih menyedihkan dari sebuah kerinduan yang kita tahu tak akan bisa dituntaskan. Adios, Lio. Satu langkah lagi menuju keabadian.
BACA JUGA Sudah Betul Lionel Messi Pensiun, Copa America Cuma Satu Lagi Panggung Hinaan dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.