Liga Champions: Ada Bahaya Bagi Real Madrid di Balik Pujian Pelatih AS Roma

MOJOK.COPerubahan pelatih, dari Zinedine Zidane ke Julen Lopetegui membuat cara bermain Real Madrid juga berubah. Dampak apa yang bakal terlihat dari perubahan ini?

Hari Selasa yang lalu saya bilang bahwa pada titik tertentu, Liga Champions mirip seperti situasi Liga 1 Indonesia saat ini. Sulit diraba karena masifnya perubahan komposisi pemain, pelatih, dan cara bermain masing-masing klub. Para unggulan memang masih terdepan, namun saya rasa, kejutan tidak bakal bisa dihindari.

Nah, meskipun saya membuat perbandingan seperti di atas, ketika kita berbicara prediksi juara, nama Real Madrid jelas harus terdepan. Apalagi ketika klub asal ibu kota Spanyol ini berhasil mematahkan mitos Liga Champions bahkan mampu membuat “mitos” mereka sendiri. Saat ini, Los Blancos adalah satu-satunya klub di Eropa yang mampu memenangi Liga Champions tiga kali berturut-turut.

Setelah memenanginya pada musim 2015/2016, di dua gelaran Liga Champions selanjutnya, prediksi juara mengerucut sangat jelas. Skuat yang kala itu diasuh Zinedine Zidane dipandang masih terlalu kuat untuk didekati lawan-lawan mereka. Pada intinya, mereka punya tiga faktor untuk menjadi juara Liga Champions saat itu.

Real Madrid di Liga Champions musim lalu

Pertama, komposisi pemain yang tidak banyak berubah. Koordinasi dan level kesepahaman antara pemain dan pelatih sangat istimewa. Kedua, kedalaman skuat untuk menunjang skuat Madrid selalu tampil maksimal di kompetisi terbesar antar-klub di dunia ini. Ketiga, cara bermain.

Faktor ketiga ini sangat penting. Mungkin yang paling penting. Jadi, Real Madrid menjadi seperti antitesis bagi sepak bola “ala Pep Guardiola” yang sempat mewabah di Eropa, bahkan hingga saat ini. Zidane tidak membangun skuatnya dengan doktrin penguasaan bola hingga positional play yang jelimet.

Real Madrid, di bawah asuhan Zidane, menjadi satu unit yang sederhana cara bermainnya. Jangan salah, di balik kata “sederhana” tersimpan kekuatan yang sulit ditandingi. Si Putih, meski bermainnya sederhana, namun sangat efektif ketika memaksimalkan penguasaan bola di sepertiga akhir. Lini pertahanan yang kokoh dan lini tengah yang bisa mendominasi tim mana saja membuat babak sistem gugur Liga Champions seperti taman bermain saja.

Setelah Zidane mundur, manajemen menunjuk Julen Lopetegui sebagai pelatih anyar. Lopetegui bukan sosok asing. Boleh dikata, mantan pemain timnas Spanyol ini adakah “akamsi” bagi anak-anak muda Madrid. Oleh sebab itu, proses adaptasi Lopetegui bersama skuat Madrid terbilang cukup cepat. Ia meletakkan dasar idenya kepada pemain-pemain muda dan matang seperti Isco Alarcon dan Marco Asensio, dua pemain yang sudah ia kenal sejak timnas Spanyol usia muda.

Pergantian pelatih, artinya pergantian ide dasar sebuah klub. Biasanya begitu, dan tidak terkecuali Real Madrid. Lopetegui adalah salah satu pelatih penganut “Guardiolaisme” yang patuh. Ia suka ketika timnya memegang inisiatif menguasai bola. Positional play yang canggih, dan pergerakan pemain yang cair.

Sangat kontras apabila dibandingkan dengan Zidane semasa melatih. Zidane membuat skuat Madrid tidak banyak melakukan sentuhan bola. Penguasaan bola per pertandingan bisa cukup rendah. Kamu bisa memeriksa datanya lewat situas analisis angka. Bahkan, Madrid menjelma menjadi counter-based team atau tim yang punya ide bermain serangan balik, didukung banyak melepaskan umpan silang secepat mungkin ketika dua pemain sayap mencapai sisi-sisi kotak penalti.

Cara bermain ini yang membuat Cristiano Ronaldo berevolusi. Kapten timnas Portugal tersebut sukses berubah menjadi fox in the box, poacher yang begitu efektif memaksimalkan umpan silang. Caranya sederhana, situasikan bola di sisi lapangan, berbekal dua bek sayap terbaik di dunia, Marcelo dan Dani Carvajal, kirim umpan silang ke kotak penalti. Insting, teknik, dan determinasi Ronaldo (disokong Karim Benzema) yang akan menentukan.

Ide ini sukses besar di tiga Liga Champions terakhir. Mereka menjadi sangat solid. Liverpool, tim dengan lini depan paling berbahaya di Liga Champions musim lalu berhasil dipangkas sisi kreativitasnya. Nah, apakah perubahan yang sudah terjadi juga akan mengubah peruntungan sang juara bertahan?

Pujian pelatih AS Roma, Eusebio Di Francesco

Melihat perubahan di tubuh lawan, pelatih AS Roma, Eusebio Di Francesco melemparkan pujian. “Real Madrid tetap kuat bahkan ketika sudah ditinggal Cristiano Ronaldo. Penguasaan bola mereka lebih berkualitas dan tidak banyak membuat banyak kesalahan. Mereka juga punya lebih banyak pemimpin di dalam tim,” ungkap Di Francesco seperti dilansir oleh football-italia.net.

“Zidane sudah melakukan sesuatu yang luar biasa dan Lopetegui bakal memberi tim ini sebuah organisasi permainan dengan para pemain yang berdiri berdekatan dan terlihat lebih agresif,” pungkasnya.

Pujian yang tentu saja terdengar merdu di telinga fans Real Madrid. Namun, di balik pujian ini, justru tersimpan sebuah bahaya, atau kamu bisa berkata, sebuah peringatan.

Ketika masih diasuh Zidane, jangan salah, Madrid juga agresif. Agresif tidak selalu berkaitan dengan aktif menyerang saja. Agresif juga bisa dipadankan untuk sebuah tim yang bertahan dengan baik dan menekan lawan yang membawa bola secara terorganisasi. Oleh sebab itu, Madrid menjadi tim dengan dasar serangan balik.

Lewat serangan balik, pemain-pemain cepat dan kreatif di lini depan punya banyak ruang untuk berkreasi. Secara teknik individu dalam situasi satu lawan satu, pemain Madrid memang superior dibandingkan lawan-lawan mereka musim lalu. Situasi akan berbeda ketika Madrid memegang inisiatif penguasaan bola.

Kini justru lawan yang bisa mengatur diri untuk tidak terlalu mengekspose ruang di pertahana mereka. Ketika situasi nampak macet, justru lawan yang bisa menghukum Los Blancos dengan serangan balik. Ingat, AS Roma punya pemain-pemain yang jago mengeksekusi serangan balik. Barcelona musim lalu sudah sukses merasakannya.

Musuh terbesar bagi sebuah tim yang berinisiatif menguasai bola adalah lawan yang bertahan dengan blok rendah dan jago serangan balik. Di bawah asuhan Lopetegui, sangat besar kemungkinan Real Madrid masuk ke dalam kategori tersebut.

Tiga kali juara berturut-turut, Real Madrid sudah sukses berkembang menjadi tim hit and run, sangat efektif, sangat efisien. Seperti seorang sniper dengan kesabaran sundul langit, Madrid menyerang kelemahan lawan secara telak dan menjadi juara.

Lantas, apakah wajah baru Real Madrid ini akan menjadi langkah awal kegagalan mereka mempertahankan status juara bertahan?

Exit mobile version