Arsenal Bukan Klub Bola, tapi Rumah Jagal: Ancaman Pembunuhan Arteta dan Tumbangnya Partey

Arsenal Bukan Klub Bola, tapi Rumah Jagal: Ancaman Pembunuhan Arteta dan Tumbangnya Partey MOJOK.CO

Arsenal Bukan Klub Bola, tapi Rumah Jagal: Ancaman Pembunuhan Arteta dan Tumbangnya Partey MOJOK.CO

MOJOK.COArteta diancam dibunuh, Partey tumbang oleh cedera. Kacau sekali Arsenal. Tidak lagi terlihat seperti klub, tapi rumah jagal saja.

Selain inkonsistensi yang konsisten, satu hal lain yang lestari di dalam diri Arsenal adalah catatan penanganan cedera. Dua hal inilah yang melahirkan sebuah pemahaman bahwa lawan terberat Arsenal bukan para rival di Liga Inggris, melainkan diri mereka sendiri.

Celakanya, saat ini, dua hal di atas ditambah oleh para fans yang tak lagi cuma bebal. Fans Arsenal semakin beringas, bahkan jahat. Pertumbuhan fans macam ini sangat pesat. Seiring perkembangan media sosial. Ketika media sosial semakin pesat, lingkar otak banyak fans justru mengecil.

Oleh sebab itu, Arsenal ini tidak lagi terlihat seperti klub sepak bola. klub dari London Utara ini seperti “rumah jagal” saja. Di dalam bangunan yang kejam ini para profesional berusaha memberikan yang terbaik. Namun, pada akhirnya “dijagal” sendiri oleh kisah kasih mereka.

Ancaman pembunuhan Arteta dan tumbangnya Partey

Tidak seperti biasanya, Mikel Arteta sangat terbuka di depan wartawan. Satu topik yang mengemuka adalah perihal ancaman pembunuhan yang diterima Arteta dan keluarganya. Semakin miris ketika ancaman pembunuhan itu ternyata sudah terjadi sejak awal musim.

Fans waras mana yang mengancam membunuh pelatih yang tengah bekerja keras memperbaiki sejarah medioker sebuah klub? Tuntutan untuk mundur lewat tagar #ArtetaOut masih bisa dimaklumi. Namun jelas tidak masuk akal ketika Arsenal tengah dalam periode buruk, ada fans yang sampai ingin membunuh Arteta.

Arteta sendiri nampaknya sudah tahu peristiwa menyedihkan seperti ini bisa terjadi. Dia bilang bahwa Arsenal sendiri sudah mulai melakukan usaha untuk mencegah hal-hal semacam ini terjadi. Mungkin proses investigasi sudah dilakukan untuk mencari identitas orang yang sudah meresahkan itu.

Saya khawatir, bahkan prihatin, ketika si pengancam nyawa Arteta tertangkap dan ternyata dia cuma bocah kemarin sore. Yang tidak tahan dengan ledekan karena Arsenal cuma menjadi medioker di Liga Inggris. Ketidakmampuan mengontrol isi kepala dan jari membuat dirinya terjebak dalam masalah. Ironis.

Pada akhirnya, tidak cuma Arteta dan keluarganya yang menderita, tapi juga si pelaku. Semuanya menjadi korban dari sepak bola yang bisa begitu kejam. Menjadi korban dari sebuah usaha untuk mencintai sebuah entitas. Sebuah renungan kita bersama.

Selain ancaman pembunuhan, Arsenal terlihat seperti rumah jagal ketika hampir selalu sukses gagal menjaga kebugaran pemainnya. Terutama kebugaran para pemain yang diharapkan akan menjadi pilar setiap musimnya. Untuk musim ini, Thomas Partey dan Kieran Tierney menjadi korban.

Ketika masih bermain untuk Atletico Madrid, Thomas Partey seperti tembok kokoh yang sulit dihancurkan. Selama lima tahun (2015-2020), Partey hanya absen di enam pertandingan saja. Rinciannya, absen di lima laga di musim 2015/2016 dan cuma satu saja di 2019/2020.

Arsenal terlihat semakin menyedihkan ketika setiap musimnya di Atletico, Partey melahap rata-rata 46 pertandingan. Bersama Arsenal, Partey sudah absen di 10 pertandingan. Dia bakal mencatatkan absen nomor 11 ketika Arsenal melawan Leeds United.

Sebuah pernyataan menarik diutarakan Arteta terkait catatan cedera Partey. Menurut Arteta, Partey punya kemauan keras untuk membantu Arsenal dan membuktikan diri di lingkungan baru. Bahkan, beberapa kali, Arteta sudah mengingatkan pemain asal Ghana itu untuk “slow down” dan tidak memaksakan diri.

Lucunya, Partey pernah “dipaksa” main oleh Arteta ketika Arsenal dijamu Tottenham Hotspur. Hasilnya? Belum 90 menit, otot pemain berbanderol 45 juta paun itu sudah tumbang. Di sisi ini, pemaksaan Arteta berkontribusi kepada cederanya Partey. Di sisi lain, Arsenal kekurangan gelandang sentral di pertandingan penting.

Terjebak dilema itu memang menyebalkan….

“Dia datang dari liga yang berbeda dan (di sini) secara fisik lebih menuntut ketimbang Liga Spanyol. Ketika cedera, dia ingin segera kembali ke lapangan. Ketika pulih, dia cedera lagi. Jadi, ritmenya kacau. Dia juga tidak melewati masa pra-musim dan tidak mendapatkan waktu persiapan untuk perubahan ini,” tambah Arteta.

Catatan ini sungguh mengkhawatirkan. Sejak zaman Jack Wilshere, Santi Cazorla, hingga Calum Chambers, Arsenal seperti tak pernah punya formula untuk menangani kondisi kebugaran pemain. Kini, selain Partey, nasib Tierney juga terbilang menyedihkan.

Ketika masih bermain untuk Celtic, catatan cedera Tierney sudah cukup banyak. Bahkan dia bergabung dengan membawa cedera. Total, Tierney sudah absen di 57 laga sejak menjadi pemain Arsenal. Hitungan ini masih belum mencantumkan catatan cedera musim 2020/2021.

Untuk musim ini, sumber cedera Tierney mirip seperti Partey. Dia ingin membantu Arsenal. Selalu total di lapangan latihan dan ketika pertandingan. Klub sudah mengingatkan pemain untuk bisa mengatur ritme dan “slow down”, tetapi pemain tidak mau.

Pada satu sisi, sikap ini sungguh mulia. Terlihat heroik. Namun, di sisi lain, menggambarkan ketidakmampuan klub “mengontrol” pemainnya. Bukankah klub punya kuasa untuk mengatur jadwal dan menu latihan?

Kegamangan Arsenal juga membuat Tierney seperti tak tergantikan. Ketika Sead Kolasinac dilepas, klub gagal mendatangkan bek kiri. Ketika memaksakan Cedric bermain di kiri, klub melepas Ainsley Maitland-Niles. Sosok pemain yang bisa menjadi cover bek kiri dan kanan.

Over-trained, lalu over-played. Kombinasi jahat yang sudah bersemayam di dalam diri Arsenal sejak lama. Sumber masalah selalu terang benderang, tetapi klub seperti berjalan dalam kegelapan. Arteta diancam dibunuh dan para pemain tumbang. Sudah mirip rumah jagal saja.

BACA JUGA Arsenal dan Fetish Mikel Arteta untuk Menyakiti Diri Sendiri dan racauan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version