AC Milan dan Juventus Menikmati Candu Ibrahimovic dan Ronaldo Sampai Tetes Terakhir Selagi Masih Bisa

AC Milan dan Juventus Menikmati Candu Ibrahimovic dan Ronaldo Sampai Tetes Terakhir Selagi Masih Bisa MOJOK.CO

AC Milan dan Juventus Menikmati Candu Ibrahimovic dan Ronaldo Sampai Tetes Terakhir Selagi Masih Bisa MOJOK.CO

MOJOK.COBaik AC Milan maupun Juventus perlu mendapat apresiasi ketika menolak “kecanduan” sosok Zlatan Ibrahimovic dan Cristiano Ronaldo.

Konon, terdapat perdebatan terkait bahan pembuatan ciu, arak khas Bekonang, dekat Solo. Ada yang bilang bahwa ciu terbuat dari hasil fermentasi ketela pohon ketika membuat tape. Ada juga yang menerangkan bahwa ciu dihasilkan dari penyulingan tetes tebu atau limbah cair yang terbuang dalam proses pembuatan gula dan sudah difermentasi.

Perbedaan itu didasarkan kepada wilayah. Ciu yang terbuat dari tetes tape berasal dari Banyumas, Sumpiuh, Banjarnegara, Kroya, sampai Cilacap. Sementara itu, ciu dari tetes tebu dikenal berasal dari Bekonang, Sukoharjo. Kini, kondang disebut ciu Bekonang atau ciu Cangkol.

Ciu mulai punya nama di dunia ketika sejak 1743, ketika Batavia memproduksi arak dengan merek dagang Batavia Arrack van Oosten. Arak ini cukup disukai oleh orang-orang Barat dan sering menjadi buah tangan setelah berkunjung ke Hinda-Belanda.

Meski sudah mendunia, ciu tetap dikenal sebagai minuman rakyat jelata. Bahkan sampai sekarang. Ciu bisa ditemukan di acara-acara kebudayaan semacam tayub, wayang, atau pelengkap perayaan pasca-panen. Ciu tidak harus selalu ada. Namun, jika tidak ada, pasti ono sing ngangeni, ada yang kangen.

Kalau tidak ada, akan diusahakan untuk ada. Kalau ada, pasti dihabiskan ramai-ramai. Menjadi salah satu biang kebahagiaan. Melenturkan lidah penikmatnya, membantu mereka melupakan betapa brengseknya hidup ini untuk sementara. Bagi sebagian orang, perlahan-lahan, keberadaan ciu seperti candu. Ia harus ada.

Menikmati ciu sampai tetes terakhir, mencecap candu yang tertinggal di bibir. Para pemabuk itu bernama AC Milan dan Juventus. Dua tim, Milan dan Juventus, sedang berusaha sangat keras untuk tidak terikat candu bernama ciu. Namun, tidak pada kenyataannya, candu bernama Zlatan Ibrahimovic dan Cristiano Ronaldo itu terlalu wangi untuk tidak dihirup aromanya sampai puas.

Zlatan Ibrahimovic, 39 tahun, adalah Raja Gol setelah lockdown di Italia selesai. Dia sudah membuat 23 gol dari 22 laga. Ketergantungan Milan kepada Zlatan periode ini sama persis ketika mereka merasakan manisnya Scudetto pada musim 2010/2011. Di laga terakhir, Zlatan Ibrahimovic membuat satu asis dengan unjuk keseimbangan tubuh ketika mengontrol bola dan satu gol salto yang terasa “sangat Zlatan”.

Sementara itu, Juventus berusaha sangat keras untuk tidak bergantung kepada Cristiano Ronaldo, 35 tahun. Alvaro Morata, yang dibeli di detik-detik akhir jendela transfer tidak tampil buruk. Namun, ketika Ronaldo absen karena positif Covid-19, Juventus kehilangan “dominasi” dan “solusi” atas lawan.

Juventus kehilangan cara “membunuh laga” ketika Ronaldo absen. Sekali lagi, tidak selalu begitu. Seperti ciu, kalau tidak ada juga tidak mengapa, tetapi kalau ada pasti akan lebih meriah. Apa yang terjadi ketika Juventus kehilangan “sisi pembunuh” ketika melawan Verona? Morata, hattrick offside dan tidak ada pemain lain yang bisa memberi solusi.

Milan dan Juventus tidak mau bergantung

Keberadaan Zlatan Ibrahimovic dan Ronaldo memang “terlihat besar” dibandingkan pemain lain. Semacam ada carm yang memancar. Ada pesona yang mengancam, membuat fans Milan dan Juventus sudah setengah yakin timnya akan bikin gol paling tidak satu biji. Garansi aura seperti itu yang membuat keduanya sulit tergantikan.

Namun, bukan lantas Milan dan Juventus membiarkan dirinya hanyut dalam tetes-tetes tebu yang akan berakhir menjadi minuman memabukkan itu. Fans Milan dan Juventus, boleh sedikit lega, tim pelatih mereka sangat sadar bahwa Zlatan Ibrahimovic dan Ronaldo tidak abadi.

Stefano Pioli, pelatih Milan, tidak hanya memperbaiki cara bermain. Pelatih botak itu berhasil membangun mental yang dibutuhkan untuk mencegah Juventus meneruskan dominasinya di Serie A. Ketika Zlatan Ibrahimovic absen, Milan tidak pernah kehabisan “cara” untuk membuat peluang.

Dari sisi non-teknis, Pioli berhasil membantu pemain lainnya untuk tampil dengan kekuatan terbaik. Terkadang, pemain hanya butuh sedikit bekal teknis untuk bermain. Namun, kesiapan mental dan kesadaran bahwa setiap laga di Serie A pasti bikin menderita membuat Milan musim ini menjadi sangat tangguh.

Sementara itu, Andrea Pirlo, pelatih Juventus, menggunakan pendekatan sistem untuk memastikan semua pemain berkontribusi. Rencana ini baik adanya mengingat Ronaldo dan pemain penting lainnya bukan tidak mungkin akan absen di beberapa pertandingan.

Ketika melawan Sampdoria, Juventus menggunakan pola dasar 3-5-2. Ketika menyerang, tim bergerak membentuk skema 2-3-5. Danilo, salah satu bek tengah, naik satu ruang ke gelandang, berdiri dekat Adrien Rabiot dan Weston McKennie.

Aaron Ramsey, yang mengawali laga dari lapangan tengah, bergerak ke kiri atas, mengisi ruang Cristiano Ronaldo. Ketika Ramsey naik ke atas sebelah kiri, Ronaldo bergeser ke tengah. Sementara itu, Dejan Kulusevski sedikit bergeser ke kanan. Tiga pemain ini mengemban peran rifinitura atau finishing.

Dua bek sayap, Cuadrado dan Frabotta berdiri dekat garis tepi (menyediakan peran ampiezza atau width). Kombinasi peran tiga rifinitura dan dua ampiezza memudahkan Juventus memasukkan pemain ke kotak penalti.

Andrea Pirlo, di dalam tesisnya, menjelaskan bahwa rifinitura dan ampiezza merujuk ke peran pemain, bukan posisi. Peran pemain yang berada di belakang (bek dan kiper) dalam transisi menyerang disebut costruzione dan coperture preventive. Artinya, mereka mengkonstruksi serangan dan mencegah lawan masuk ke wilayah sendiri.

Menurutnya, di sepak bola modern, tidak ada yang namanya posisi, tetapi fungsi atau peran. Ketika seorang pemain ada di tengah, dia menjadi gelandang. Ketika naik ke atas, dia penyerang. Pola pikir itu yang diterapkan. Nama posisi hanya formalitas.

“Tujuan utama dari fase menyerang kami adalah mengalirkan bola ke finishing zone. Minimal, di ruang tersebut, ada dua pemain yang bergerak secara konstan di antara lini bertahan dan lini tengah, dan secara berkala, pemain lain membantu mereka,” tulis Pirlo, legenda Milan.

“Ketika bola menuju gawang, dua pemain harus segera masuk finishing zone. Pemain lain yang memosisikan diri di antara lini lawan harus terus bergerak untuk menyediakan opsi umpan. Mereka harus bisa menghindari pengawasan pemain lawan.”

Andrea Pirlo menegaskan bahwa aspek paling penting dari game model yang dia buat adalah lokasi. Para pemain harus menjaga struktur tim. Jangan merusak struktur dengan meninggalkan posisi di waktu yang salah. Sekali lagi, rencana ini baik adanya.

Namun, untuk kesempurnaan eksekusi memang masih butuh waktu dan itu normal. Intinya, baik Milan maupun Juventus perlu mendapat apresiasi ketika menolak “kecanduan” sosok Zlatan Ibrahimovic dan Ronaldo.

Tim yang baik, calon tim juara, harus selalu bisa keluar dari banyak masalah. Salah satunya ketika pemain paling wangi sedang tidak mekar.

BACA JUGA Aaron Ramsey: Bukti Kecakapan Andrea Pirlo Mewujudkan Teori untuk Juventus dan tulisan-tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version