Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan Mojok
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan Mojok
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan Mojok
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Ulasan Prejengan

Selamat Hari Ulos Nasional!

Yuri Nasution oleh Yuri Nasution
18 Oktober 2016
A A
Selamat Hari Ulos Nasional!

Selamat Hari Ulos Nasional!

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Tak banyak yang tahu bahwa tanggal 17 Oktober diperingati sebagai Hari Ulos Nasional. Peringatan ini didasarkan atas keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meresmikan ulos sebagai warisan budaya tak benda nasional pada tanggal yang sama tahun lalu.

Kini, untuk kali pertama, Hari Ulos Nasional diperingati — baik di Jakarta maupun di berbagai wilayah di Sumatera Utara sebagai tuan rumah tenunan tradisional khas Batak ini — dengan berbagai rangkaian kegiatan meriah yang digelar di lokasi yang megah, seperti hotel dan gedung pemerintahan. Salah satunya adalah fashion show ulos–di mana kreasi ulos diperagakan oleh model-model cantik nan semampai.

Rangkaian acara peringatan Hari Ulos Nasional ini pertama-tama dibuka dengan sambutan dari para Ketua seperti pejabat, budayawan, maupun pengamat, serta pemerhati dan desainer busana. Dan, entah kenapa, sambutan mereka memiliki narasi yang isinya nyaris sama klisenya:

“Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keberagaman budaya… Ulos merupakan warisan nenek moyang kita… Sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan budaya tersebut…”

Menyaksikan pembukaan itu, saya kemudian teringat pengalaman saat mendampingi salah seorang partonun (penenun ulos).

Kala itu, saya dan teman-teman lain berbincang ringan dengan Inang Sitorus, salah seorang partonun. Hingga kemudian salah seorang teman ikut menimpali. Ia menyinggung tentang warisan budaya Indonesia yang, lagi-lagi, terdengar amat klise seperti sambutan para Ketua di atas:

Iklan

“Inang kok mau jadi partonun? Untuk melestarikan budaya Batak, ya? Wah, hebat kali ya, nang?

“Gaya kali lah melestarikan budaya Batak. Aku pindah tahun 1998 ke Medan karena krisis ekonomi. Di saat anak-anakku butuh makan dan aku nggak punya modal serta keahlian apapun untuk bertahan hidup, aku memutuskan untuk mulai martonun (bertenun ulos). Aku pernah belajar martonun di kampung, ku coba-coba aja di Medan ini. Ternyata aku bisa hidup karena ulos.”

“Jadi bukan ada niat Inang untuk melestarikan ulos sebagai warisan budaya Batak atau memperkenalkannya ke luar negeri?”

“Nggak muluk-muluk kalilah niatku, boru. Yang penting anakku bisa makan dan sekolah, itu aja udah cukup buat aku.”

Jawaban Inang Sitorus tersebut membuat saya termenung. Bagi beliau – yang tanpa ia sadari sendiri adalah pahlawan sebenarnya dalam urusan pelestarian ulos – narasi mengenai kain sakral tersebut jauh dari urusan perwujudan orasi budaya yang hebat-hebat dan membosankan itu.

Baginya, ulos adalah sesimpel cara untuk bertahan hidup.

Saya pernah punya pengalaman dengan partonun lainnya. Ia lebih mapan karena memiliki butik ulos sendiri. Ia kerap mengeluh:

“Susah, nang. Mau makan dari ulos. Sedangkan ulos (cetak) kini banyak diimpor dari luar negeri. Harganya jauh lebih murah daripada tenun ulos buatan kami (partonun Batak). Kami sendiri tidak mungkin menurunkan harga ulos, karena proses pembuatan yang rumit dan lama dengan pemilihan bahan yang tidak boleh sembarang.”

Ulos memang memiliki posisi yang sangat sentral dalam kehidupan orang Batak. Setiap peristiwa kehidupan selalu melibatkan ulos yang berbeda-beda jenis dan fungsi sesuai dengan peristiwa tersebut.

Banyak masyarakat kini lebih memilih ulos cetak yang jauh lebih murah karena tidak mampu membeli ulos mahal untuk dipakai di berbagai ritual adat Batak. Dan sebab ulos mahal – selain karena proses pembuatan dan bahan – terutama dikarenakan langkanya partonun untuk memproduksi ulos jika dibandingkan dengan permintaan ulos yang cukup tinggi.

Mengingat pengalaman itu ketika menyaksikan berbagai peringatan Hari Ulos Nasional sedang digelar kemarin ini rasanya ironis betul. Dengan orasi budaya yang ilmiah dan canggih, gunting pita peresmian sana sini, serta fashion show kreasi ulos mewah nan mahal, perayaan tersebut sejatinya hanya menunjukkan sensasi ketimbang memelihara esensi.

Esok hari, ketika perayaan gegap gempita itu selesai, ulos hampir pasti akan kembali dilupakan.

Ulos, yang sejatinya adalah simbol kehangatan bagi orang Batak, hanya akan diingat kembali untuk digunakan saat pesta. Ketika pesta usai, para partonun kembali melanjutkan hidup dengan bertenun ulos, dengan harapan bisa tetap memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah gempuran impor ulos yang jauh lebih murah dan diminati banyak orang.

Dan berbagai kreasi ulos yang sudah masuk rekor segala macam dan dipuji banyak budayawan itu hanya akan berakhir sebagai pajangan di galeri mewah dan rumah-rumah orang berduit. “Buat koleksi,” kata mereka. “Demi nasionalisme,” ujar yang lain. Entahlah mana yang benar dan berguna.

Apapun itu, selamat Hari Ulos Nasional. Semoga kain ini tetap lestari meski tak ada lagi perayaan banal di gedung mewah yang dingin dan angkuh.

Terakhir diperbarui pada 8 Juni 2017 oleh

Tags: batakfeaturedHari Ulos NasionalUlos
Iklan
Yuri Nasution

Yuri Nasution

Artikel Terkait

Upaya Sanusi Pane Melepas Batak dari Minang
Arsip

Upaya Sanusi Pane Melepas Batak dari Minang

12 April 2022
Mencicipi gudeg jogja di medan yang diracik orang batak karo
Liputan

Mencicipi Gudeg Jogja di Medan yang Diracik Orang Batak Karo

12 Desember 2021
Betapa Ribetnya Orang Batak kalau Cari Jodoh
Esai

Betapa Ribetnya Orang Batak kalau Cari Jodoh

6 Maret 2020
Esai

Soal Meiliana dan Rasanya Jadi Minoritas di Negeri Bhineka Tunggal Ika bagi Atlet Indonesia

29 Agustus 2018
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional MOJOK.CO

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional. Sejarawan: Pragmatis dan Keliru

11 November 2025
Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Hormat dan patuh sama orang tua jadi kunci nafas panjang STARCROSS sebagai brand clothing legend Jogja MOJOK.CO

Hormat dan Patuh pada “Orang Tua”, Kunci Nafas Panjang STARCROSS sebagai Brand Legend Jogja

13 November 2025
futsal uny.MOJOK.CO

Aulia, Clutch Player UNY dari Bukit Pinus yang Tak Butuh Sorotan Untuk Bersinar

13 November 2025
Belikan ibu elektronik termahal di Hartono Surabaya dengan tabungan gaji Jakarta. MOJOK.CO

Pertama Kali Dapat Gaji dari Perusahaan di Jakarta, Langsung Belikan Ibu Elektronik Termahal di Hartono agar Warung Kopinya Laris

11 November 2025
Derita Pakai QRIS: Minimal Order Gak Ngotak Bikin Sengsara MOJOK.CO

Pengalaman Buruk ketika Memakai QRIS: Jadi Boros karena Minimal Order yang Nggak Masuk Akal dari Pemilik Minimarket

11 November 2025
Summer Sale Banner
  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.